Batal atau tidaknya wudhu seorang istri apabila bersentuhan dengan suaminya merupakan masalah khilafiyah di kalangan para fuqoha.
Munculnya perbedaan ini disebabkan oleh karena berbeda dalam menafsirkan ‘au laa mastumun nisaa’ dalam QS Al-Maidah: 6 dan An-Nisa: 43, ”Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam
keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan
pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekadar
berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam
musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan,
kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah
yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha
Pemaaf lagi Maha Pengampun.”
Pertanyaannya, ‘laamastumun nisa’ (menyentuh
wanita) itu apakah dimaksudkan menyentuh biasa atau ‘menyentuh’ dalam
arti berhubungan suami istri. Pandangan dari empat mazhab tentang ‘laamastum‘ bisa kita lihat berikut ini:
Pandangan Mazhab
Syafi’i
yang dimaksud dengan ‘laamastum’ adalah menyentuh dengan tangan karena ia merupakan ungkapan yang hakiki bukan makna majazi (kiasan). Jadi bersentuhan dapat membatalkan wudhu apabila tanpa penghalang.
Hanafi
yang dimaksudkan ‘laamastum’ adalah persetubuhan bukan menyentuh dengan tangan. Jadi wudhu tidak batal jika hanya bersentuhan biasa.
Maliki
sentuhan akan membatalkan wudhu dengan
syarat apabila orang yang menyentuh tersebut telah baligh, sentuhan itu
tanpa penghalang dan ada syahwat. Apabila tidak ada syahwat maka
wudhunya tidak batal.
Hanbali
bersentuhan dengan syahwat dapat membatalkan wudhu, apabila tidak disertai syahwat maka tidak membatalkan.
Pada dasarnya kita menghargai setiap
perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para fuqoha. Dalam hal ini
pandangan yang menyatakan bahwa bersentuhan tidak dianggap membatalkan
wudhu jika sentuhan tersebut tidak disertai syahwat, lebih mudah kita
jalankan mengingat beberapa hadits Nabi saw, di antaranya dari Aisyah
ra, bahwa Nabi saw pernah mencium sebagian istrinya, kemudian beliau saw keluar untuk melaksanakan shalat dan tidak berwudhu lagi (HR Abu Daud, Tirmizi, Ibnu Majah).
Dalam hadits Bukhari Muslim dari Aisyah ra,
beliau berkata, “Saya pernah tidur di depan Rasulullah saw. Kedua kaki
saya berada di kiblatnya. Jika bersujud maka beliau menyentuh saya
kemudian saya menarik kedua kaki saya dan apabila beliau berdiri maka
saya julurkan lagi kedua kaki saya.”
Sumber : http://ummi-online.com
0 komentar