Jauhnya sebagian umat Islam dari ajaran agamanya
mengakibatkan mereka tak mampu membedakan antara ajaran agama atau bukan.
Sesuatu yang merupakan ajaran agama terkadang dipandang bukan ajaran agama. Sebaliknya,
sesuatu yang bukan ajaran agama justru dipandang sebagai ajaran agama.
Di sinilah peran ilmu syar'i sangat penting dan
menentukan, sehingga seseorang tak salah dalam mengklasifikasikan suatu
persoalan, ushuliyah kah (pokok/prinsip) atau tergolong masalah furu'iyah
(cabang) yang di dalamnya terbuka pintu ijtihad dan perbedaan
pendapat.
Di sisi lain, ada beberapa persoalan yang secara jelas
termasuk yang diada-adakan dalam agama ini yang seharusnya ditinggalkan karena
tidak berdasarkan dalil yang jelas dan tegas, tetapi diamalkan oleh sebagian
besar umat Islam
Dalam hal ini ada dua kemungkinan, yaitu:
·
Pertama, bisa jadi mereka melakukan amalan
tersebut karena tidak tahu bahwa hal itu tidak ada contoh dan tuntunannya dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga menganggapnya sebagai ajaran agama.
·
Kedua,
mengetahui bahwa hal itu sebagai perbuatan yang tidak ada dasar dan dalilnya,
tetapi dengan berbagai dalih dan pembenaran yang dipaksakan, mereka melakukan
perbuatan tersebut, sehingga semakin memantapkan orang-orang awam bahwa hal itu
merupakan ajaran agama yang harus diamalkan.
Padahal, Allah Ta’ala tidak menerima amalan seseorang,
kecuali yang memang merupakan ajaran agama dan dicontohkan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda,"Barangsiapa melakukan
suatu amalan tidak atas perintahku maka amalan itu tertolak." (HR.
Muslim).
Ajaran Yang Tidak Ada Perintah Dari Rasululllah
shallallahu ‘alaihi wasallam, Tapi Membudaya Dan Diamalkan Umat.
Di antara persoalan yang termasuk tidak ada contoh dan
tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tetapi kebanyakan umat Islam
melakukannya adalah memilih bulan Rajab untuk melakukan ibadah-ibadah
khusus, misalnya puasa sebulan penuh atau sebagiannya, dan meyakininya
memiliki keutamaan yang besar. Atau -dan ini turun temurun sejak nenek moyang-
menyelenggarakan peringatan Isra' Mi'raj pada malam 27 Rajab atau
malam lain di bulan tersebut.
Biasanya, peringatan Isra' Mi'raj itu
diselenggarakan di dalam masjid. Masyarakat yang hadir dalam peringatan
tersebut dari berbagai kalangan . Dari orang-orang awam, ulama hingga para
pejabat.
Karena sangat semarak dan ramainya peringatan Isra'
Mi'raj tersebut, kadang-kadang umat Islam yang hadir lupa bahwa mereka
sedang berada di rumah Allah Ta’ala. Akhirnya tak terhindarkan lagi
bercampurnya kebenaran dan kebatilan dalam masjid tersebut, sehingga masjid itu
berubah fungsinya menjadi tempat keramaian dan bersenang-senang/ hiburan.
Masjid-masjid itu boleh dan sah diadakan berbagai
pertemuan yang diselenggarakan di dalamnya, jika berupa majlis ta'lim, mengaji
kandungan al-Qur'an al-Karim atau halaqah ilmu-ilmu agama, berdzikir kepada
Allah ‘azza wajalla, memusyawarahkan perkara-perkara yang bermanfaat bagi umat
dan lain-lain yang masih dalam kerangka beribadah kepada Allah subhanahu
wata’ala.
Masjid bukan tempat peringatan dan pertemuan yang
tujuannya sempit dan terbatas, tanpa memperdulikan apakah hal tersebut diridhai
Allah Ta’ala atau dimurkaiNya.
Dan perlu kita ketahui, sesungguhnya acara-acara
penyelenggaraan peringatan Isra' Mi'raj tersebut tidaklah pernah
diperintahkan dan dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Biasanya orang-orang datang dalam peringatan Isra'
Mi'raj tersebut untuk mendengar beberapa hal:
·
Pertama: Pembacaan ayat-ayat suci al-Qur'an dari
seorang qari' terkenal dengan suara meliuk-liuk yang bisa diduga agar -wallahu
a'lam- mendapatkan simpati dan kekaguman dari para pendengarnya.
·
Kedua:
Mendengarkan ceramah agama, yang biasanya oleh seorang yang dikenal pandai
melucu di sela-sela ceramahnya. Atau oleh orang yang pandai berkomunikasi
dengan para pendengarnya. Adapun kriteria kadar keilmuan dan kewara'an sang
penceramah merupakan sesuatu yang hampir terlupakan.
Acara-acara di atas menelan biaya cukup besar, bahkan
ada yang hingga puluhan juta rupiah. Dan, bila acara tersebut terselenggara
dengan baik, peringatan Isra' Mi'raj pun dianggap sukses.
Orang-orang awam menganggap bawah itulah agama, itulah
ajaran Islam. Dan mungkin sebagian mereka beranggapan, asal telah
menyelenggarakan berbagai acara tersebut, berarti mereka telah menunaikan
kewajiban agama.
Tidak sedikit mereka yang percaya dengan upacara
peringatan-peringatan itu tidak menjaga shalatnya, berbalikan dengan semangat
mereka menyelenggarakan berbagai macam peringatan tersebut. Bahkan tak jarang
di antara mereka ada yang datang ke masjid hanya sekali dalam seminggu karena
harus melaksanakan shalat Jum'at.
Ini adalah keawaman umat Islam. Karena itu kewajiban
para ulama pewaris para Nabi menerangkan ajaran Islam kepada umatnya tanpa
menyimpangkannya atau menghiasai kebenaran dengan kebatilan, dengan maksud
untuk lebih menarik simpati dan mendapatkan banyak pengikut.
Perkara lain yang tidak ada contoh dan tuntunannya
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di bulan Rajab adalah -ini biasanya
dilakukan oleh sebagian wanita muslimah- ziarah kubur pada hari Kamis,
pekan pertama dari bulan Rajab. Dalam ziarah tersebut mereka membawa
berbagai makanan lezat, buah-buahan segar dan minuman yang serba enak. Berbagai
bawaan itu mereka bagi-bagikan kepada orang-orang yang sedang berkerumun di
kuburan. Dan, sebagiannya membacakan al-Qur'an di beberapa sudut pekuburan.
Perbuatan yang mereka anggap baik itu, justeru menjerumuskan mereka pada lumpur
dosa.
·
Pertama:
Mereka menyiapkan dirinya mendapat laknat Allah Ta’ala, karena sesungguhnya
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan buruk atas para wanita yang
berziarah kubur, sebagaimana dalam sabda beliau,"Allah Ta’ala melaknat
para wanita yang berziarah kubur, mereka yang membangun masjid-masjid di
atasnya, dan meneranginya dengan lampu-lampu." (HR. Abu Daud dan
lainnya, Ahmad Syakir berkata, hadits hasan).
·
Kedua:
Membagi-bagikan sedekah di kuburan akan membuat fitnah kepada manusia, sebab
mereka akan berebut pergi ke lokasi-lokasi kuburan tempat pembagian sedekah.
Lalu apa pula landasan para wanita tersebut, sehingga harus mengkhususkan
membagi-bagikan sedekah di kuburan? Apakah sedekah hanya diterima jika
dibagi-bagikan di kuburan? Padahal Allah Ta’ala akan menerima setiap sedekah,
asalkan dikeluarkan dengan ikhlas, kapan dan di mana pun sedekah itu
dikeluarkan.
·
Ketiga:
Allah Ta’ala menurunkan Al-Qur'an sebagai peringatan bagi orang-orang hidup.
Benar bahwa di dalam Al-Qur'an terdapat doa-doa yang berfaedah untuk
pembacanya, yang merenungkan dan memahami isinya. Tetapi bukan untuk
orang-orang yang telah wafat. Apa manfaat pembacaan ayat atau surat yang berisi
tentang peringatan akan adzab Allah, kisah-kisah masa lalu, ayat-ayat hukum
dalam soal harta waris, thalak, nikah, jihad, amar ma'ruf dan nahi munkar
kepada orang yang telah meninggal dunia?
Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan orang yang telah meninggal dan
memohonkannya ampun kepada Allah Ta’ala. Tetapi beliau tidak membacakan
al-Qur'an atas mayit tersebut.
Adapun
puasa pada bulan Rajab, dibolehkan selama merupakan kebiasaan orang yang
melakukannya. Seperti bagi yang terbiasa melakukan puasa Senin-Kamis, atau
puasa tiga hari pada tanggal 13, 14 dan 15 setiap bulan Hijriyah.
Hadits-hadits Palsu dan Tidak Shahih Seputar Bulan
Rajab
Di antara hadits-hadits dha’if (lemah) dan maudhu'
(palsu) yang sering dijadikan pegangan untuk amalan-amalan tertentu pada bulan
Rajab adalah:
"Rajab adalah bulan Allah, Sya'ban adalah bulanku
dan Ramadhan adalah bulan umatku."
Diriwayatkan secara mursal oleh Abu al-Fatah bin Abi al-Fawaris, dalam “Amaliyah”
(Hadits dha’if, lihat: “Dha’if al-Jami’, hadits no. 3094,
karya al-Albani).
"Sesungguhnya di Surga terdapat sungai yang
dinamakan sungai Rajab. Airnya lebih putih daripada susu, (rasanya) lebih manis
daripada madu. Barangsiapa puasa sehari dari bulan Rajab, maka Allah akan
memberinya minum dari sungai tersebut." Diriwayatkan oleh Syairazi dalam Alqab (hadits maudhu', lihat:
“Dha’if al-Jami’, hadits no. 1902, karya al-Albani).
"Barangsiapa puasa tiga hari dalam bulan haram
(yakni hari) Kamis, Jum'at dan Sabtu, maka Allah menuliskan untuknya (pahala)
ibadah (selama) dua tahun." (Hadits
dha’if, lihat: “Dha’if al-Jami’, hadits no. 5649, karya al-Albani).
"Keutamaan bulan Rajab atas segenap bulan lain
seperti keutamaan al-Qur'an atas segenap perkataan (manusia)." Ibnu Hajar berkomentar, hadits ini maudhu'.
(Lihat: Kitab “Kasyfu al-Khafa’ 2/110, karya al-Ajaluni).
Mengkhususkan puasa pada bulan Rajab dan Sya'ban, sama
sekali tidak berdasarkan pada dalil. Diriwayatkan bahwa Umar radhiallahu ‘anhu
memukul orang yang berpuasa pada bulan Rajab. Selanjutnya beliau berkata, “Rajab
adalah bulan yang sangat diagung-agungkan oleh orang-orang Jahiliyah.”(Shahih.
Lihat: “al-Irwa’, hal. 957, karya al-Albani).
Ibnu Hajar berkata, “Tidak ada satupun hadits shahih
tentang keutamaan bulan rajab, serta mengkhususkan puasa pada hari tertentu di
dalamnya, juga tidak qiyamullail pada malam tertentu, yang bisa dijadikan dalil
dalam masalah tersebut (Lihat: “Tabyinu al-’Ajab, hal.21, karya Ibnu Hajar).
Dalil Palsu Mereka Seputar Bulan Rajab
Adapun hadits-hadits maudhu' yang mereka jadikan dalil
amalan mereka memang banyak. Untuk menjelaskan ketidak benaran dalil mereka,
asy-Syaukani dalam “al-Fawaid al-Majmu'ah Fi al-Ahadits al-Maudhu-'ah”
menyebutkan beberapa dalil mereka di antaranya:
·
"Perbanyaklah istighfar di bulan Rajab, karena sesungguhnya pada
setiap saat daripadanya, Allah Ta’ala memerdekakan beberapa orang dari (adzab)
Neraka." (Hadits maudhu').
·
"Barangsiapa berpuasa sehari di bulan Rajab dan melakukan
qiyamullail pada suatu malam saja, niscaya Allah Ta’ala akan mengutus padanya
pengaman pada hari Kiamat." (Hadits maudhu').
·
"Barangsiapa melakukan qiyamullail semalam dari bulan Rajab dan
berpuasa sehari daripadanya, niscaya Allah Ta’ala akan memberinya makan dari
buah-buahan Surga." (Hadits maudhu').
·
"Rajab adalah bulan Allah Ta’ala yang paling baik untuk berpuasa,
karena Dia mengkhususkannya untuk diriNya. Barangsiapa berpuasa sehari
daripadanya karena iman dan mencari ridha Allah subhanahu wata’ala, niscaya ia
akan mendapatkan keridhaanNya." (Hadits maudhu').
Dari berbagai uraian di muka, jelaslah bahwa
pengkhususan bulan Rajab untuk berbagai amalan dan ibadah tertentu bukanlah
tuntunan dan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Cukuplah kita
beribadah dan melakukan amalan sesuai dengan petunjuk dan tuntunan beliau.
0 komentar