Menyebut nama Abu Bakr Siraj Ad-Din, mungkin tak banyak orang yang mengenalnya. Ketika disebut nama Martin Lings, tentu hanya sebagian umat Islam yang mengetahuinya. Namun, bagi kebanyakan pelajar, peneliti, dan tokoh muslim, nama Martin Lings sangat populer. Karena, tulisan dan karya-karyanya mampu memberi inspirasi banyak orang dalam mempelajari Islam. Padahal, sang penulis dulunya seorang pemeluk Kristen yang taat. Berkat hidayah Allah, ia pun memeluk Islam dan menjadi mualaf.
Salah satu karyanya yang sangat fenomenal berjudul Muhammad, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik (Muhammad: His Life Based On The Earliest Sources), diterbitkan tahun 1983. Buku yang berisikan biografi Rasulullah SAW ini didedikasikan untuk pemimpin Pakistan, Zia ul-Haq.
Dengan gaya narasi (bertutur) yang halus
dan mudah dipahami, Martin Lings mampu menghadirkan sebuah riwayat hidup
dan perjalanan seorang tokoh inspiratif bagi dunia, yakni Nabi Muhammad
SAW. Ia menulisnya dengan sangat detail dan mengagumkan.
Oleh banyak kalangan, buku ini dinilai
sebagai salah satu buku biografi Rasulullah SAW yang terbaik dan pernah
diterbitkan. Tentunya, hanya seseorang yang berkemampuan istimewa yang
bisa menghasilkan sebuah buku yang berkualitas dan menyentuh. Itulah
yang dilakukan Martin Lings karena kecintaannya pada Sang Uswatun Hasanah, Nabi Muhammad SAW.
Banyak sudah pembaca yang memuji karya cendekiawan Inggris ini. Orang menyebutnya tour de force,
karya nan tiada bandingannya. Ditulis dari perspektif seorang
cendekiawan-sejarawan yang juga mempraktikkan Islam dalam keseharian,
buku tersebut cepat terkenal dan menjadi salah satu bacaan wajib
mengenai kehidupan Nabi Muhammad SAW. Buku ini sudah diterjemahkan ke
dalam 10 bahasa serta memperoleh sejumlah penghargaan dari dunia Islam.
Profesor Hamid Dabashi dari Columbia University mengungkapkan kekagumannya. ”Ketika membaca buku Muhammad
karya Lings, kita akan bisa merasakan semacam efek kimia pada narasi
dan komposisi bahasa yang terkombinasi dengan keakuratan serta gairah
syair. Lings adalah cendekiawan-penyair,” katanya.
Selain buku di atas, nama Martin Lings
juga banyak dikenal dari berbagai karya-karyanya yang lain. Di antaranya
adalah terjemahan teks Islam, puisi, seni, dan filsafat. Dari
tulisan-tulisannya itu, Lings kerap disejajarkan dengan peneliti seni
berkebangsaan Swiss-Jerman, Titus Burckhardt; tokoh filsuf abadi dan
metafisikawan Prancis, Rene Guenon; serta cendekiawan Jerman, Fritjhof
Schuon. Martin Lings sangat identik dengan seorang sufi yang gigih dalam
menyebarkan Islam di Barat melalui tulisan-tulisan dan
artikel-artikelnya yang tajam dan kritis.
Namun, hal yang paling berkesan dari Lings adalah keterkaitan karya dengan jiwa ihsan
(keindahan dan kecemerlangan) yang dimilikinya. Ia mencurahkan jiwa dan
hatinya dalam menghasilkan sebuah karya yang inspiratif, jelas, dan
berkualitas.
Kini, sang tokoh sudah tiada. Pada 12 Mei 2005 lalu, Lings menghembuskan nafas terakhir dalam usia 96 tahun di kediamannya di kawasan Westerham, Kent County, Inggris. Umat Islam di seluruh dunia pun berkabung atas wafatnya penyair sufi modern terkemuka ini.
Berasal dari keluarga pemeluk Kristen
Protestan, Lings lahir di Burnage, Lancashire, Inggris, pada 24 Januari
1909. Meski begitu, dia menghabiskan masa kecilnya di Amerika Serikat,
mengikuti ayahnya. Ketika keluarganya kembali ke Inggris, dia
didaftarkan ke Clifton College, Bristol. Kemudian, Lings melanjutkan
pendidikannya di Magdalen College, Oxford. Ia belajar literatur Inggris
dan memperoleh gelar BA tahun 1932. Tahun 1935, dia memutuskan pergi ke
Lithuania untuk menjadi pengajar studi Anglo-Saxon dan Inggris Tengah di
Universitas Kaunas.
Mengenal Islam
Pada tahun 1939, Lings datang ke Mesir
mengunjungi seorang teman dekatnya yang kebetulan mengajar di
Universitas Kairo. Temannya ini juga merupakan asisten filsuf Prancis,
Rene Guenon. Akan tetapi, pada saat kunjungannya itu, sang teman
meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Kemudian, Lings diminta
untuk mengisi posisi yang ditinggalkan oleh temannya ini. Dia menerima
tawaran tersebut.
Lings pun mulai aktif belajar bahasa Arab
dan mempelajari Islam. Setelah banyak berhubungan dengan ajaran Sufi
Sadzililiyah, dia berketetapan hati untuk masuk Islam. Sejak saat itu,
ia menjadi pribadi baru dengan nama Abu Bakr Siraj Ad-Din.
Bagi Lings, Islam bukan hanya sekadar agama. Islam menjadi petunjuk hidup umat manusia. Ia sangat terkesan dengan Alquran dan pribadi Rasulullah SAW. Baginya, tak ada tokoh yang melebihi Nabi Muhammad SAW, baik dalam akhlak maupun kepribadiannya dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, bukunya yang berjudul Muhammad, Kisah Hidup Nabi merupakan salah satu bukti kecintaannya kepada Rasulullah SAW.
Komitmennya dalam Islam terbawa sepanjang
hayat. Bahkan, sepuluh hari sebelum meninggal dunia, Lings masih sempat
menjadi pembicara di depan tiga ribu pengunjung pada acara Maulid Nabi
Muhammad SAW yang bertajuk Bersatu untuk Sang Nabi yang
diadakan di Wembley, Inggris. Lings mengatakan, itu adalah pertama
kalinya dia berbicara mengenai makna kehidupan Nabi Muhammad SAW dalam
waktu 40 tahun.
Setelah masuk Islam, Lings makin dekat
dengan Rene Guenon yang juga sudah memeluk Islam. Dia lantas menjadi
asisten pribadi serta penasihat spiritual Guenon.
Pada saat tinggal di Mesir, ia menikah dengan Lesley Smalley. Keduanya lantas tinggal di sebuah kamp pengungsi di dekat piramid. Namun, ketika revolusi anti-Inggris oleh kaum nasionalis yang berujung pada kerusuhan melanda Mesir, Lings memutuskan kembali ke Inggris pada 1952.
Sekembali dari negara di kawasan Afrika
ini, ia melanjutkan pendidikan ke School of Oriental and African
Studies, London, hingga mendapat gelar doktor. Tesisnya mengenai seorang
sufi terkenal asal Ajazair, Ahmad al-Alawi, yang kemudian ia terbitkan
menjadi sebuah buku dengan judul A Sufi Saint of the Twentieth Century. Sementara itu, sang istri yang berprofesi sebagai psikoterapis bekerja sesuai bidangnya itu.
Kemudian, tahun 1955, dia bekerja sebagai
asisten ahli naskah kuno dari kawasan Timur pada British Museum.
Pekerjaan itu dilakoninya hingga hampir dua dasawarsa.
Tahun 1973, Lings merangkap kerja di
British Library, di mana dia memfokuskan perhatiannya terhadap kaligrafi
Alquran. Beberapa tahun kemudian, dia memublikasikan karya klasiknya
pada subjek yang sama, yaitu The Qur’anic Art Of Calligraphy And Illumination, bertepatan dengan penyelenggaraan Festival Dunia Islam tahun 1976.
Sejak itu, Lings pun mulai menulis secara
teratur. Karya-karyanya, selain sufisme dan buku-buku lainnya, meliputi
artikel mengenai tasawuf pada terbitan Cambridge University, Religion in the Middle East dan The Eleventh Hour: The Spiritual Crisis of the Modern World in the Light of Tradition and Prophecy, serta banyak artikel untuk jurnal kuartalan, Studies in Comparative Religion. Jurnal itu turut andil dalam memperluas cakrawala dunia Barat dalam memahami ketinggian Islam.
Pengagum Shakespeare
Selain berkutat dalam bidang filsafat,
Lings juga berkiprah di bidang seni. Kiprah awalnya di bidang seni
dimulai pada tahun 1944 dengan memproduksi sandiwara Shakespeare. Para pemainnya tak lain adalah para muridnya sendiri.
Ia memang senang mempelajari karya-karya
pujangga itu. Ketertarikannya pada karya-karya Shakespeare lantas
membawanya, sekitar 40 tahun kemudian, membuat buku berjudul The Sacred Art of Shakespeare: To Take Upon Us the Mystery of Things.
Sebagai bentuk penghargaan terhadap karya-karya Lings, Putra Mahkota
Kerajaan Inggris Pangeran Charles pun bersedia memberikan kata pengantar
dalam buku ini.
Dalam kata pengantarnya, Pangeran Charles
menulis, ”Kejeniusan khusus yang dimiliki Lings terletak pada
kemampuannya untuk menyampaikan, seperti yang tidak pernah dilakukan
orang lain sebelumnya. Teks-teks dasar yang ia sajikan dalam karya
teater ini telah meninggalkan kesan yang mendalam, tidak hanya kepada
para pecinta karya seni, tetapi juga kepada para pembaca awam.”
[nidia zuraya]
[nidia zuraya]
0 komentar