Merupakan suatu keharusan bagi seorang muslim untuk berhati hati dalam memilih makanan yang akan dikonsumsi. Ini tidak lain dikarenakan makanan yang akan masuk dalam perut kita akan menjadi pengganti sel-sel organ tubuh yang nantinya akan kita gunakan untuk beribadah kepada Allah.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa efek dari makanan akan memengaruhi diterimanya suatu ibadah, salah satu contoh adalah Doa.
Dalam sebuah hadits Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisahkan seorang musafir yang berbekal makanan haram.عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ{ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ }وَقَالَ{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ }ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَDari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai manusia, sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali dari yang baik dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kaum mukminin dengan apa yang diperintahkan pula kepada para rasul, firman-Nya, ‘Wahai para Rasul, makanlah dari yang baik-baik dan beramallah dengan amalan shalih, sesungguhnya aku mengetahui apa yang kalian kerjakan.’ Dan Firman-Nya, ‘ wahai orang–orang yang beriman, makanlah dari hal yang baik-baik dari rezeki yang telah Kami berikan kepada kalian.’ Kemudian Rasulullah menceritakan seorang laki-laki yang bersafar jauh hingga acak-acakan rambutnya dan berdebu, ia menengadahkan tangannya ke langit seraya berkata, ‘Ya Rabb… Ya Rabb… namun makanannya haram, minumannya haram, bajunya juga haram, serta diberi gizi haram, maka mana mungkin dijawab doanya?!’” (Riwayat Muslim no.1015)
Bisa dibayangkan, betapa meruginya seorang muslim jika ia tidak dapat menikmati hasil dari ibadahnya dikarenakan mengonsumsi makanan haram.
Seperti diketahui, aneka produk makanan yang
beredar di pasaran baik impor maupun hasil lokal dengan beragam bentuk
dan kemasan terkadang membingungkan masyarakat yang nota bene muslim ini
untuk menyeleksi kehalalannya. Melihat realita di atas, produsen pun
tidak tinggal diam untuk mendongkrak pemasaran mereka agar dapat dijual
ke konsumen muslim, yang diantaranya adalah dengan mencantumkan label
halal pada setiap produk makanan.
Seberapa Pentingkah Sertifikat halal?
Halal atau haramnya makanan sebenarnya merupakan perkara yang jelas dalam agama Islam, sehingga kebanyakan kaum muslimin mengetahui jenis makanan yang haram untuk dikonsumsi, hal tersebut telah dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits,
إِنَّ اْلحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ اْلحَرَامَ بَيِّنٌ“Sesungguhnya halal itu jelas dan haram itu jelas …” (Riwayat Bukhari, No.2051 Muslim, No.1599)
Namun bagaimana jika makanan tersebut telah dikemas sedemikian rupa dengan komposisi dari berbagai bahan? Tentu banyak dari kita tidak tahu tentang kandungan yang ada di dalamnya. Melihat fenomena ini maka bermunculan ide dari kaum muslimin untuk mencari jalan keluar dari masalah tersebut.
Maka, muncullah ide pencantuman logo halal pada produk yang telah terdaftar halal pada lembaga yang diakui, yang kita kenal sekarang dengan Sertifikat Halal LPPOM MUI. Dengan demikian, setiap produk yang ingin mendapat sertifikat halal, mereka harus mengikuti proses menurut standar yang telah ditetapkan oleh lembaga tersebut. Selanjutnya lembaga ini memiliki auditor untuk melaksanakan audit halal, dari para ahli di bidang pangan, kimia, pertanian, biologi, fisika, hingga bidang kedokteran hewan, yang konon mereka dipilih melalui proses seleksi kompetensi, kualitas dan integritas, sebelum mereka ditugaskan.
Jika kita tinjau dari usaha tersebut dan dari segi maslahat dan mafsadah, maka bisa kita kategorikan bahwa logo halal MUI ini sangat penting, karena ini merupakan salah satu sarana dalam melindungi konsumen muslim dari semua jenis makanan haram yang beredar di masyarakat. Dengan demikian, setiap produsen tidak bisa seenaknya sendiri mencantumkan logo halal pada produk mereka, karena untuk mendapatkan kepercayaan halal ini mereka akan mendaftarkan dulu produknya demi mendapatkan memo halal dari lembaga ini dengan proses menurut standar mereka.
Bagaimana kita bersikap?
Melihat logo halal MUI dalam kemasan makanan adalah cara termudah bagi orang awam dalam memilih makanan kemasan. Akan tetapi seberapa besar keabsahan sertifikat tersebut?
Untuk itu kita kembalikan perkara ini kepada
kaidah umum fikih yaitu tentang persaksian (syahadah), yaitu kesaksian
dua orang laki-laki yang adil dalam syariat adalah sah menurut hukum.
Dan tentunya mereka yang menjadi tim halal MUI ini lebih dari sekadar
dua orang dan terlebih lagi mereka adalah pakar dalam bidang pangan.
Apalagi, MUI adalah lembaga resmi yang diakui oleh pemerintah dan
masyarakat untuk sertifikat tersebut. Atas dasar ini, a logo tersebut
dapat kita jadikan sarana dalam membantu memilih makanan halal pada
produk kemasan.
Namun, bagaimana jika ada isu haram dalam beberapa produk yang berlabel halal ini (contohnya, adanya kode E471/E472 yang diisukan mengandung lemak babi dalam beberapa produk makanan yang berlogo halal -red)? Tentu kita sebagai seorang muslim akan mengembalikan hal tersebut dengan cara bersikap bijak sebagaimana tuntunan Allah Ta’ala dalam Al Quran,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (al-Hujurat: 6)
Kita perlu tabayyun (konfirmasi) dan berusaha mencari kebenaran berita tersebut, agar tidak salah dalam mengambil keputusan. Sebab, hukum asal dari segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah halal kecuali yang diharamkan, sebagaimana sebuah kaidah fikih mengatakan,
الأَصْلُ فِيْ اْلأَشْيَاءِ اْلإِبَاحَةٌ حَتَى يَدُلَّ اْلدَلِيْلُ عَلَى اْلتَحْرِيْمِ
{“Asal segala sesuatu adalah halal, sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya.”}
Akan tetapi, cara berhati-hati adalah jalan terbaik dalam hal duniawi, yaitu wara’ dari makanan tersebut, sampai ditemukan kejelasan berita yang ada. Adapun arti wara’ menurut Syekh Ibnu Utsaimin dalam “Fathu Dzil Jalali wal Ikram Syarah Bulugul Maram” pada Muqadimah Kitab Zuhud wal Wara’ adalah:
الوَرَعُ : تَرْكُ مَا يَضُرُّ فِي اْلآخِرَةِ
{“Meninggalkan sesuatu yang membahayakan urusan akhirat.”}
Jadi, ikhthiyat (hati-hati) dan wara’ bukan sebagai dasar pengharaman, namun keduanya adalah sebagai kewaspadaan belaka.
Dan perlu ditegaskan, hal tersebut (ikhthiyat dan
wara’ -red) tidak mengurangi legalitas sertifikat halal yang telah kita
ketahui begitu besar manfaatnya. Dan didukung juga bahwa sertifikat
tersebut dikeluarkan setelah adanya proses dari pakar makanan yang ahli
dalam bidangnya. Karena untuk mengetahui kandungan kimia bahan makanan
dalam kemasan adalah perkara yang tidak gampang, dan ini adalah perkara
yang dikategorikan masalah ketrampilan duniawi, sedangkan Rasulullah
telah menyerahkan perkara-perkara duniawi kepada orang yang memiliki
keahlian tersebut,
Sehingga, logo halal ini tetap kita jadikan sebagai sarana untuk memilih makanan halal. Wallahu A’lam Bisshawab.
Penulis: Ust. Abu Riyadl Nurcholis
Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,« أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ ».“Kalian lebih faham dengan perkara dunia kalian.” (Riwaya Muslim No. 6277)
Sehingga, logo halal ini tetap kita jadikan sebagai sarana untuk memilih makanan halal. Wallahu A’lam Bisshawab.
Penulis: Ust. Abu Riyadl Nurcholis
0 komentar