Dalam
sejarah Islam di Jawa, namanya melegenda. Ia dikenal sebagai seorang
wali yang serba bisa. Ia juga sangat cerdik dan ramah budaya. Di
tangannya, Islam begitu lentur sehingga mudah diterima. Ia juga berhasil
meluruhkan tapal batas sosial-ekonomi-budaya dalam masyarakat. Ia akrab
dengan rakyat jelata meski keturunan ningrat. Ingar-bingar dunia tak
membuatnya terpikat. Ia juga dikenal jago stratetegi. Di Demak, ia
menjadi panglima perang yang disegani. Banyak perang ia menangi.
Sehingga banyak yang hormat dan simpati padanya.
Latar Belakang
Ia bernama Raden Syahid, kemudian
dikenal dengan sebutan Sunan Kalijaga. Ayahnya seorang pejabat Tuban
bernama Tumenggung Wilatikta. Dibesarkan dalam keluarga kaya tak
membuatnya besar kepala. Malah, ia begitu prihatin dengan kondisi di
sekitarnya. Banyak kaum miskin teraniaya. Mereka diminta membayar pajak
yang tak terkira. Kata ayahandanya, itu dilakukan demi kepentingan
kerajaan yang terancam kudeta. Kenyataannya, mereka ditindas oleh para
penguasa yang dusta. Hal itu begitu terngiang pada dirinya. Sehingga, ia
pun sering keluar istana untuk bersedekah kepada mereka.
Lama-kelamaan, tingkah polahnya
ketahuan. Ia pun dihukum 200 (dua ratus) kali cambuk tangan. Tak hanya
itu, ia juga disekap oleh ayahnya beberapa hari. Situasi tak kunjung
membaik. Rakyat pun kian tercekik. Akhirnya, ia pergi tanpa pamit.
Namun, tekadnya untuk membantu rakyat jelata tak berhenti. Dengan
bertopeng, ia mencuri. Tapi, ia tertangkap lagi. Itu membuatnya terusir
dari Kadipaten. Lalu, ia tinggal di hutan Jatiwangi. Di situ, ia menjadi
perampok tunggal yang disegani. Muncullah julukan “Brandal Lokajaya”.
Beguru Pada Sunan-Sunan
Suatu hari, ia melihat rombongan orang
tak dikenal. Ketika sampai di tengah hutan, ia pun memberhentikan mereka
untuk dibegal. Tak dinyana, pimpinan rombongan itu tetap tenang. Malah,
Lokajaya terkesima ketika melihat buah kolang kaling yang ditunjuk oleh
pimpinan rombongan itu berubah menjadi emas permata. Ia pun segera
mengambilnya. Namun, ketika sampai di tangannya, emas itu kembali
seperti biasa. Hal itu membuatnya tertegun. Akhirnya, ia memutuskan
untuk berguru pada pimpinan rombongan itu yang tak lain adalah Sunan
Bonang.
Bertahun-tahun, di bawah asuhan Sunan
Bonang, ia memperdalam agama. Tak puas, ia pun berguru kepada Raden
Rahmat (Sunan Ampel) di daerah Ampel Denta. Ia banyak belajar ilmu
hakikat, syariah, kanuragan, filsafat, kesenian dan sebagainya. Ia juga
sempat berguru kepada Syekh Syarif Hidayatullah di Cirebon. Konon,
menurut Babad Tanah Jawi, atas petunjuk Sunan Cirebon, ia disuruh
“bertapa” di pinggiran sungai desa bernama Kalijaga (kali=sungai,
jaga=menjaga). Di sinilah sebutan “Kalijaga” berawal.
Pendapat lain mengatakan bahwa kalijaga
berasal dari kata kalih (dua) dan jaga (menjaga). Maksudnya menjaga dua
syahadat, syahadat Allah dan Rasul. Ada juga yang mengatakan bahwa
kalijaga berasal dari bahasa arab ‘qadli dzaqa’. Istilah itu merujuk
statusnya sebagai seorang “penghulu suci” kesultanan. Namun, karena
silap lidah, kata Arab ini berubah menjadi kalijaga, yang tetap
digunakan sampai sekarang.
Berdakwah Menyebarkan Ajaran Islam
Selesai berguru kepada Sunan Gunung
Jati, ia kembali ke Demak untuk membantu perjuangan para wali. Ia pun
diutus untuk mengenalkan Islam kepada masyarakat yang masih rawan tata
krama, tata susila serta masih memeluk agama Hindu-Budha. Tak pelak,
Sunan Kalijaga pun bekerja keras. Siang malam, ia masuk keluar hutan
untuk mendakwahkan Islam. Ia terus berkelana, dari satu daerah ke dearah
lain. Sehingga, ia terkenal dengan sebutan muballigh keliling
(reizendle mubaligh).
Dalam berdakwah, Sunan Kalijaga dikenal
sangat toleran terhadap budaya lokal. Tidak serta merta ia memberangus
berbagai praktek budaya yang sudah banal. Ia tahu betul bagaimana
berdakwah kepada masyarakat yang hidup dengan kepercayaan kental. Tidak
bisa menggunakan cara yang keras dan kasar. Ia terus mencari cara agar
mampu membuat masyarakat simpati. Dipakailah cara akulkturasi,
menyisipkan ajaran Islam ke dalam budaya mereka. Terbukti, tak lama
kemudian, masyarakat terpikat. Islam pun berkembang pesat.
Dalam berdakwah, Sunan Kalijaga sangat
halus dan kompromis. Sebab itu, ia tak banyak menemukan kesulitan
memasuki daerah-daerah “abangan”. Ia mudah berbaur dengan masyarakat
kelas bawah untuk mengenalkan Islam. Dengan cara itu, sedikit demi
sedikit, nilai-nilai luhur Islam ditransformasikan. Masyarakat juga
nyaman untuk menyimak.Tak aneh kalau kemudian kaum bangsawan dan
cendekiawan amat simpati kepadanya. Cara Sunan Kalijaga menyiarkan agama
Islam sesuai dengan aliran zaman. Ia berpandangan jauh serta
berperasaan dalam.
Kyai Sekati
Sunan Kalijaga banyak memanfaatkan
medium kesenian dalam berdakwah. Medium ini dipakai karena masyarakat
saat itu gemar akan pagelaran kesenian. Agar mudah dikenal, ia memesan
kepada ahli gamelan untuk membuatkan seperangkat gamelan. Gamelan itu
kemudian diberi nama “Kyai Sekati”. Dipakai untuk menarik antusiasme
warga dalam pertunjukan seni. Gamelan itu ditaruh di depan halaman
Masjid Demak.
Menurut kebiasaan, setiap tahun, sesudah
konferensi besar para wali, di serambi Masjid Demak diadakan perayaan
Maulid Nabi. Perayaan itu diramaikan dengan rebana menurut irama seni
Arab. Kyai Sekati dipersiapkan dengan hiasan beraneka bunga-bungaan yang
indah. Begitu juga gapura Masjid Demak. Atas kreasi itu, banyak rakyat
yang tertarik untuk datang. Sebagai tanda dimulainya peringatan Maulid
Nabi, Kyai Sekati pun dipukul betalu-talu tanpa henti.
Di muka gapura masjid, para wali
bergantian tampil memberikan wejangan-wejangan dengan gaya bahasa yang
membumi. Para pengunjung banyak yang tertarik. Mereka pun mulai masuk
masjid, mendekati gamelan yang sedang ditabuh. Namun, sebelum masuk,
mereka diharuskan mengambil air wudlu di kolam masjid melalui pintu
gapura. Juga harus mengucap kalimat syahadat. Hal itu bermakna, barang
siapa telah mengucapkan dua kalimat syahadat kemudian masuk masjid
melalui gapura (dari bahasa Arab, ghapura=ampunan) maka segala dosanya
telah diampuni oleh Tuhan.
Dandanggula dan Lir Ilir
Tak hanya itu, Sunan Kalijaga juga
banyak menggubah cerita wayang. Ia mencipta cerita Layang Jimat
Kalimasada dan lakon wayang Petruk Jadi Raja. Cerita itu digubah untuk
menyebarkan nilai Islam melalui wayang yang menjadi tontonan rakyat saat
itu. Ia juga berhasil menyusun tembangan atau lagu Jawa yang biasa
dikumandangkan pada saat pementasan wayang atau di waktu senggang. Di
antara tembang karangannya adalah Dandanggula, Dandanggula Semarangan
dan Lir Ilir yang sampai kini masih akrab di kalangan sebagian besar
orang Jawa.
Sunan Kalijaga juga mahir dalam seni
lukis, seni pakaian dan seni ukir. Dalam seni lukis, ia memprakarsai
corak batik bermotif burung. Sebagai gambar ilustrasi, burung dikenal
sangat indah. Namun, tak hanya indah, motif ini begitu bermakna. Dalam
bahasa Kawi, burung disebut kukila. Kata itu dalam bahasa Arab bisa
berasal dari rangkaian kata: quu dan qiila atau quuqiila, yang artinya
“peliharalah ucapan (mulut)-mu. Hal ini dimaksudkan agar manusia selalu
baik tutur katanya.
Dalam seni pakaian, Sunan Kalijaga
membuat model baju kaum pria yang diberi nama baju “takwo”. Nama itu
berasal dari kata Arab taqwa yang artinya ta’at pada segala perintah
Allah serta menjauhi larangan-larangan-Nya. Baju itu kemudian
disempurnakan oleh Sultan Agung dengan destar nyamping dan keris serta
rangkaian lainnya. Sumbangsih Sunan Kalijaga dalam seni ukir juga sangat
besar. Dialah yang menciptakan motif daun-daunan.
Arsitek yang Handal
Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai
arsitek yang handal. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan
dua beringin, serta masjid agung, diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Ia jugalah yang mendesain Masjid Demak dengan empat soko sebagai
penunjangnya. Salah satu soko itu adalah ciptaan Sunan Kalijaga.
Hebatnya, soko tersebut terbuat dari tatal (pecahan kayu kecil-kecil),
yang disusun rapi dan diikat dengan tali yang sangat kuat. Sampai
sekarang, soko tatal itu masih kuat menyangga badan masjid.
Sebagaimana Sunan Bonang, metode dakwah
Sunan Kalijaga beraliran “sufistik berbasis salaf”, bukan sufi
panteistik (pemujaan semata). Atau juga Islam sinkretik. Sebab, dalam
setiap langkah yang ditempuh, selalu didasari dengan pertimbangan
keagamaan yang matang. Bukan hanya mengakurkan atau mencampuradukkan
Islam dengan kebudayaan setempat tanpa pemikiran.
Terbukti, pilihan dakwah Sunan Kalijaga
memang sangat tepat. Dengan itu, ia menjadi sangat dekat dengan rakyat.
Dakwah Islam yang dilakukan pun tepat sasaran. Sehingga, sebagian besar
adipati di Jawa memeluk Islam. Di antaranya, Adipati Padanaran,
Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede – Jogja).
Pernikahan
Sunan Kalijaga lahir sekitar tahun 1450.
Ia menikah dengan Dewi Sarah binti Maulana Ishak. Pernikahan itu
melahirkan tiga anak: Raden Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rukayah dan
Dewi Sofiah. Karena usianya yang panjang (lebih dari 100 tahun), Sunan
Kalijaga mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478),
Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan
Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram di
bawah pimpinan Panembahan Senopati. Selama waktu itu pula, Sunan
Kalijaga mencurahkan diri untuk mengembangkan Islam di seluruh tanah
Jawa.
Jasa Sunan Kalijaga dalam mendakwahkan
Islam sangatlah besar. Di samping rajin turun ke bawah untuk menyebarkan
Islam, ia juga berhasil menumbangkan kekuasaan Raja Girindra Wardana
yang menghambat dakwah Islam. Atas prestasinya itu, ia dianugerahi oleh
Raden Fatah, Sultan Demak saat itu, sebuah tanah perdikan (daerah
otonom). Daerah itu bernama Kadilangu. Di tempat itu, Sunan Kalijaga
kembali mengajarkan Islam kepada masyarakat. Ia menjadi konsultan
keagamaan yang merakyat. Di tempat itu jualah, ia dimakamkan.
Makam Sunan Kalijaga terletak kira-kira 1
km dari alun-alun Masjid Demak. Perjalanan ke sana bisa ditempuh dengan
sepeda motor ke arah tenggara (timur-selatan). Atau naik ojeg dengan
membayar sebesar Rp. 10.000. Makam itu banyak dikunjungi peziarah. Tiap
malam Jum’at, pengunjung sangat padat.
Untuk mencapainya, peziarah harus rela
berdesakan. Antusiasme warga untuk menyambangi makam Sunan Kalijaga
sangatlah wajar. Di tangannya, sinar Islam kuat terpancar. Ia mampu
mengemas Islam kultural yang akrab bagi masyarakat sekitar. Pemahaman
keagamaannya matang. Kepiawaiannya memainkan artefak kultural tak
diragukan. Ia adalah wali serba bisa. Ia menguasai banyak gaya. Untuk
itu, ia layak bergelar arsitek budaya Islam-Jawa. (M. Khoirul Muqtafa)
0 komentar