Beberapa hari setelah beradaptasi dengan tempat kami tinggal, suamiku
mengajak berjalan-jalan mengenal lingkungan sekitar. Selama menyusuri
jalan kami menemui beragam orang di samping orang-orang pribumi, yang
bila kami lihat dari raut wajahnya, dapat diduga asal mereka seperti
dari Turki, Arab, Korea maupun
Afrika.
Sebagaimana orang yang tidak saling kenal, ketika berpapasan
tentunya saling tak acuh. Itu pula yang kami alami. Tiap orang berjalan
tanpa peduli sekitarnya, terkadang mereka berjalan begitu cepat dan
tergesa. Namun hal tersebut tak selalu demikian adanya. Berkali-kali
seulas senyum menghiasi raut muka orang yang tak kami kenal saat
berpapasan dengan kami, bahkan terkadang mereka tak segan menyapa
dengan mengucap salam yang lazim digunakan orang muslim saat bertemu.
Ya, seulas senyum mereka begitu berarti ketika kami terpisah ribuan
kilo dari sanak saudara dan handai taulan. Seulas senyum yang biasa
mudah kami dapati saat berada di tanah air ketika berjumpa dengan
orang-orang yang kami kenal.
Seulas senyum itu kini di sini menjadi sesuatu yang sanggup menjadi
pengobat rindu akan kampung halaman. Karena seulas senyum tulus yang
diberikan orang-orang yang belum kami kenal saat berada jauh dari tanah
air menyadarkan diri kami bahwa kami masih memiliki saudara seiman.
Bagaimana senyum itu tiba-tiba menghias wajah mereka saat berpapasan
dengan kami padahal jelas kami tidak saling mengenal? Tentu saja sangat
mudah diterka, ya karena aku menggunakan sehelai kain penutup kepala.
Hal ini menjadi identitas yang mudah dikenal oleh siapa pun bahwa aku
adalah seorang muslimah.
Sehelai kain penutup kepala itu mampu merekatkan dua orang yang
saling tak mengenal saat berpapasan. Seperti kuceritakan di atas, kami
merasakan sendiri ternyata sehelai kain penutup kepala tersebut dapat
mengikat persaudaraan. Karena ketika suamiku berjalan-jalan sendiri,
semua orang yang berpapasan dengannya tak pernah tahu kalau dia seorang
muslim. Bahkan, pernah ia disapa seseorang dengan bahasa Korea. Sontak
suamiku gelagapan menjawab dan menyampaikan pada orang yang menyapanya
bahwa dia bukan bagian dari bangsanya. Lain cerita bila dia berjalan
bersamaku, kami akan sangat mudah dikenal sebagai sepasang muslim
muslimah.
Pernah suatu ketika saat kami menyusuri ruas Mueller Strasse di
kawasan Wedding. Di tengah hiruk pikuk orang-orang, kami berpapasan
dengan seorang kakek. Tiba-tiba kakek yang sudah bungkuk itu berhenti
lalu menatap kami agak lama lalu menyunggingkan seulas senyum. Jabat
tangan pun terjadi antara suamiku dan sang kakek yang akhirnya kami
ketahui ia berasal dari Palestina.
Sang kakek begitu terlihat gembira saat mengetahui asal kami. Ia
memeluk suamiku penuh haru sambil berbisik pada suamiku agar suamiku
menjagaku dan bayi kami dengan sebaik-baiknya. Ia tahu persis bahwa
Indonesia merupakan negara yang penduduknya mayoritas muslim dan peduli
serta selalu mendukung perjuangan Palestina menghadapi negeri yang
kaumnya dilaknat Allah.
Seringkali kami berpapasan dengan kakek tersebut setiap menyusuri
ruas jalan itu. Tak kami sangka, kakek yang sudah sangat tua itu tetap
mengenali kami di setiap perjumpaan yang terjadi. Ia selalu
menyempatkan berbincang sebentar dengan suamiku.
Di lain waktu, pernah pula seorang muslimah menyapaku dengan ramah.
Setelah berkenalan akhirnya kutahu ia berasal dari Maroko. Hangatnya
persaudaraan yang ia perlihatkan dalam sikapnya membuatku terkesan
hingga kini. Demikian pula dengan sikap muslimah dari belahan negeri
lainnya seperti Turki, Libanon, Arab, Machedonia dan lain-lain, hampir
setiap berpapasan dengan mereka akan tersungging sebuah senyuman.
Sehelai kain identitas itu selain membuat senyumku dan mereka
terkembang juga menjadi amal ibadah bagi kami. Bagaimana tidak?
Karena Rasulullah SAW bersabda bahwa anak keturunan Adam memiliki kewajiban untuk bersedekah setiap harinya sejak matahari mulai terbit. Seorang sahabat yang tidak memiliki apa pun untuk disedekahkan bertanya, “Jika kami ingin bersedekah, namun kami tidak memiliki apa pun, lantas apa yang bisa kami sedekahkan dan bagaimana kami menyedekahkannya?” Rasulullah SAW bersabda, “Senyum kalian bagi saudaranya adalah sedekah, beramar makruf dan nahi mungkar yang kalian lakukan untuk saudaranya juga sedekah, dan kalian menunjukkan jalan bagi seseorang yang tersesat juga sedekah.” (HR Tirmizi dan Abu Dzar).
Dalam hadis lain disebutkan
bahwa senyum itu ibadah,
“Tersenyum ketika bertemu saudaramu adalah
ibadah.” (HR Trimidzi, Ibnu Hibban, dan Baihaqi).
Salah seorang
sahabat, Abdullah bin Harits, pernah menuturkan tentang Rasulullah SAW,
“Tidak pernah aku melihat seseorang yang lebih banyak tersenyum
daripada Rasulullah SAW.” (HR Tirmidzi).
Meskipun ringan, senyum merupakan amal kebaikan yang tidak boleh
diremehkan.
Rasulullah SAW bersabda,
“Janganlah kamu meremehkan kebaikan
sekecil apa pun, sekalipun itu hanya bermuka manis saat berjumpa
saudaramu.” (HR Muslim).
Sejak itu kusadari bahwa sehelai kain yang menutup kepala dapat
menjadi awal perekat hati kami dengan saudara-saudara seiman di negeri
minoritas muslim. Oleh karenanya, sehelai kain yang menjadi identitas
diri itu kuanggap bagian dari perisai hidupku di sana karena ia
menjadikanku serasa memiliki banyak saudara. (Islamedia.web.id)
0 komentar