Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi, dan mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka. (QS Al Anam:1)
Mengapa ada orang yang memuji? Karena mereka tidak mengetahui siapa
diri kita sebenarnya. Kalau orang lain ternyata mengetahui yang
sebenarnya, pasti tidak akan mau memuji. Bila kita dipuji dan
menikmatinya atas sesuatu yang tidak ada pada diri kita, maka hal
tersebut akan menimbulkan bahaya, karena menjadikan kita yakin atas apa
yang dikatakan orang tersebut, sebagai suatu pujian, yang berarti kita
sudah bersikap tidak jujur kepada diri kita sendiri. Padahal orang-orang
memuji tidak lain hanya menyangka saja. Sebab utama kita dipuji dan
dihargai orang lain karena Allah masih menutup aib, maksiat, dan dosa
kita.
Semestinya pujian itu bisa menjadikan diri kita malu, karena mereka
menyangka sesuatu yang sesungguhnya tidak ada pada diri kita. Tapi bagi
seorang pecinta dunia, dia akan menikmati sesuatu yang tidak ada pada
dirinya itu, yang artinya dia sudah berbuat bohong pada dirinya sendiri.
Dan yang paling parah dari pujian ini adalah kita menjadi terpenjara,
Misalnya, bila seseorang sudah terlanjur dipuji dengan pujian sebagai
orang shaleh, kemudian kita akan merasa takut apabila cap shaleh
tersebut hilang pada diri kita, sehingga kita akan melakukan apa saja
agar pujian itu tidak hilang diberikan kepadanya. Akibat dari pujian itu
pun, maka akan dengan mudah kita bisa menyalahkan/merendahkan mereka
yang dianggap tidak shaleh.
Dia akan terbelenggu dan terpenjara oleh status tersebut. Dia akan
sulit menerima kebenaran dari orang lain, dan mengakui kekurangan
dirinya.
Sikap senang dipuji pun berakibat terhadap tidak akan adanya rasa
ikhlas. Dia akan beramal berbuat hanya untuk mempertahankan pujian itu.
Misalnya, dia akan mengatur penampilannya agar bisa dipuji orang lain.
Bila demikian, ia tidak mungkin dikategorikan ikhlas. Ia melakukan apa
pun bukan untuk Allah lagi, tapi untuk kemasan.
Pujian itu bahaya kalau kita tidak hati-hati menyikapinya. Bahkan
akibatnya bisa menjadi malapetaka. Bisa menipu diri, dan menutup diri
dari nasihat orang, serta menghancurkan keikhlasan. Keadaan ini bisa
menjadi penjara, dan sedikit orang bisa lolos. Misalnya, penyematan
panggilan ustadz terhadap seseorang. Hal itu bisa membuatnya menjadi
terjebak menjadi senantiasa ingin dipuji dihormati.
Islam mengajarkan kita menjadi orang asli, murni, tidak ada rekayasa
atau pura-pura; tidak ada kemasan. Kita berbuat hanya satu saja, Allah
SWT ridha menerima saja.Orang menerima atau tidak, memuji atau tidak,
menghargai atau tidak, yang penting kita melakukan kebenaran sesuai
aturan-Nya dan tidak melanggar hak orang lain. Tidak bermuka dua; mulut
dan hati bila bersikap mesti sama. Sehingga akan membuatnya terasa enak
dan nyaman bagi kita dan sekitar kita. Kalau kita berpura-pura, kita
tidak nyaman, dan orang lain pun tidak akan bisa nyaman.
dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia.
Barang siapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia
seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau
diterbangkan angin ke tempat yang jauh. (QS Al-Hajj:31)
Sementara, kita pun tidak bisa menahan atas perbuatan orang lain,
seperti memuji atau mencaci, yang penting kita jangan terjebak, jangan
terkecoh, jangan terbelenggu dengan pujian yang tidak cocok untuk kita
itu. Meski demikian kita pun tetap dituntut untuk menyampaikan amar
ma’ruf nahyi munkar kepada orang lain.
Bagi orang tua yang senantiasa memuji anaknya, berarti sama dengan
merusak (mental)-nya. Sang anak akan merasa diperlakukan istimewa,
dirinya lebih khusus, merasa lebih dari orang lain; setelah besar ia
bisa melawan orang tuanya, jika dinasehatinya. Karena ia dibesarkan
untuk tidak jujur pada dirinya, dia dibesarkan untuk melihat dan
membangun topengnya.
Bila ditafakuri, jujur saja, kita ini tidak ada apa-apanya. Kita
hanya seorang manusia yang berlumur dosa yang ditutupi aib-aibnya. Kita
hanya orang bodoh sedikit ilmu yang orang lain tidak tahu kebodohan
kita. Kita tidak mempunyai apa-apa kecuali yang sekadar dititipkan Allah
SWT sebentar. Kalau Allah SWT mau mengambil tidak bisa ditahan.
Kita sebenarnya tersesat kecuali Allah SWT yang menuntun. Bila kita
sadari hal ini, pujian akan membuat kita malu terhadap Allah SWT. Cacian
pun tidak akan melukai hati kita. Karena orang yang sakit hati bukan
karena dihinanya, melainkan karena butuh sesuatu dari selain Allah SWT.
Sesungguhnya pujian harus dikaitkan dengan Allah, sehingga yang
memuji tidak tertipu dengan pujiannya. Jangan pula mengobral pujian.
Kita memuji orang lain seringkali karena didasari perasaan takut orang
tersebut akan memarahnya, atau ada maunya. Padahal kita tahu sulit
sekali memuji kepada orang lain karena karakter buruknya tetap bisa
dirasakan walau tersembunyi.
Dalam memuji hendaklah berhati-hati, karena bisa merusak keikhlasan
yang dipujinya. Memang naluri kita ingin dipuji, namun inginlah dipuji
oleh Allah SWT yang mengetahui lahir batin kita sesungguhnya. Karena itu
sesuatu yang akan menjadi mengasyikan dan kita menjalani kehidupan yang
asli, bukan kepalsuan.
Ada yang pura-pura memuji Allah SWT , tapi tidak ingat Allah SWT,
supaya ia disebut sebagai orang yang ahli memuji Allah SWT, bukan ia
memuji Allah, karena tidak bisa bohong, akan terasa oleh orang-orang
yang senantiasa berupaya membersihkan hatinya.
Ada juga orang yang merendah tapi meninggi. Ia sesungguhnya menumpang untuk tawadhu. Jadi benar-benar harus proporsional.
Rasulullah saw sangat mewanti-wanti bahwa pujian bisa mematikan iman.
Pujian orang lain adalah prasangka orang lain pada kita. Orang memuji
itu hanya melihat topengnya kita saja. Orang yang senang pujian orang
kepada dirinya, seperti orang mabuk, mencari jalan apa pun agar orang
memberinya pujian.
"Menyukai sanjungan dan pujian membuat orang buta dan tuli." (HR. Ad-Dailami).
Cinta pujian dan takut dicaci merupakan ciri cinta dunia. Kalau kita
terjebak dengan menikmati pujian, maka kita akan masuk dalam perangkap
ujub. Indikasinya saat kita merasa shaleh, maka dengan itu akan
terbentuklah hijab dirinya dengan Allah SWT. Di lain hal, Allah SWT-lah
yang mengatur dengan menggerakan orang yang memuji, bisa jadi, dengan
maksud untuk menguji kita, apakah akan jujur pada dirinya sendiri atau
tidak.
Sesungguhnya pujian atau penghinaan baru sebatas ditujukan pada
kulitnya. Sehingga isi diri kita seringkali tidak sesuai dengan
kulitnya. Maka tidak ada istilah sakit hati untuk penghinaan pada diri
kita. Semestinya pula kita tidak sedikit pun mempunyai keinginan untuk
dipuji dari makhluk. Dengan demikian tidak ada gunanya merekayasa diri,
seperti membagus-baguskan penampilan hanya untuk dipuji. Sebaliknya, apa
pun kita lakukan untuk sukanya Allah saja. Orang mau menyukai maupun
tidak terhadap dirinya tidak menjadi masalah, yang penting baginya atas
seluruh perbuatan pada siapa pun adalah Allah ridho.
Di antara manusia yang tahu mengenai diri kita adalah dirinya
sendiri. Kemalangan yang besarlah mereka yang tidak mau jujur pada
dirinya sendiri,karena ia akan menipu dirinya sendiri bahkan orang lain.
Metode untuk jujur pada diri sendiri pun bisa lebih optimal dapat dibantu dengan melakukan cara dua hal:
- Yang lebih mengetahui dirinya sendiri adalah orang-orang terdekat. Mereka melihat mendengar dan merasakan. Kalau kita tidak mau nanya pada orang terdekat kita, berarti tidak berupaya untuk jujur pada diri. Pertanyaannya, nyaman tidak pada orang terdekat kita mengenai keberadaan kita.
- Mendatangi orang-orang yang dikaruniai keyakinan yang dalam kepada Allah SWT. Sebab mata hati kita masih tertutup dengan dosa-dosa.
Allah SWT yang menutupi aib atas kelalaian kita. Allah SWT menutupi
supaya kita bisa bertaubat. Jangan terkecoh dengan penghormatan, itu
topeng. Jangan menikmati pujian, karena itu tidak akan cocok.
Tutup Allah terbagi menjadi dua bagian, pertama, tertutup dari perbuatan dosa, kedua, tertutup dari maksiat.
Bagi orang yang sungguh-sungguh kepada Allah, bukan ditutupi dosanya
agar tidak diketahui orang, melainkan ditutupnya jalan kita dari
perbuatan maksiat
Fokus hidup kita hanya satu, diterima segala amal shaleh kita oleh Allah SWT, dan menjauh dari yang membuatnya jauh dari Allah.
Siapa yang menghormati seseorang hanyalah menghormati tutup Allah.
Kita menghargai orang lain, sebetulnya menghargai tutup Allah, bukan
karena orang itu yang sebenarnya, jangan terpedaya dengan pujian orang.
Rasulullah SAW bahkan amat tidak berkenan bila melihat orang lain
memuji-muji:
"Bila kamu melihat orang-orang yang sedang memuji-muji dan menyanjung-nyanjung maka taburkanlah pasir ke wajah-wajah mereka." (HR. Ahmad)
Jangan menikmati pujian atau jangan termakan terjebak pujian. Pujian
itu bisa memabukkan diri seseorang. Segalanya bisa jadi alat untuk
membuatnya dipuji. Berbuat sederhana pun bisa menjadi alat pujian,
yakni, supaya dinilai tawadlu. Padahal dengan pujian-pujian itu hidupnya
bisa menjadi munafik. Orang-orang di sekitarnya juga tidak nyaman,
karena orang-orang tidak bisa dibeli hatinya dengan kepura-puraan.
0 komentar