Jika dalam hal fiqih yang kadang menghajatkan kepastian hukum, para ulama
saling menghormati, apalagi masalah perbedaan pandangan politik. Di
bidang yang tak selalu ‘hitam putih’ ini, umat Islam mestinya jauh
lebih bisa saling menghargai.
Rabu, pekan terakhir Dzulqa’dah 5 Hijriyah. Matahari mulai meninggi.
Rasulullah saw dan para sahabatnya berjalan pelan meninggalkan Khandaq. Perang Ahzab baru saja usai. Umat Islam keluar sebagai pemenang. Pasukan Sekutu yang jumlahnya mencapai 10 ribu prajurit terpaksa meninggalkan Madinah dengan tangan hampa setelah mengepung kota itu hampir sebulan. Mereka gagal menghabisi kaum Muslimin. Bahkan, dalam pertempuran yang lebih mengedepankan perang urat syaraf ini, korban Pasukan Ahzab lebih banyak, mencapai 10 orang. Sedangkan syahid dari umat Islam hanya enam orang.
Rasulullah saw dan para sahabatnya berjalan pelan meninggalkan Khandaq. Perang Ahzab baru saja usai. Umat Islam keluar sebagai pemenang. Pasukan Sekutu yang jumlahnya mencapai 10 ribu prajurit terpaksa meninggalkan Madinah dengan tangan hampa setelah mengepung kota itu hampir sebulan. Mereka gagal menghabisi kaum Muslimin. Bahkan, dalam pertempuran yang lebih mengedepankan perang urat syaraf ini, korban Pasukan Ahzab lebih banyak, mencapai 10 orang. Sedangkan syahid dari umat Islam hanya enam orang.
Menjelang Zuhur, Rasulullah
saw berjalan menuju rumah Ummu Salamah. Setelah membersihkan diri dan
beristirahat sejenak lalu bersiap melaksanakan shalat Zuhur, saat
itulah malaikat Jibril mendatangi beliau. “Apakah engkau akan
meletakkan senjata, wahai Rasulullah?”
Rasulullah saw mengiyakan
pertanyaan itu. Malaikat Jibril berkata lagi, “Para malaikat belum
meletakkan senjata. Mereka sekarang sedang mengejar kaum tersebut
(maksudnya Yahudi Bani Quraizhah yang telah berkhianat dengan membantu
Pasukan Ahzab untuk menyerang kaum Muslimin, red). Hai Muhammad,
sesungguhnya Allah SWT memerintahkanmu berangkat ke Bani Quraizhah. Aku
juga akan pergi untuk mengguncang mereka.”
Usai melaksanakan
shalat Zuhur bersama para sahabatnya, Rasulullah saw segera memberikan
komando untuk mendatangi Bani Quraizhah. “Barangsiapa mendengar dan
taat, jangan sekali-kali mengerjakan shalat Ashar kecuali di Bani
Quraizhah,” ujar beliau menutup instruksinya.
Rasulullah saw
menunjuk Ali bin Abi Thalib di depan barisan dengan membawa bendera
perang. Informasi yang diberikan malaikat Jibril benar. Ketika Ali bin
Abi Thalib dan pasukannya hampir mendekati benteng-benteng Bani
Quraizhah, mereka mendengar orang-orang Yahudi itu mencaci maki
Rasulullah saw.
Rasulullah saw berangkat menyusul bersama kaum
Anshar dan Muhajirin. Mereka sempat beristirahat di salah satu sumur
Bani Quraizhah di samping kebun mereka bernama Sumur Anna. Sebagian kaum
Muslimin terus bergegas menuju pemukiman Bani Quraizhah. Ketika waktu
Ashar tiba, mereka masih dalam perjalanan.
Saat itu terjadi
perbedaan pendapat. Mereka ingat dengan pesan Nabi saw yang berbunyi,
“Barangsiapa mendengar dan taat, jangan sekali-kali mengerjakan shalat
Ashar kecuali di Bani Quraizhah.”
Sebagian dari pasukan kaum
Muslimin tidak melaksanakan shalat Ashar. Bahkan sebagian riwayat
mengatakan, ada di antara mereka yang melaksanakan shalat Ashar setelah
Isya di perkampungan Bani Quraizhah.
Namun sebagian lain
melaksanakan shalat Ashar di perjalanan. Ungkapan Nabi yang mengatakan,
“Jangan sekali-kali mengerjakan shalat Ashar kecuali di Bani
Quraizhah,” dipahami agar mereka bersegera menuju perkampungan Bani
Quraizhah sehingga bisa melaksanakan shalat Ashar di tempat itu.
Ketika
hal itu diketahui oleh Rasulullah saw, beliau tidak
mempermasalahkannya. Beliau mendiamkan dan tidak menyalahkan salah satu
dari dua pendapat itu. Demikianlah, pasukan Islam bergerak menuju Bani
Quraizhah hingga disusul oleh pasukan Nabi saw. Mereka berjumlah tiga
ribu orang dan membawa 30 ekor kuda. Pasukan kaum Muslimin tiba di
perkampungan Bani Quraizhah dan mengepung tempat itu.
Pengepungan
berlangsung hingga 25 hari. Yahudi Bani Quraizhah dilanda ketakutan
luar biasa. Mereka tak memberikan perlawanan sama sekali. Pimpinan
mereka, Ka’ab bin Asad sempat memberikan pilihan kepada teman-temannya
dengan tiga opsi: masuk Islam, membunuhi anak-anak dan wanita mereka
sendiri lalu menghunus pedang menyerang kaum Muslimin, atau melanggar
kedamaian hari Sabtu dengan cara menyerbu umat Islam secara tiba-tiba.
Dari
tiga hal itu tak ada yang dipilih Bani Quraizhah. Mereka dilanda
ketakutan yang mencekam dan akhirnya bersepakat untuk menyerahkan diri
sambil menanti keputusan Nabi saw.
Untuk memberikan keputusan
atas para pengkhianat ini, Nabi saw menyerahkannya kepada Sa’ad bin
Muadz yang merupakan sekutu Bani Quraizhah. Kala itu sahabat Nabi saw
ini sedang sakit akibat luka-luka pada Perang Ahzab. Saat akan
memberikan keputusan, beberapa orang sempat menyarankan agar berbuat
baik kepada orang-orang Yahudi tersebut. Tapi hal itu tak menghalangi
Sa’ad untuk menjalankan hukum Allah dengan tegas. Maka, dengan suara
lantang Sa’ad memutuskan, “Tentang Bani Quraizhah, aku putuskan bahwa
laki-laki dari mereka harus dibunuh, kekayaan mereka dibagi-bagi, dan
anak-anak serta wanita-wanita ditawan.”
“Sungguh engkau telah memutuskan perkara dengan hukum Allah dari atas tujuh langit,” ujar Nabi saw mengomentari keputusan Sa’ad.
Demikianlah, para pengkhianat itu dijatuhi hukuman mati. Hampir sembilan ratus orang dipenggal kepalanya dan dimasukkan ke dalam parit yang sudah disiapkan sebelumnya.
Banyak sisi yang bisa kita ambil sebagai
hikmah di balik Perang Bani Quraizhah ini. Selain ketegasan Nabi saw
dan para sahabatnya saat menghadapi orang-orang Yahudi, kita juga
belajar kebijaksanaan Rasulullah saw. Pertama, kebijakan beliau dalam
memberikan keputusan atas orang-orang Yahudi. Beliau tidak memutuskan
sendiri, tapi meminta sahabatnya Sa’ad bin Muadz, sebagai orang yang
dianggap cukup dekat dengan Bani Quraizhah.
Kedua dan sisi ini
yang sering dilupakan, kebijaksanaan Nabi dalam menyikapi perbedaan
para sahabatnya saat memahami instruksi beliau. Dalam hal ini contohnya
ungkapan beliau yang menyatakan agar para sahabatnya tidak shalat
Ashar kecuali di Bani Quraizhah.
Meski nash hadits itu dianggap
sangat jelas bagi sebagian para sahabat, tapi tetap saja membuka
peluang perbedaan pendapat. Sebagian memahami teks ungkapan beliau itu
apa adanya, yakni agar mereka shalat Ashar di Bani Quraizhah. Namun
sebagian lain justru memahami ‘spirit’ ucapan beliau yang menghendaki
agar mereka berjalan lebih cepat supaya tiba di Bani Quraizhah sebelum
waktu Ashar lewat.
Menyikapi dua perbedaan itu, Nabi saw tak
menyalahkan mereka. Beliau menghormati perbedaaan itu. Hal tersebut
memberikan isyarat bahwa dalam memahami teks, baik al-Qur’an maupun
Hadits, peluang perbedaan pendapat itu memang terbuka.
Pada
peristiwa lain kita bisa lihat toleransi Nabi saw menyikapi perbedaan
pendapat. Dalam Fiqih Sunnah-nya (Jilid I/89) pada bab Hal-hal yang
Membatalkan Tayamum, Sayyid Sabiq menceritakan ulang hadits dari Abu
Said al-Khudri. Diriwayatkan, suatu ketika dua laki-laki melakukan
perjalanan. Ketika waktu shalat tiba, keduanya tak mendapatkan air.
Maka, mereka pun bertayamum. Tak lama kemudian, keduanya mendapatkan
air—setelah shalat. Lalu, salah seorang di antara keduanya mengulang
shalat dengan berwudhu. Sementara temannya tidak mengulangi lagi
shalatnya.
Ketika bertemu Nabi saw, keduanya memaparkan perbedaan
pendapat itu. Kepada yang tidak mengulang shalatnya, Nabi saw
bersabda, “Engkau telah menepati sunnah dan shalatmu sah.“ Adapun
kepada laki-laki yang berwudhu dan mengulang shalatnya, Nabi saw
bersabda, “Anda mendapatkan dua pahala.“ (HR Abu Daud dan Nasai).
Nabi
saw membenarkan dua pendapat yang berbeda. Nah, kalau perbedaan
pendapat itu bisa terjadi ketika Nabi saw masih hidup, apalagi setelah
beliau wafat. Peluang itu pasti akan terbuka lebar. Sikap umat Islam
dalam menghadapi perbedaan pendapat ini mesti arif dan bijak selagi
masih dalam koridor yang dibenarkan. Dalam konteks kisah di atas, kedua
belah pihak tetap melaksanakan shalat, sebagian di tengah perjalanan,
sebagian lagi di perkampungan Bani Quraizhah.
Pilihan hukum
dalam hal furu’iyah (cabang) tak harus selalu sunnah atau bid’ah, tapi
bisa jadi rajih (kuat) dan marjuh (yang dikuatkan). Mengamalkan yang
marjuh bisa menjadi pilihan jika membawa kemaslahatan. Ini bukan
plin-plan, tapi cerminan sikap bijak dan cerdas.
Jika dalam hal
fiqih yang kadang menghajatkan kepastian hukum, para ulama saling
menghormati, apalagi masalah perbedaan pandangan politik. Di bidang
yang tak selalu ‘hitam putih’ ini, umat Islam semestinya jauh lebih
bisa saling menghargai. Ijitihad politik yang senantiasa dinamis sesuai
konteks zaman dan waktu, pasti akan membuka peluang perbedaan yang
begitu terbuka. Perbedaan tempat dan kondisi kerap tak bisa
men-general-kan keputusan.
Untuk itu, umat Islam dituntut agar saling menghormati pendapat, khususnya dalam berpolitik.
Oleh Hepi Andi Bastoni, MA
(republika.co.id)
0 komentar