Berbagai permasalahan qodho’ puasa (membayar utang atau nyaur
puasa) masih belum dipahami oleh sebagian kaum muslimin. Oleh karena
itu, pembahasan ini sangat menarik jika kami ketengahkan. Semoga
bermanfaat.
Yang dimaksud dengan qodho’ adalah mengerjakan suatu ibadah yang memiliki batasan waktu di luar waktunya.[1]
Untuk kasus orang sakit misalnya, di bulan Ramadhan seseorang mengalami
sakit berat sehingga tidak kuat berpuasa. Sesudah bulan Ramadhan dia
mengganti puasanya tadi. Inilah yang disebut qodho’.Orang yang Diberi Keringanan untuk Mengqodho’ Puasa
Ada beberapa golongan yang diberi keringanan atau diharuskan untuk
tidak berpuasa di bulan Ramadhan dan mesti mengqodho’ puasanya setelah
lepas dari udzur, yaitu:
Pertama, orang yang sakit dan sakitnya memberatkan untuk puasa. Dimisalkan ini pula adalah wanita hamil dan menyusui apabila berat untuk puasa.
Kedua, seorang musafir dan ketika bersafar sulit untuk berpuasa atau sulit melakukan amalan kebajikan.
Ketiga, wanita yang mendapati haidh dan nifas.
Dalil golongan pertama dan kedua adalah firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
“Kami dulu mengalami haidh. Kami diperintarkan untuk mengqodho puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqodho’ shalat.”[2]
Adakah Qodho’ bagi Orang yang Sengaja Tidak Puasa?
Yang dimaksud di sini, apakah orang yang sengaja tidak puasa
diharuskan mengganti puasa yang sengaja ia tinggalkan. Mayoritas ulama
berpendapat bahwa siapa saja yang sengaja membatalkan puasa atau tidak
berpuasa baik karena ada udzur atau pun tidak, maka wajib baginya untuk mengqodho’ puasa.[3]
Namun ada ulama yang memiliki pendapat yang berbeda. Ibnu Hazm dan
ulama belakangan seperti Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin
berpendapat bahwa bagi orang yang tidak berpuasa dengan sengaja tanpa
ada udzur, tidak wajib baginya untuk mengqodho’ puasa. Ada kaedah ushul
fiqih yang mendukung pendapat ini: “Ibadah yang memiliki batasan
waktu awal dan akhir, apabila seseorang meninggalkannya tanpa udzur
(tanpa alasan), maka tidak disyariatkan baginya untuk mengqodho’
kecuali jika ada dalil baru yang mensyariatkannya”.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin memaparkan pula kaedah di atas: “Sesungguhnya
ibadah yang memiliki batasan waktu (awal dan akhir), apabila
seseorang mengerjakan ibadah tersebut di luar waktunya tanpa ada udzur
(alasan), maka ibadah tadi tidaklah bermanfaat dan tidak sah.”
Syaikh rahimahullah kemudian membawakan contoh. Misalnya
shalat dan puasa. Apabila seseorang sengaja meninggalkan shalat hingga
keluar waktunya, lalu jika dia bertanya, “Apakah aku wajib mengqodho’
(mengganti) shalatku?” Kami katakan, “Engkau tidak wajib mengganti
(mengqodho’) shalatmu. Karena hal itu sama sekali tidak bermanfaat
bagimu dan amalan tersebut akan tidak diterima.
Begitu pula apabila ada seseorang yang tidak berpuasa sehari di bulan
Ramadhan (dengan sengaja, tanpa udzur, -pen), lalu dia bertanya pada
kami, “Apakah aku wajib untuk mengqodho’ puasa tersebut?” Kami pun
akan menjawab, “Tidak wajib bagimu untuk mengqodho’ puasamu yang
sengaja engkau tinggalkan hingga keluar waktu karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak.”[4]
Seseorang apabila mengakhirkan ibadah yang memiliki batasan waktu awal dan akhir dan mengerjakan di luar waktunya, maka itu berarti dia telah melakukan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut adalah amalan yang batil dan tidak ada manfaat sama sekali.”
Mungkin ada yang ingin menyanggah penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin di
atas dengan mengatakan, “Lalu kenapa ada qodho’ bagi orang yang
memiliki udzur seperti ketiduran atau lupa? Tentu bagi orang yang tidak
memiliki udzur seharusnya lebih pantas ada qodho’, artinya lebih layak untuk mengganti shalat atau puasanya.”
Syaikh Ibnu Utsaimin –alhamdulillah- telah merespon perkataan semacam tadi. Beliau rahimahullah
mengatakan, “Seseorang yang memiliki udzur, maka waktu ibadah untuknya
adalah sampai udzurnya tersebut hilang. Jadi, orang seperti ini
tidaklah mengakhirkan ibadah sampai keluar waktunya. Oleh karena itu,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bagi orang yang lupa shalat, “Shalatlah ketika dia ingat”.
Adapun orang yang sengaja meninggalkan ibadah hingga keluar waktunya
lalu dia tunaikan setelah itu, maka dia berarti telah mengerjakan
ibadah di luar waktunya. Oleh karena itu, untuk kasus yang kedua ini,
amalannya tidak diterima.”[5]
Lalu jika seseorang yang tidak berpuasa dengan sengaja tanpa ada
udzur di atas tidak perlu mengqodho’, lalu apa kewajiban dirinya?
Kewajiban dirinya adalah bertaubat dengan taubat nashuha dan hendaklah dia tutup dosanya tersebut dengan melakukan amalan sholih, di antaranya dengan memperbanyak puasa sunnah.
Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan, “Amalan ketaatan seperti puasa,
shalat, zakat dan selainnya yang telah lewat (ditinggalkan tanpa ada
udzur), ibadah-ibadah tersebut tidak ada kewajiban qodho’, taubatlah
yang nanti akan menghapuskan kesalahan-kesalahan tersebut. Jika dia
bertaubat kepada Allah dengan sesungguhnya dan banyak melakukan amalan
sholih, maka itu sudah cukup daripada mengulangi amalan-amalan
tersebut.”[6]
Syaikh Masyhur bin Hasan Ali Salman mengatakan, “Pendapat yang kuat,
wajib baginya untuk bertaubat dan memperbanyak puasa-puasa sunnah, dan
dia tidak memiliki kewajiban kafaroh.”[7]
Itulah yang harus dilakukan oleh orang yang meninggalkan puasa dengan
sengaja tanpa ada udzur. Yaitu dia harus bertaubat dengan ikhlash
(bukan riya’), menyesali dosa yang telah dia lakukan, kembali
melaksanakan puasa Ramadhan jika berjumpa kembali, bertekad untuk tidak
mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan, dan taubat tersebut
dilakukan sebelum datang kematian atau sebelum matahari terbit dari
sebelah barat. Semoga Allah memberi taufik.
Qodho’ Ramadhan Boleh Ditunda
Qodho’ Ramadhan boleh ditunda, maksudnya tidak mesti dilakukan
setelah bulan Ramadhan yaitu di bulan Syawal. Namun boleh dilakukan di
bulan Dzulhijah sampai bulan Sya’ban, asalkan sebelum masuk Ramadhan
berikutnya. Di antara pendukung hal ini adalah ‘Aisyah pernah menunda
qodho’ puasanya sampai bulan Sya’ban.
Dari Abu Salamah, beliau mengatakan bahwa beliau mendengar ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ
“Aku masih memiliki utang puasa Ramadhan. Aku tidaklah mampu
mengqodho’nya kecuali di bulan Sya’ban.”
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya mengundurkan qodho’ Ramadhan baik mengundurkannya karena ada udzur atau pun tidak.”[9]
Akan tetapi yang dianjurkan adalah qodho’ Ramadhan dilakukan dengan segera (tanpa ditunda-tunda) berdasarkan firman Allah Ta’ala yang memerintahkan untuk bersegera dalam melakukan kebaikan,
أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ
“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al Mu’minun: 61)
Mengakhirkan Qodho’ Ramadhan Hingga Ramadhan Berikutnya
Hal ini sering dialami oleh sebagian saudara-saudara kita. Ketika
Ramadhan misalnya, dia mengalami haidh selama 7 hari dan punya kewajiban
qodho’ setelah Ramadhan. Setelah Ramadhan sampai bulan Sya’ban, dia
sebenarnya mampu untuk membayar utang puasa Ramadhan tersebut, namun
belum kunjung dilunasi sampai Ramadhan tahun berikutnya. Inilah yang
menjadi permasalahan kita, apakah dia memiliki kewajiban qodho’ puasa
saja ataukah memiliki tambahan kewajiban lainnya.
Sebagian ulama mengatakan bahwa bagi orang yang sengaja mengakhirkan
qodho’ Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya, maka dia cukup mengqodho’
puasa tersebut disertai dengan taubat. Pendapat ini adalah pendapat
Abu Hanifah dan Ibnu Hazm.
Namun, Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i mengatakan bahwa jika dia
meninggalkan qodho’ puasa dengan sengaja, maka di samping mengqodho’
puasa, dia juga memiliki kewajiban memberi makan orang miskin bagi
setiap hari yang belum diqodho’. Pendapat inilah yang lebih kuat
sebagaimana difatwakan oleh beberapa sahabat seperti Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz –pernah menjabat sebagai
ketua Lajnah Ad Da’imah (komisi fatwa Saudi Arabia)- ditanyakan, “Apa
hukum seseorang yang meninggalkan qodho’ puasa Ramadhan hingga masuk
Ramadhan berikutnya dan dia tidak memiliki udzur untuk menunaikan qodho’
tersebut. Apakah cukup baginya bertaubat dan menunaikan qodho’ atau
dia memiliki kewajiban kafaroh?”
Syaikh Ibnu Baz menjawab, “Dia wajib bertaubat kepada Allah
subhanahu wa ta’ala dan dia wajib memberi makan kepada orang miskin
bagi setiap hari yang ditinggalkan disertai dengan qodho’ puasanya.
Ukuran makanan untuk orang miskin adalah setengah sha’ Nabawi dari
makanan pokok negeri tersebut (kurma, gandum, beras atau semacamnya)
dan ukurannya adalah sekitar 1,5 kg sebagai ukuran pendekatan. Dan
tidak ada kafaroh (tebusan) selain itu. Hal inilah yang difatwakan oleh
beberapa sahabat radhiyallahu ‘anhum seperti Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Namun apabila dia menunda qodho’nya karena ada udzur seperti sakit
atau bersafar, atau pada wanita karena hamil atau menyusui dan sulit
untuk berpuasa, maka tidak ada kewajiban bagi mereka selain mengqodho’
puasanya.”[10]
Kesimpulan: Bagi seseorang yang dengan sengaja menunda qodho’ puasa
Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya, maka dia memiliki kewajiban: (1)
bertaubat kepada Allah, (2) mengqodho’ puasa, dan (3) wajib memberi
makan (fidyah) kepada orang miskin, bagi setiap hari puasa yang belum ia
qodho’. Sedangkan untuk orang yang memiliki udzur (seperti karena
sakit atau menyusui sehingga sulit menunaikan qodho’), sehingga dia
menunda qodho’ Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya, maka dia tidak
memiliki kewajiban kecuali mengqodho’ puasanya saja.
Tidak Wajib Untuk Berurutan Ketika Mengqodho’ Puasa
Apabila kita memiliki kewajiban qodho’ puasa selama beberapa hari,
maka untuk menunaikan qodho’ tersebut tidak mesti berturut-turut. Misal
kita punya qodho’ puasa karena sakit selama lima hari, maka boleh kita
lakukan qodho’ dua hari pada bulan Syawal, dua hari pada bulan
Dzulhijah dan sehari lagi pada bulan Muharram. Dasar dibolehkannya hal
ini adalah,
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185).
Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tidak mengapa jika (dalam mengqodho’ puasa) tidak berurutan”.[11]
Semoga sajian ini bermanfaat.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
(muslim.or.id)
[1] Lihat Rowdhotun Nazhir wa Junnatul Munazhir, 1/58.
[2] HR. Muslim no. 335
[3]
Pendapat ini juga menjadi pendapat Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts
‘Ilmiyyah wal Ifta’ (komisi fatwa
di Saudi Arabia) dalam beberapa
fatwanya.
[4] HR. Muslim no. 1718
[5] Kutub wa Rosa-il lil ‘Utsaimin, 172/68.
[6] Idem
[7] Fatawa Syaikh Masyhur bin Hasan Ali Salman, soal no. 53, Asy Syamilah
[8] HR. Bukhari no. 1950 dan Muslim no. 1146
[9] Fathul Bari, 4/191.
[10] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, no. 15 hal. 347.
[11]
Dikeluarkan oleh Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad- dan juga
dikeluarkan oleh Abdur Rozaq
dalam Mushonnafnya (4/241, 243) dengan
sanad yang shahih.
0 komentar