Festival Peh Cun atau biasa dikenal dengan Duan Wu Jie di kalangan
Tionghoa Indonesia adalah salah satu festival penting dalam kebudayaan
dan sejarah Tiongkok. Festival ini dirayakan setiap tahunnya pada
tanggal 5, bulan 5 pada penanggalan Imlek (lunar) dan telah berumur
lebih 2300 tahun dihitung dari masa Dinasti Zhou.
Kata Peh Cun berasal dari dialek Hokkian untuk kata pachuan (dalam
bahasa Indonesia: mendayung perahu). Walaupun perlombaan perahu naga
bukan lagi praktik umum di kalangan Tionghoa-Indonesia, namun istilah
Peh Cun tetap digunakan untuk menyebut festival ini. Perayaan festival
ini biasanya ditandai dengan kegiatan perlombaan dayung perahu naga.dan
tradisi makan bakcang.
Mulai catatan sejarah dan asal usul hadirnya festival Peh Cun dalam
masyarakat Cina itu sendiri terdapat beberapa versi cerita. Ada sumber
yang mengatakan Festival Peh Cun berasal dari pemujaan terhadap Dewa
Naga, ada yang mengatakan berasal dari peringatan kisah kesetiaan (Wu Zi
Xu), ada pula sumber yang mengatakan festival ini untuk mengenang kisah
anak berbakti (Cao E). Namun, diantara cerita-cerita tersebut yang
paling terkenal adalah tentang kisah ke-patriotisme (peringatan atas Qu
Yuan).
Peringatan atas Qu Yuan
Qu Yuan (339 SM – 277 SM) adalah seorang menteri negara Chu di Zaman
negara-negara berperang. Ia adalah seorang pejabat yang berbakat dan
setia pada negaranya, banyak memberikan ide untuk memajukan negara Chu.
Kebijakannya yang ingin meyatukan dengan negara Qi lalu untuk memerangi
negara Qin, keluarga raja mengkritiknya yang berakhir pada pengusirannya
dari ibu kota negara Chu. Karena kecemasannya akan masa depan negara
Chu, ia bunuh diri dengan melompat ke sungai Miluo. Menurut legenda, ia
melompat ke sungai pada tanggal 5 bulan 5. Ini tercatat dalam buku
sejarah Shi Ji.
Qu Yuan sempat menulis puisi Lament of Ying sebelum bunuh diri. Puisi
itu berisi ungkapan rasa perhatian dan rasa kasihan terhadap masyarakat
pada waktu itu. Rasa geramnya ditumpahkan dalam puisi terhadap para
pemimpin negeri yang hanya memikirkan diri sendiri dan membiarkan
tragedi peperangan di tanah airnya yang sudah ada di depan mata.
Rakyat merasa sedih kemudian mencari jenazah sang menteri di sungai
Miluo. Lalu mereka melemparkan nasi dan makanan lain ke sungai, dengan
maksud agar ikan dan udang dalam sungai tersebut tidak mengganggu
jenazah sang menteri. Untuk menghindari makanan tersebut dari naga dalam
sungai tersebut, maka mereka membungkusnya dengan daun-daunan yang kita
kenal sebagai bakcang saat ini. Para nelayan yang mencari-cari jenazah
sang menteri dengan perahu akhirnya menjadi cikal bakal dari perlombaan
perahu naga setiap tahunnya.
Catatan sejarah tersebut, masih ada sampai sekarang dan terus menjadi
tradisi bagi masyrakat Tionghoa. Seperti tradisi lomba perahu naga yang
diselenggarakan setiap tahun baik di Cina Daratan, Hong Kong, Taiwan
maupun di Amerika Serikat.
Tradisi lain yang tak terlepas dari festival Peh Cun adalah tradisi
makan bakcang. Bakcang telah populer di Cina dan telah menjadi makanan
simbolik pada festival ini. Bentuk bakcang bermacam-macam dan yang biasa
kita lihat sekarang adalah berbentuk prisma segitiga Isi bakcang juga
bermacam-macam dan bukan hanya daging. Ada pula yang isinya
sayur-sayuran.
Menggantungkan rumput Ai dan Changpu dikenal juga sebagai tradisi
festival Peh Cun. Karena festival ini jatuh pada musim panas biasanya
dianggap sebagai bulan-bulan yang banyak penyakitnya, sehingga
rumah-rumah biasanya melakukan pembersihan, lalu menggantungkan rumput
Ai dan Changpu di depan rumah untuk mengusir dan mencegah datangnya
penyakit. Jadi, festival ini juga erat kaitannya dengan tradisi menjaga
kesehatan di dalam masyarakat Tionghoa. (DNY)
0 komentar