“semut di seberang lautan tampak tetapi gajah di pelupuk mata tak
tampak.”
Maka sebenarnya jika diri kita mampu untuk mengevaluasi diri,
tidaklah akan sempat kita untuk menghitung-hitung dan mencari-cari
kelemahan atau aib orang lain. Pun karena takut, kalau-kalau Allah akan
mengungkap aib kita kelak. Tidak hanya itu, Al Qarni dalam sebuah
ungkapan menyebutkan bahwa evaluasi diri mampu menjadikan harapan kita
kepada orang lain lebih seimbang (tak berlebihan) dan membuat kita
menjadi simpatik kepada orang yang berbuat kesalahan.
Setiap orang punya kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Itu
sudah pasti. Dan untuk menjadi timbangan penilaian adalah sebanyak
apapun kelebihan seseorang tetaplah ia bukan malaikat yang tak pernah
berbuat kesalahan. Saat melihat kelemahannya maka kita memaklumi bahwa
Ia hanya manusia yang tak sempurna, tempatnya lalai dan dosa.
Atau dengan kata lain, dengan ukuran apa seseorang itu sudah dapat
disebut sebagai orang yang baik atau orang yang buruk. Tentu ukurannya
adalah sejauh mana banyaknya kebaikan itu dapat menutupi keburukannya
atau sebaliknya. Contohnya Kita lihat pada sosok yang satu ini.
Sosok Hajjaj bin Yusuf. Ia yang telah mengalungkan kepada Anas bin
Malik—ahli hadits dan sahabat nabi terkemuka—dengan sebutan yang sangat
menghina. Lebih sadis lagi adalah apa yang pernah ia lakukan beberapa
tahun sebelumnya dengan mengirim kepala Abdullah bin Zubair di atas
nampan kepada junjungannya, Abdul Malik bin Marwan, yang berada di
Damaskus.
Tangan yang berlumuran darah dan membersitkan amisnya itu tak mampu
menahan mantan kepala sekolah di Thaif ini untuk mengambil peran dalam
kejayaan tamadun Bani Umayyah. Reformasi ortografinya berupa
pengembangan tanda baca untuk menghindari kesalahan dalam membaca
Alqur’an menjadikannya monumental. Apakah kebaikannya lebih dikenal
daripada keburukannya? Sudah barang tentu kekejian dan kesadisannya
lebih dikenal daripada peran pentingnya itu.
Seseorang ulama yang sudah dikenal dengan pengabdiannya kepada umat,
buku-bukunya yang sudah tersebar ke seantoro dunia, kelurusan akidah
serta moderatnya dalam fikih yang sudah diakui pula, ketika melakukan
satu kesalahan—bisa jadi berawal dari perbedaan pendapat dalam ijtihad
yang diambil—apakah itu akan menghancurkan dan menutupi seluruh
kebaikannya untuk umat itu? Tidak, sungguh tidak adil jika kita
mengabaikannya. Kesalahan—jika masih disebut seperti itu—yang
dilakukannya malah membuktikan bahwa dia adalah manusia yang tak
sempurna.
Tinggal bagaimana saudara seakidahnya ini dapat menutupi aib yang
ada atau memberikan pemakluman kepada ulama itu. Karena masih ada 999
alasan lainnya untuk kita berlapang dada dengan kelemahan yang
dimilikinya. Saya teringat perkataan salah satu orang besar dunia,
“Lupakan kesalahan orang lain seperti kita melupakan kebaikan yang pernah kita lakukan dan jangan pernah untuk melupakan kebaikan orang lain.”
(Riza Almanfaluthi/ Islamedia.web.id)
0 komentar