Keutamaan Lailatul Qadar
Mengenai pengertian lailatul qadar, para ulama ada beberapa versi
pendapat. Ada yang mengatakan bahwa malam lailatul qadr adalah malam
kemuliaan. Ada pula yang mengatakan bahwa lailatul qadar adalah malam
yang penuh sesak karena ketika itu banyak malaikat turun ke dunia. Ada
pula yang mengatakan bahwa malam tersebut adalah malam penetapan takdir.
Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa lailatul qadar dinamakan
demikian karena pada malam tersebut turun kitab yang mulia, turun rahmat
dan turun malaikat yang mulia (Periksa Zaadul Maysir, 6/177, Ibnul Jauziy, Mawqi’ At Tafaasir, Asy Syamilah).
Semua makna lailatul qadar yang sudah disebutkan ini adalah benar.
Adapun keutamaan lailatul qadar adalah:
Pertama, lailatul qadar adalah malam yang penuh keberkahan (bertambahnya kebaikan).
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ , فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
“Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al Qur’an) pada suatu malam
yang diberkahi. dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada
malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan: 3-4).
Malam yang diberkahi dalam ayat ini adalah malam lailatul qadar
sebagaimana ditafsirkan pada surat Al Qadar.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.” (QS. Al Qadar: 1)
Keberkahan dan kemuliaan yang dimaksud disebutkan dalam ayat selanjutnya,
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ
شَهْرٍ , تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ
مِنْ كُلِّ أَمْرٍ , سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْر
“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu
turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk
mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit
fajar.” (QS. Al Qadar: 3-5).
Sebagaimana kata Abu Hurairah,
malaikat akan turun pada malam lailatul qadar dengan jumlah tak
terhingga (Periksa Zaadul Maysir, 6/179). Malaikat akan turun membawa kebaikan dan keberkahan sampai terbitnya waktu fajar (-idem-, 6/180).
Kedua, lailatul qadar lebih baik dari 1000 bulan. An Nakho’i
mengatakan, “Amalan di lailatul qadar lebih baik dari amalan di 1000
bulan.” (Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 341, Ibnu Rajab Al
Hambali, Al Maktab Al Islamiy, cetakan pertama, 1428 H). Mujahid dan
Qotadah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lebih baik dari seribu
bulan adalah shalat dan amalan pada lailatul qadar lebih baik dari
shalat dan puasa di 1000 bulan yang tidak terdapat lailatul qadar
(Periksa Zaadul Maysir, 6/179).
Ketiga, menghidupkan malam lailatul qadar dengan shalat akan mendapatkan pengampunan dosa. Dari Abu Hurairah,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena
iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah
lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 1901)
Kapan Lailatul Qadar Terjadi?
Lailatul Qadar itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, sebagaimana
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ“Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 2020 dan Muslim no. 1169)
Terjadinya lailatul qadar di malam-malam ganjil itu lebih memungkinkan daripada malam-malam genap, sebagaimana
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ“Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 2017)
Lalu kapan tanggal pasti lailatul qadar terjadi? Ibnu Hajar Al
Asqolani telah menyebutkan empat puluhan pendapat ulama dalam masalah
ini. Namun pendapat yang paling kuat dari berbagai pendapat yang ada
sebagaimana dikatakan oleh beliau adalah lailatul qadar itu terjadi pada
malam ganjil dari sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan dan waktunya
berpindah-pindah dari tahun ke tahun (Lihat Fathul Baari,
6/306, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah). Mungkin pada tahun tertentu
terjadi pada malam kedua puluh tujuh atau mungkin juga pada tahun yang
berikutnya terjadi pada malam kedua puluh lima, itu semua tergantung
kehendak dan hikmah Allah Ta’ala. Hal ini dikuatkan oleh
sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ
الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى تَاسِعَةٍ تَبْقَى ،
فِى سَابِعَةٍ تَبْقَى ، فِى خَامِسَةٍ تَبْقَى
“Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan pada sembilan, tujuh, dan lima malam yang tersisa.” (HR. Bukhari no. 2021)
Para ulama mengatakan bahwa hikmah Allah menyembunyikan pengetahuan
tanggal pasti terjadinya lailatul qadar adalah agar orang bersemangat
untuk mencarinya. Hal ini berbeda jika lailatul qadar sudah ditentukan
tanggal pastinya, justru nanti malah orang-orang akan bermalas-malasan.
(-idem-)
Do’a di Malam Lailatul Qadar
Sangat dianjurkan untuk memperbanyak do’a pada lailatul qadar,
lebih-lebih do’a yang dianjurkan oleh suri tauladan kita –Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana terdapat dalam hadits dari
Aisyah. Beliau radhiyallahu ‘anha berkata,
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ
إِنْ عَلِمْتُ أَىُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا
قَالَ : قُولِى اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ
عَنِّى
“Katakan padaku wahai Rasulullah, apa pendapatmu, jika aku
mengetahui suatu malam adalah lailatul qadar. Apa yang aku katakan di
dalamnya?” Beliau menjawab,”Katakanlah: ‘Allahumma innaka ‘afuwwun
tuhibbul ‘afwa fa’fu anni’ (Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf
yang menyukai permintaan maaf, maafkanlah aku).” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Adapun tambahan kata “kariim” setelah “Allahumma innaka ‘afuwwun …” tidak terdapat satu dalam manuskrip pun. Lihat Tarooju’at no. 25)
Tanda Malam Lailatul Qadar
Pertama, udara dan angin sekitar terasa tenang. Sebagaimana dari Ibnu Abbas,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْلَةُ القَدَرِ لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلَقَةٌ لَا حَارَةً وَلَا بَارِدَةً تُصْبِحُ الشَمْسُ صَبِيْحَتُهَا ضَعِيْفَةٌ حَمْرَاء
“Lailatul qadar adalah malam yang penuh kelembutan, cerah, tidak
begitu panas, juga tidak begitu dingin, pada pagi hari matahari
bersinar lemah dan nampak kemerah-merahan.” (HR. Ath Thoyalisi. Haytsami mengatakan periwayatnya adalah tsiqoh /terpercaya)
Kedua, malaikat turun dengan membawa ketenangan sehingga manusia
merasakan ketenangan tersebut dan merasakan kelezatan dalam beribadah
yang tidak didapatkan pada hari-hari yang lain.
Ketiga, manusia dapat melihat malam ini dalam mimpinya sebagaimana terjadi pada sebagian sahabat.
Keempat, matahari akan terbit pada pagi harinya dalam keadaan jernih, tidak ada sinar. Dari Abi bin Ka’ab bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shubuh hari dari malam lailatul qadar matahari terbit tanpa sinar, seolah-olah mirip bejana hingga matahari itu naik.” (HR. Muslim no. 1174) (Lihat pembahasan di Shahih Fiqih Sunnah, 2/149-150, Abu Malik, Maktabah At Taufiqiyyah)
Bagaimana Seorang Muslim Menghidupkan Malam Lailatul Qadar?
Lailatul qadar adalah malam yang penuh berkah. Barangsiapa yang
terluput dari lailatul qadar, maka dia telah terluput dari seluruh
kebaikan. Sungguh merugi seseorang yang luput dari malam tersebut.
Seharusnya setiap muslim mengecamkan baik-baik
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فِيهِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ
“Di bulan Ramadhan ini terdapat lailatul qadar yang lebih baik
dari 1000 bulan. Barangsiapa diharamkan dari memperoleh kebaikan di
dalamnya, maka dia akan luput dari seluruh kebaikan.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Oleh karena itu, sudah sepantasnya seorang muslim lebih giat
beribadah ketika itu dengan dasar iman dan tamak akan pahala melimpah di
sisi Allah. Seharusnya dia dapat mencontoh Nabinya yang giat ibadah
pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
‘Aisyah menceritakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat
bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan melebihi
kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.” (HR. Muslim no. 1175)
Seharusnya setiap muslim dapat memperbanyak ibadahnya ketika itu,
menjauhi istri-istrinya dari berjima’ dan membangunkan keluarga untuk
melakukan ketaatan pada malam tersebut.
‘Aisyah mengatakan,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki sepuluh hari
terakhir (bulan Ramadhan), beliau mengencangkan sarungnya (untuk
menjauhi para istri beliau dari berjima’ – Lihat tafsiran ini di
Latho-if Al Ma’arif, hal. 332), menghidupkan malam-malam tersebut dan
membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari no. 2024 dan Muslim no. 1174)
Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Aku sangat senang jika memasuki
sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan untuk bertahajud di malam hari dan
giat ibadah pada malam-malam tersebut.” Sufyan pun mengajak keluarga
dan anak-anaknya untuk melaksanakan shalat jika mereka mampu. (Latho-if Al Ma’arif, hal. 331)
Adapun yang dimaksudkan dengan menghidupkan malam lailatul qadar
adalah menghidupkan mayoritas malam dengan ibadah dan bukan seluruh
malam, Pendapat ini dipilih oleh sebagian ulama Syafi’iyah (Lihat Latho-if Al Ma’arif,
hal. 329). Menghidupkan malam lailatul qadar pun bukan hanya dengan
shalat, bisa pula dengan dzikir dan tilawah Al Qur’an (Lihat ‘Aunul Ma’bud,
3/313, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah).
Namun amalan shalat lebih
utama dari amalan lainnya di malam lailatul qadar berdasarkan hadits,
“Barangsiapa
melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan
mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan
diampuni.” (HR. Bukhari no. 1901)
Bagaimana Wanita Haidh Menghidupkan Malam Lailatul Qadar?
Juwaibir pernah mengatakan bahwa dia pernah bertanya pada Adh Dhohak,
“Bagaimana pendapatmu dengan wanita nifas, haidh, musafir dan orang
yang tidur (namun hatinya dalam keadaan berdzikir), apakah mereka bisa
mendapatkan bagian dari lailatul qadar?” Adh Dhohak pun menjawab, “Iya,
mereka tetap bisa mendapatkan bagian. Siapa saja yang Allah terima
amalannya, dia akan mendapatkan bagian malam tersebut.” (Latho-if Al Ma’arif, hal. 331)
Dari riwayat ini menunjukkan bahwa wanita haidh, nifas dan musafir
tetap bisa mendapatkan bagian lailatul qadar. Namun karena wanita haidh
dan nifas tidak boleh melaksanakan shalat ketika kondisi seperti itu,
maka dia boleh melakukan amalan ketaatan lainnya. Yang dapat wanita
haidh lakukan ketika itu adalah:
- Membaca Al Qur’an tanpa menyentuh mushaf. (Dalam at Tamhid (17/397, Syamilah), Ibnu Abdil Barr berkata, “Para pakar fiqh dari berbagai kota baik Madinah, Iraq dan Syam tidak berselisih pendapat bahwa mushaf tidaklah boleh disentuh melainkan oleh orang yang suci dalam artian berwudhu. Inilah pendapat Imam Malik, Syafii, Abu Hanifah, Sufyan ats Tsauri, al Auzai, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah, Abu Tsaur dan Abu Ubaid. Merekalah para pakar fiqh dan hadits di masanya)
- Berdzikir dengan memperbanyak bacaan tasbih (subhanallah), tahlil (laa ilaha illallah), tahmid (alhamdulillah) dan dzikir lainnya.
- Memperbanyak istighfar.
- Memperbanyak do’a. (Lihat pembahasan di “Al Islam Su-al wa Jawab” pada link http://www.islam-qa.com/ar/ref/26753)
Beri’tikaf Demi Menanti Lailatul Qadar
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada
sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau.
Inilah penuturan ‘Aisyah (HR. Bukhari no. 2026 dan Muslim 1172). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan untuk mendapatkan
malam lailatul qadar, untuk menghilangkan dari segala kesibukan dunia,
sehingga mudah bermunajat dengan Rabbnya, banyak berdo’a dan banyak
berdzikir ketika itu (Latho-if Al Ma’arif, hal. 338).
Beberapa hal yang bisa diperhatikan ketika ingin beri’tikaf.
Pertama, i’tikaf harus dilakukan di masjid dan boleh di masjid mana saja.
I’tikaf disyari’atkan dilaksanakan di masjid berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid” (QS. Al Baqarah: 187).
Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah di rumah sama sekali.
Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena
keumuman firman Allah di atas (yang artinya) “Sedang kamu beri’tikaf
dalam masjid”. Adapun hadits marfu’ dari Hudzaifah yang mengatakan, “Tidak ada i’tikaf kecuali pada tiga masjid yaitu masjidil harom, masjid nabawi dan masjidil aqsho”. Perlu diketahui, hadits ini masih diperselisihkan statusnya, apakah marfu’ (sabda Nabi) atau mauquf (perkataan sahabat).
Kedua, wanita juga boleh beri’tikaf sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengizinkan istri beliau untuk beri’tikaf. Namun wanita boleh
beri’tikaf di sini harus memenuhi 2 syarat: (1) Diizinkan oleh suami dan
(2) Tidak menimbulkan fitnah (masalah bagi laki-laki).
Ketiga, yang membatalkan i’tikaf adalah: (1) Keluar masjid tanpa
alasan syar’i atau tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak
(misalnya untuk mencari makan, mandi junub , yang hanya bisa dilakukan
di luar masjid), (2) Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat
Al Baqarah : 187 di atas.
Keempat, hal-hal yang dibolehkan ketika beri’tikaf di antaranya:
- Keluar masjid disebabkan ada hajat seperti keluar untuk makan, minum, dan hajat lain yang tidak bisa dilakukan di dalam masjid.
- Melakukan hal-hal mubah seperti bercakap-cakap dengan orang lain.
- Istri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan berdua-duaan dengannya.
- Mandi dan berwudhu di masjid.
- Membawa kasur untuk tidur di masjid.
Kelima, jika ingin beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan
Ramadhan, maka seorang yang beri’tikaf mulai memasuki masjid setelah
shalat Shubuh pada hari ke-21 (sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan keluar setelah shalat shubuh pada hari ‘Idul Fithri menuju lapangan.
Keenam, hendaknya ketika beri’tikaf, sibukkanlah diri dengan
melakukan ketaatan seperti berdo’a, dzikir, bershalawat pada Nabi,
mengkaji Al Qur’an dan mengkaji hadits. Dan dimakruhkan menyibukkan diri
dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat. (Pembahasan
i’tikaf ini disarikan dari Shahih Fiqih Sunnah, 2/150-158)
Semoga Allah memudahkan kita menghidupkan hari-hari terakhir di bulan Ramadhan dengan amalan ketaatan.
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
(muslim.or.id)
0 komentar