Bahwa sesungguhnya seseorang masuk surga bukan karena amalnya, bukan
karena banyak ilmu atau pemahaman yang telah diketahui, bukan karena
kepandaiannya dalam bahasa Arab atau kepandaian memahami, menterjemahkan
atau mentafsirkan, bukan karena pengetahuan atau hafalan al Qur’an dan
haditsnya semata. Intinya bukan karena Amal dan Ilmu semata ! atau
ibaratnya semua bukan karena “aku” (maksudnya diri kita).
Semua semata-mata karena pertolongan Allah, karunia Allah, rahmat
Allah, hidayah dari Allah, petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta’ala .
Intinya semua karena Dia (oleh karenanya orang-orang yang mendalami tasawuf, memanggilNya atau mengingatNya dengan Huwa artinya Dia).
“…Allah juga berfirman memberitakan tentang penduduk surga:”..Dan mereka berkata:”segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini, dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk..“(QS Al-A’raaf:43).”..Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS an Nuur : 21)
Untuk itulah kita berjanji sesuai firman-Nya yang artinya,
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan” (QS al Fatihah : 5).
Pada saat kita mengucapkan “hanya Engkaulah yang kami sembah”,
pada saat itulah kita berupaya untuk taat kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala, kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan kepada Wali
Allah, Mursyid, Syaikh, Ulama, muslim yang sholeh atau mereka yang taat
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam.
Berupaya untuk menjadi muslim yang menjalankan Ihsan
(akhlak/tasawuf), muslim yang ihsan atau muhsinin yakni muslim yang
dapat seolah-olah melihat Allah atau minimal muslim yang yakin bahwa
Allah melihat kita, muslim yang sholeh, muslim terbaik. Sebagaimana
doa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan doa yang selalu kita
ucapkan “Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin” yang artinya “Keselamatan semoga bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh”
Pada saat kita mengucapkan “hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan”, pada saat itulah kita sadar bahwa upaya kita untuk taat atau untuk menjadi muslim yang sholeh adalah semata-mata pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala, pada saat itu pula kita menghilangkan / memfanakan “aku” (maksudnya diri kita), sehingga yang Ada hanyalah Dia.
Pada saat kita mengucapkan “hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan”, pada saat itulah kita sadar bahwa upaya kita untuk taat atau untuk menjadi muslim yang sholeh adalah semata-mata pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala, pada saat itu pula kita menghilangkan / memfanakan “aku” (maksudnya diri kita), sehingga yang Ada hanyalah Dia.
Fana, itu secara sederhana bisa dimaknai menghilangkan pengakuan
“Aku” atau ego. Sehingga tidak setitikpun rasa sombong, riya, ujub yang
timbul dari hati kita. Sehingga kita dapat mencapai puncak keikhlasan,
menjadi tawadhu dan tersungkur sujud di hadapanNya.
Kita ketahui
“Keagungan adalah sarungKU dan kesombongan adalah pakaianKU. Barangsiapa merebutnya (dari AKU) maka AKU menyiksanya. (HR. Muslim)
Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan. kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim)
Fana itu dapat dimaknai mengendalikan “hawa nafsu” atau akhlak yang
sadar dan mengingat Allah atau diibaratkan sebagai “mati”. “Mati” dalam
keadaan syahid (bersaksi), seolah-olah melihatNya.
Sebagaimana hadits Rasulullah SAW yang artinya
”Pakailah pakaian yang baru, hiduplah dengan terpuji, dan matilah dalam keadaan mati syahid” (HR.Ibnu Majah)
Pakaian yang baru = Pakaian Rohani = Akhlakul karimah = keadaan sadar (kesadaran) atau perilaku/perbuatan secara sadar dan mengingat Allah.
Sebagaimana yang disampaikan ulama sufi, imam Al Qusyairi bahwa
“Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu
sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan
pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun
Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati
seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”.
0 komentar