Namanya Izabela Szydlo. Dia adalah wanita asal Polandia, yang
menuntut ilmu di Kanada. Tak hanya jatuh hati pada negeri itu, ia juga
terpikat pada agama yang kini sedang naik daun di negeri itu, Islam.
Jalannya menuju Islam sangat berliku. Ketika hatinya mulai
tertambat, ia justru menolaknya. "Dua tahun saya berjuang melawan hati
saya sendiri menolak Islam," katanya. Namun ia menyerah, setelah
menemukan hanya Islamlah yang pas di hatinya.
Berikut ini pengakuan Izabela tentang pencarian keyakinannya:
"Saat tahu saya Muslim, orang pasti akan menebak latar belakang saya adalah Libanon atau Suriah. "Aku Polandia." Jawaban saya biasanya diikuti dengan pertanyaan lain, "Apakah Polandia sebuah negara Muslim?" Saya menjelaskan, "Ini tidak. Aku dikonversi."
Orang tidak biasa mengerti bahwa ada orang yang menerima agama lain dengan deklarasi keyakinan. Tapi melihat kembali pada pengalaman saya sendiri, memang tidak sesederhana itu.
Saya belajar tentang Islam tiga tahun yang
lalu ketika saya bertemu seorang mualaf sahabat saya. Kami mulai
mendiskusikan agama. Ketika kami berbicara, saya menemukan diri saya
mengidentifikasi dengan ajarannya tetapi pikiran saya terus melayang
dengan budaya Polandia saya dan iman Katolik saya. Aku berpikir apa yang
orang akan katakan jika saya pindah agama dan lebih penting lagi jika
saya harus mengambil sesuatu yang bukan hanya cara berdoa, tapi juga
cara hidup.
Saya punya terlalu banyak pertanyaan dan semua saya
temukan jawabannya dalam agama ini.Saya mulai berontak. Saya belajar
agama saya sendiri dan berusaha mencari koneksi, tapi sekali lagi Islam
merayap ke dalam pikiran saya.
Perjuangan internal yang berlangsung selama dua tahun sangat berat. Pada musim panas tahun 2005 saya putus asa.
(Awal 2006, ia mengibarkan bendera putih, menyerah. Iapun belajar tentang Islam secara otodidak; dari nol lagi).
Saya menemukan diri saya menulis artikel tentang isu-isu Islam di
kampus dan kesalahpahaman yang terjadi dalam memahami Muslim.
Saya
menemukan bahwa Islam adalah agama intelektual dan bahkan sains ada
dalam kitab suci mereka, Alquran. Selama ini, Barat banyak menyebut
Alquran adalah kreasi nabinya. Saya duduk pada malam-malam panjang saya
membaca, bingung bahwa seorang buta huruf bernama Muhammad bisa
menjelaskan banyak ilmu dalam Alquran, antara lain, bagaimana janin
terbentuk. Bagaimana dia tahu hal-hal pada waktu itu? Bagi saya
jawabannya sederhana, campur tangan Ilahi. Saya makin yakin: saya memang
harus mengkonversi keimanan saya.
Pada tanggal 13 April 2006,
saya bersyadahat. Saya tidak ingat berjalan ke masjid tapi saya ingat
air mata membasahi pipi setelah itu. Saya siap untuk memulai hidup
lebih terarah. Tapi sebelum saya bisa melakukan itu, saya harus membantu
keluarga saya menyesuaikan diri dengan perubahan.
Beberapa
minggu kemudian, saya tahu masalah tidak dapat dihindari. Malam pertama
di rumah, ibu saya melihat sajadah warna zamrud hijau saya. "Apa itu?"
tanya dia dan kemudian menjawab pertanyaan sendiri dengan amarahnya.
Biasanya
saya akan mulai bertengkar bila kondisi sudah demikian. Tapi kali ini
tidak. Saya menemukan kenyamanan dengan mengambil air wudhu dan
shalat. Ketika saya membungkuk di atas tikar, kekhawatiran saya
sepertinya berkurang. Sesuatu mengatakan kepada saya bahwa ibu saya
akan menerimanya suatu ketika.
Hari berikutnya saya menjelaskan
agama baru saya kepadanya. Dia mengangguk diam-diam dan saya berjanji
bahwa tidak ada yang akan berubah di antara kami. "Saya tidak bisa
menjanjikan apapun, hanya ini akan mengubah saya menjadi orang yang
lebih baik," jawab saya.
Hanya satu yang diinginkan ibu saat itu: saya berjanji akan tetap makan malam saat Natal bersama-sama. Saya mengangguk.
Tantangan
saya sebagai Muslim sangat berat, saya tahu itu. Saya bukannya tak
mengalami: kerap dianggap sebagai calon bomber bunuh diri.
Saya
tahu orang takut apa yang mereka tidak mengerti. Tapi sama seperti ibu
saya yang mau belajar, saya berharap orang mulai meluangkan waktu untuk
melakukan sedikit pencarian sehingga ketakutan yang berubah menjadi
pengetahuan.
(Republika.co.id)
0 komentar