(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang namanya mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an), mereka Itulah orang-orang yang beruntung. (Surat Al-A’raf ayat: 157).
Di sudut pasar kota Madinah ada seorang pengemis yahudi buta yang selalu berkata kepada orang-orang, “Jangan dekati Muhammad! Jauhi dia! Jauhi dia! Dia orang gila. Dia itu penyihir. Jika kalian mendekatinya maka kalian akan terpengaruh olehnya.”
Tak ada seorang pun yang lewat melainkan telah mendengarkan ocehannya tersebut. Begitu pula pada seseorang yang selalu menemuinya setiap hari di sana, memberinya makanan, hingga menyuapinya. Pengemis buta itu selalu menghina dan merendahkan Muhammad, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, di hadapan orang yang menyuapinya itu. Tapi orang itu hanya diam, terus menyuapi pengemis buta itu hingga makanannya habis.
Hingga akhirnya beberapa saat kemudian Rasulullah wafat. Kesedihan menaungi hati para sahabatnya. Suasana duka pun berlangsung amat lama bagi mereka. Seseorang yang begitu mereka cintai, mereka segani, dan begitu mereka taati telah pergi dari sisi mereka.
Hari-hari mereka lewati begitu berat tanpa Rasulullah. Mereka akan selalu mengenang kebersamaan mereka dengan beliau semasa hidupnya. Mereka tidak akan pernah melupakannya.
Begitulah yang tengah terjadi pada diri Abu Bakar Ash Shiddiq, seorang sahabat beliau yang mulia. Dia tidak akan pernah bisa melupakan kenangan bersama Rasulullah. Justru dia dengan semangat menjalankan ibadah-ibadah sunnah yang dahulu sering dilakukan Rasulullah, tentu saja di samping ibadah-ibadah yang wajib.
Suatu hari, dia pernah bertanya kepada Aisyah, putrinya, “Wahai, putriku, apakah ada amalan yang sering dilakukan Rasulullah yang belum pernah kulakukan?”
“Ya, ada, Ayah,” jawab Aisyah.
“Apa itu?” tanya Abu Bakar lagi dengan penuh rasa penasaran.
Aisyah pun mulai bercerita.
Keesokan harinya, Abu Bakar berniat menunaikan amalan itu. Dia pergi menuju sudut pasar Madinah dengan membawa sebungkus makanan. Kemudian dia berhenti di depan seorang pengemis buta yang tengah sibuk memperingatkan orang-orang untuk menjauhi Muhammad. Betapa hancur hati Abu Bakar menyaksikan aksi pengemis itu yang begitu lancang menghina Rasulullah di hadapan banyak orang. Tapi dia mencoba untuk bersabar.Abu Bakar lalu membuka bungkusan makanan yang dibawanya dari rumah. Kemudian dia mengajak pengemis itu duduk dan langsung menyuapi pengemis itu dengan tangannya.
“Kau bukan orang yang biasa memberiku makanan,” kata si pengemis buta dengan nada menghardik.
“Aku orang yang biasa,” kata Abu Bakar.
“Tidak. Kau bukan orang yang biasa ke sini untuk memberiku makanan. Apabila dia yang datang, maka tak susah tangan ini memegang dan tak susah mulutku mengunyah. Dia selalu menghaluskan terlebih dahulu makanan yang akan disuapinya ke mulutku.” Begitulah bantahan si pengemis buta.
Abu Bakar tak bisa membendung rasa harunya. Air matanya menetes tak tertahankan. Dia kemudian berkata, “Ya, benar. Aku memang bukan orang yang biasa ke sini untuk memberimu makanan. Aku adalah salah satu sahabatnya. Orang yang dulu biasa ke sini itu telah wafat.”
Abu Bakar melanjutkan perkataannya. “Tahukah kau siapa orang yang dulu biasa ke sini untuk memberimu makanan? Dia adalah Muhammad, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Orang yang selalu kau hina di depan orang banyak.”
Betapa terkejutnya pengemis Yahudi yang buta itu. Dia tak dapat berkata apa-apa. Air matanya perlahan berlinang membasahi kedua pipinya. Dia baru sadar betapa hinanya dirinya yang telah memperlakukan Rasulullah seperti itu. Padahal beliau telah berbaik hati memberinya makanan setiap hari.
“Benarkah itu?” tanya si pengemis buta setelah lama merenungi apa yang telah terjadi. “Selama ini aku telah menghinanya, memfitnahnya, bahkan di hadapannya. Tapi dia tidak pernah memarahiku. Dia sabar menghadapiku dengan berbagai macam ocehanku dan berbaik hati melumatkan makanan yang dibawanya untukku. Dia begitu mulia.” Tangisnya semakin menjadi.
Pada saat itu juga, di hadapan Abu Bakar Ash Shiddiq, pengemis Yahudi buta itu menyatakan ke-Islamannya. Akhirnya dia mengucapkan dua kalimat syahadat ‘La ilaha illallah. Muhammadar Rasulullah.’ setelah apa yang telah dilakukannya terhadap Rasulullah.
Mampukah kita seperti beliau.
Ketika hinaan datang kepadanya, ia hanya tersenyum dan membalas hinaan itu dengan doa yang baik.Ketika beban berat melanda hidupnya, ia bersabar dan bertawakal kepada Allah
Ia tidak akan mengeluh, walau Matahari dan Bulan berada di pundaknya.
Mampukah kita seperti beliau….?
Apakah kita akan membalas hinaan dan makian seseorang dengan doa yang baik untuknya, seperti yang dilakukan Rasulullah ?
Apakah kita tidak akan mengeluh, ketika Allah memberikan kita ujian hidup ?
Renungkanlah……..
0 komentar