Telah menceritakan kepada kami Umar bin Hafsh telah menceritakan kepada kami Ayahku telah menceritakan kepada kami Al A’masy dia berkata; telah menceritakan kepadaku Syaqiq dari Abdullah dia berkata; Ketika kami membaca shalawat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka kami mengucapkan: ASSALAAMU ‘ALALLAHI QABLA ‘IBAADIHI, ASSALAAMU ‘ALAA JIBRIIL, ASSSALAAMU ‘ALAA MIKAA`IIL, ASSALAAMU ‘ALAA FULAAN WA FULAAN (Semoga keselamatan terlimpahkan kepada Allah, semoga keselamatan terlimpah kepada Jibril, Mika’il, kepada fulan dan fulan). Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selesai melaksanakan shalat, beliau menghadapkan wajahnya kepada kami dan bersabda: Sesungguhnya Allah adalah As salam, apabila salah seorang dari kalian duduk dalam shalat (tahiyyat), hendaknya mengucapkan; AT-TAHIYYATUT LILLAHI WASH-SHALAWAATU WATH-THAYYIBAATU, ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN-NABIYYU WA RAHMATULLAHI WA BARAKAATUH, ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA ‘IBAADILLAAHISH SHAALIHIIN, (penghormatan, rahmat dan kebaikan hanya milik Allah. Semoga keselamatan, rahmat, dan keberkahan tetap ada pada engkau wahai Nabi. Keselamatan juga semoga ada pada hamba-hamba Allah yang shalih. Sesungguhnya jika ia mengucapkannya, maka hal itu sudah mencakup seluruh hamba-hamba yang shalih baik di langit maupun di bumi, lalu melanjutkan; ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA RASUULUH (Aku bersaksi bahwa tiada Dzat yang berhak disembah selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya). Setelah itu ia boleh memilih do’a yang ia kehendaki. (HR Bukhari 5762)
Para Sahabat ketika duduk dalam shalat (tahiyyat), bertawasul dengan
menyebut nama-nama orang-orang sholeh yang telah wafat maupun dengan
para malaikat namun Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengajarkan
untuk menyingkatnya menjadi “Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin”,
maka hal itu sudah mencakup seluruh hamba-hamba Allah yang sholeh baik
di langit maupun di bumi“. Hamba Allah yang sholeh di langit maknanya
penduduk langit, para malaikat dan kaum muslim yang telah meraih maqom
disisiNya yang telah wafat , dan hamba sholeh di bumi adalah hamba
Allah yang sholeh yang masih hidup.
Rasulullah bersabda “Maka Allah pun mengangkatnya untukku agar aku
dapat melihatnya. Dan tidaklah mereka menanyakan kepadaku melainkan aku
pasti akan menjawabnya. Aku telah melihat diriku bersama sekumpulan para
Nabi. Dan tiba-tiba aku diperlihatkan Nabi Musa yang sedang berdiri
melaksanakan shalat, ternyata dia adalah seorang lelaki yang kekar dan
berambut keriting, seakan-akan orang bani Syanuah. Aku juga
diperlihatkan Isa bin Maryam yang juga sedang berdiri melaksanakan
shalat. Urwah bin Mas’ud Ats Tsaqafi adalah manusia yang paling mirip
dengannya. Telah diperlihatkan pula kepadaku Nabi Ibrahim yang juga
sedang berdiri melaksanakan shalat, orang yang paling mirip denganya
adalah sahabat kalian ini; yakni diri beliau sendiri. Ketika waktu
shalat telah masuk, akupun mengimami mereka semua. Dan seusai
melaksanakan shalat, ada seseorang berkata, ‘Wahai Muhammad, ini adalah
malaikat penjaga api neraka, berilah salam kepadanya! ‘ Maka akupun
menoleh kepadanya, namun ia segera mendahuluiku memberi salam (HR Muslim
251)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda“Seandainya bukan karena dosa yang menutupi kalbu Bani Adam, niscaya mereka menyaksikan malaikat di langit” (HR Ahmad dari Abi Hurairah)
Manusia terhalang / terhijab melihat alam ghaib adalah karena dosa
mereka. Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap
kebaikan adalah bintik cahaya pada hati. Ketika bintik hitam memenuhi
hati sehingga terhalang (terhijab) dari melihat alam ghaib. Inilah yang
dinamakan buta mata hati.
Sebagaimana firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 : 46)
Dalam kisah Isra’ Mi’raj disebutkan bahwa Malaikat Jibril mengeluarkan hati Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. “Lalu ia (Malaikat Jibril) membasuhnya dengan air zamzam dan menghilangkan sifat yang mengganggu”
Malaikat Jibril berkata kepada Malaikat Mikail, “Datangkan kepadaku nampan dengan air zam-zam agar aku bersihkan hatinya (Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam) dan aku lapangkan dadanya”
Di dalam musnad Ahmad dan selainnya dari Ibn Mas’ud ra disebutkan
bahwasanya ia (Ibn Mas’ud) berkata, “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa
Ta’ala melihat hati para hambaNya, maka didapati bahwa hati Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam adalah sebaik-baik hati para hamba”
Dalam kisah Isra’ Mi’raj, Anas bin Malik berkata “mereka
mendatangi beliau (Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam) lagi, yang
ketika itu hati (beliau) melihat, mata beliau tidur namun tidak untuk
hatinya. Demikian pula para nabi, mata mereka tertidur namun hati mereka
tidak tidur” (HR Bukhari 6963)
Dalam Sunan ad Darimi disebutkan, “Suatu ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam datang, kemudian dikatakan kepadanya, “Benar-benar matamu tertidur, telingamu mendengar dan hatimu memahami?” Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “maka dua mataku tertidur, dua telingaku mendengar, dan hatiku memahami”.
Al Habib al Imam al Arif Billah as Sayyid Ali al Habsyi mengatakan
mengenai masalah dibelahnya dada Nabi Shallallahu alaihi wasallam dan
dikeluarkan bagian setan dari hatinya sebagaimana yang disebutkan dalam
hadits-hadits dan atsar-atsar, “Dan tidaklah para malaikat mengeluarkan dari hatinya penyakit akan tetapi mereka menambah padanya kesucian di atas kesucian”
Oleh karenanya jelas bahwa dengan persiapan “hati yang suci yang
disucikan” Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam diperjalankan ke
alam ghaib menemui para Nabi yang telah wafat atau yang “diangkat” dan
telah menjadi penduduk langit pada tingkatan maqom mereka masing-masing.
Allah Azza wa Jalla telah memperlihatkan maqom manusia yang paling
mulia, Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam dan para Malaikat tidak
dapat menemani Beliau melampaui Sidratul Muntaha.
Ulama yang sholeh keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Sayyid Muhammad bin Alwi Maliki mengatakan “‘Walaupun
dalam kisah mi’raj yang didengar terdapat keterangan mengenai
naik-turunnya Rasulullah, seorang muslim tidak boleh menyangka bahwa
antara hamba dan Tuhannya terdapat jarak tertentu, karena hal itu
termasuk perbuatan kufur. Na’udzu billah min dzalik. Naik dan turun itu
hanya dinisbahkan kepada hamba, bukan kepada Tuhan. Meskipun Nabi
shallallahu alaihi wasallam pada malam Isra’ sampai pada jarak dua busur
atau lebih pendek lagi dari itu, tetapi beliau tidak melewati maqam
ubudiyah (kedudukan sebagai seorang hamba). Ketahuilah bahwa
bolak-baliknya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam antara Nabi
Musa alaihissalam dengan Allah subhanahu wa ta’ala pada malam yang
diberkahi itu tidak berarti adanya arah bagi Allah subhanahu wa ta’ala.
Mahasuci Allah dari hal itu dengan sesuci-sucinya. Ucapan Nabi Musa
alaihissalam kepada beliau, “Kembalilah kepada Tuhanmu,” artinya:
“kembalilah ke tempat engkau bermunajat kepada Tuhanmu. Maka kembalinya
Beliau adalah dari tempat Beliau berjumpa dengan Nabi Musa alaihissalam
ke tempat beliau bermunajat dan bermohon kepada Tuhannya. Tempat memohon
tidak berarti bahwa yang diminta ada di tempat itu atau menempati
tempat itu karena Allah Subhanahu wa ta’ala suci dari arah dan tempat.
Maka kembalinya Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam kepadaNya
adalah kembali Beliau meminta di tempat itu karena mulianya tempat itu
dibandingkan dengan yang lain (Wa huwa bi al’ufuq al-a’la diterjemahkan oleh Sahara publisher dengan judul Semalam bersama Jibril ‘alaihissalam)
Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair telah menceritakan kepada kami Abu Usamah telah menceritakan kepada kami Zakariya’ dari Ibnu Asywa’ dari Amir dari Masruq dia berkata, “Aku berkata kepada Aisyah,
‘Lalu kita apakah firman Allah: ‘(Kemudian dia mendekat, lalu bertambah
dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung
busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada
hambaNya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan) ‘ (Qs. an-Najm:
8-10). Aisyah menjawab, ‘(Yang dimaksud ayat tersebut) adalah Jibril.
Dia mendatangi Rasulullah dalam bentuk seorang laki-laki, dan pada
kesempatan ini, dia mendatangi beliau dalam bentuknya yang sesungguhnya,
sehingga dia menutupi ufuk langit’.” (HR Muslim 260)
Dari Masruq dia berkata, “Aku yang duduk bersandar dari tadi, maka
aku mulai duduk dengan baik, lalu aku berkata, ‘Wahai Ummul Mukminin!
Berilah aku tempo, dan janganlah kamu membuatku terburu-buru, (dengarlah
kata-kataku ini terlebih dahulu), bukankah Allah telah berfirman:
walaqad raaahu bialufuqi almubiini (QS at Takwir [81]:23) dan Firman
Allah lagi: walaqad raaahu nazlatan ukhraa (QS An Najm 53]:13) Maka
Aisyah menjawab, ‘Aku adalah orang yang pertama bertanya kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. mengenai perkara ini dari
kalangan umat ini. Beliau telah menjawab dengan bersabda: Yang dimaksud
‘dia’ dalam ayat itu adalah Jibril (bukan Allah), “aku tidak pernah
melihat Jibril dalam bentuk asalnya kecuali dua kali saja, yaitu semasa
dia turun dari langit dalam keadaan yang terlalu besar sehingga memenuhi
di antara lagit dan bumi.” (HR Muslim 259)
Dalam Tafsir Al Bahr al Muhith dan Kitab “Amali (Imam Al-Hafiz
Al-‘Iraqi), Pakar tafsir, al Fakhr ar-Razi dalam tafsirnya dan Abu
Hayyan al Andalusi dalam tafsir al Bahr al Muhith mengatakan: “Yang dimaksud مَّن فِي السَّمَاء (man fissama-i) dalam ayat tersebut (QS Al-Mulk [67]:16) adalah malaikat”.
Ayat tersebut tidak bermakna bahwa Allah bertempat di langit. Perkataan
‘man’ yaitu ‘siapa’ dalam ayat tadi berarti malaikat bukan berarti
Allah berada dan bertempat di langit.
Dalam tafsir jalalain Imam Suyuthi ~rahimahullah mengatakan : “Yang
dimaksud مَّن فِي السَّمَاء (man fissama-i) dalam ayat tersebut adalah
kekuasaan/kerajaan dan qudrat-Nya (Shulthonihi wa qudratihi ) jadi yang
di langit adalah kekuasaan dan qudratnya (Shulthonihi wa qudratihi )
bukan dzat Allah.
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya,“Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al Hadid [57] : 1 )
Jadi man fi al-sama’ adalah kekuasaan dan qudratnya (Shulthonihi wa qudratihi ) berikut penduduk langit.
Penduduk langit juga bisa menyaksikan hamba-hamba kekasih Tuhan di bumi sebagaimana dinyatakan Rasulullah, “Sesungguhnya
para penghuni langit mengenal penghuni bumi yang selalu mengingat dan
berzikir kepada Allah bagaikan bintang yang bersinar di langit.”
Dalam Al Qur’an dinyatakan dalam ayat, “Untuk mereka kabar gembira waktu mereka hidup di dunia dan di akhirat.”
(QS Yunus/10:64). Para ulama tafsir mengomentari ayat ini sesuai dengan
pengalaman sahabat Nabi Muhammad, Abu Darda’, yang menanyakan apa
maksud ayat ini. Rasulullah menjelaskan, “Yang dimaksud ayat ini ialah mimpi baik yang dilihat atau diperlihatkan Allah SWT kepadanya.”
Dalam ayat lain lebih jelas lagi Allah berfirman, “Allah memegang jiwa
(orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di
waktu tidurnya.” (QS al-Zumar [39]:42).
Ibnu Zaid berkata, “Mati adalah wafat dan tidur juga adalah wafat”.
Al-Qurtubi dalam at-Tadzkirah mengenai hadis kematian dari syeikhnya mengatakan: “Kematian
bukanlah ketiadaan yang murni, namun kematian merupakan perpindahan
dari satu keadaan (alam) kepada keadaan (alam) lain.”
Abdullah Ibnu Abbas r.a. pernah berkata, “ruh orang tidur dan ruh
orang mati bisa bertemu diwaktu tidur dan saling berkenalan sesuai
kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya, karena Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang menggenggam ruh manusia pada dua keadaan, pada keadaan tidur
dan pada keadaan matinya.”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,حياتي خير لكم ومماتي خير لكم تحدثون ويحدث لكم , تعرض أعمالكم عليّ فإن وجدت خيرا حمدت الله و إن وجدت شرا استغفرت الله لكم.“Hidupku lebih baik buat kalian dan matiku lebih baik buat kalian. Kalian bercakap-cakap dan mendengarkan percakapan. Amal perbuatan kalian disampaikan kepadaku. Jika aku menemukan kebaikan maka aku memuji Allah. Namun jika menemukan keburukan aku memohonkan ampunan kepada Allah buat kalian.” (Hadits ini diriwayatkan oelh Al Hafidh Isma’il al Qaadli pada Juz’u al Shalaati ‘ala al Nabiyi Shallalahu alaihi wasallam. Al Haitsami menyebutkannya dalam Majma’u al Zawaaid dan mengkategorikannya sebagai hadits shahih)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,(ما من رجل يزور قبر أخيه ويجلس عليه إلا استأنس ورد عليه حتي يقوم)“Tidak seorangpun yang mengunjungi kuburan saudaranya dan duduk kepadanya (untuk mendoakannya) kecuali dia merasa bahagia dan menemaninya hingga dia berdiri meninggalkan kuburan itu.” (HR. Ibnu Abu Dunya dari Aisyah dalam kitab Al-Qubûr).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,(ما من أحد يمربقبر أخيه المؤمن كان يعرفه في الدنيا فيسلم عليه إلا عَرَفَهُ ورد عليه السلام)“Tidak seorang pun melewati kuburan saudaranya yang mukmin yang dia kenal selama hidup di dunia, lalu orang yang lewat itu mengucapkan salam untuknya, kecuali dia mengetahuinya dan menjawab salamnya itu.” (Hadis Shahih riwayat Ibnu Abdul Bar dari Ibnu Abbas di dalam kitab Al-Istidzkar dan At-Tamhid).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,إن أعمالكم تعرض على أقاربكم وعشائركم من الأموات فإن كان خيرا استبشروا، وإن كان غير ذلك قالوا: اللهم لا تمتهم حتى تهديهم كما هديتنا)“Sesungguhnya perbuatan kalian diperlihatkan kepada karib-kerabat dan keluarga kalian yang telah meninggal dunia. Jika perbuatan kalian baik, maka mereka mendapatkan kabar gembira, namun jika selain daripada itu, maka mereka berkata: “Ya Allah, janganlah engkau matikan mereka sampai Engkau memberikan hidayah kepada mereka seperti engkau memberikan hidayah kepada kami.” (HR. Ahmad dalam musnadnya).
Manusia yang telah meraih maqom disisiNya, Para Nabi, para wali Allah
(muslim yang bermakrifat atau shiddiqin, yang membenarkan dan
menyaksikan Allah dengan hatinya), dan orang-orang sholeh seringkali
mendapat kesempatan melihat dan berkunjung kepada penduduk langit.
Kesempatan ini yang disebut dengan kasyaf, terbukanya hijab atau tabir
pemisah antara hamba dan Tuhan. Allah Azza wa Jalla membukakan tabir
bagi kekasih-Nya untuk melihat, mendengar, merasakan, dan mengetahui
hal-hal ghaib.
Mereka yang telah meraih maqom disisiNya seperti hidup di alam yang
bebas dimensi, tidak lagi terikat dengan ruang dan waktu. Mereka bisa
berkomunikasi interaktif dengan makhluk dan para penghuni alam lain,
baik di alam malakut, alam jabarut, maupun alam barzakh lainnya
Suatu saat Imam al-Gazali ditanya muridnya perihal banyaknya hadis
ahad atau hadis tak populer yang dikutip dalam kitabnya, Ihya’ ‘Ulum
al-Din. Lalu, al-Ghazali menjawab, dirinya tak pernah mencantumkan
sebuah hadis dalam Ihya’ tanpa mengonfirmasikan kebenarannya kepada
Rasulullah.
Jika ada lebih dari 200 hadis dikutip di dalam kitab itu, berarti
lebih 200 kali Imam al-Gazali berjumpa dengan Rasulullah. Padahal, Imam
al-Ghazali hidup pada 450 H/1058 M hingga 505 H/1111 M, sedangkan
Rasulullah wafat tahun 632 M. Berarti, masa hidup antara keduanya
terpaut lima abad. Kitab Ihya’ yang terdiri atas empat jilid itu ditulis
di menara Masjid Damaskus, Suriah, yang sunyi dari hiruk pikuk manusia.
Pengalaman lain, Ibnu ‘Arabi juga pernah ditanya muridnya tentang
kitabnya, Fushush al-Hikam. Setiap kali sang murid membaca pasal yang
sama dalam kitab itu selalu saja ada inspirasi baru.
Menurutnya, kitab Fushush bagaikan mata air yang tidak pernah kering.
Ibnu ‘Arabi menjawab, kitab itu termasuk judulnya dari Rasulullah yang
diberikan melalui mimpi. Dalam mimpi itu, Rasulullah mengatakan, “Khudz
hadzal kitab, Fushush al-Hikam (ambil kitab ini, judulnya Fushush
al-Hikam).”
Oleh karenanya bagi kaum muslim yang ingin mengetahui pendapat
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang ulama para pengikut
Muhammad bin Abdul Wahhab silahkan berkunjung kepada para Wali Allah
(muslim yang bermakrifat atau shiddiqin, yang membenarkan dan
menyaksikan Allah dengan hatinya) atau kepada ulama yang sholeh
kalangan para Habib dan Sayyid keturunan cucu Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam , di antara mereka. oleh Allah Azza wa Jalla masih
dipertemukan dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Yang sudah jelas, dalam kitab hadits shohih Imam Muslim pada bab fitnah dan tanda kiamat telah diuraikan,
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Kalian akan
memerangi jazirah arab lalu Allah menaklukkannya, setelah itu Persia
lalu Allah menaklukkannya, kemudian kalian memerangi Romawi lalu Allah
menaklukkannya, selanjutnya kalian memerangi Dajjal lalu Allah
menaklukkannya. Kemudian Nafi’ berkata: Hai Jabir, kami tidak
berpendapat Dajjal muncul hingga Romawi ditaklukkan. (HR Muslim 5161)
Dari Hudzaifah bin Asid Al Ghifari berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menghampiri kami saat kami tengah membicarakan sesuatu, beliau bertanya: Apa yang kalian bicarakan? Kami menjawab: Kami membicarakan kiamat. Beliau bersabda: Kiamat tidaklah terjadi hingga kalian melihat sepuluh tanda-tanda sebelumnya. Beliau menyebut kabut, Dajjal, binatang, terbitnya matahari dari barat, turunnya Isa bin Maryam Shallallahu ‘alaihi wa Salam, ya’juj dan ma’juj, tiga longsor; longsor di timur, longsor di barat dan longsor di jazirah arab dan yang terakhir adalah api muncul dari Yaman menggiring manusia menuju tempat perkumpulan mereka (HR Muslim 5162)
Berkata Ibnu Al Musayyib: telah mengkhabarkan kepadaku Abu Hurairah
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: Tidak akan
terjadi hari kiamat hingga keluar sebuah api dari bumi Hijaz yang dapat
menerangi leher seekor onta yang berada di Bushro. (kota di Syam, pent.)
(HR Muslim 5164)
Dari Ibnu Umar ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda sementara beliau menghadap timur: “Ingat, sesungguhnya fitnah itu disini, sesungguhnya fitnah itu disini dari arah terbitnya tanduk setan.” (HR Muslim 5167)
Sedangkan pada kitab Hadits Shohih Imam Bukhari pada bab fitnah
Dari Ibnu Umar mengatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
pernah memanjatkan doa; Ya Allah, berilah kami barakah dalam Syam kami,
ya Allah, berilah kami barakah dalam Yaman kami. Para sahabat berkata;
‘ya Rasulullah, dan juga dalam Nejed kami! ‘ Rasulullah
Shallallahu’alaihiwasallam membaca doa: Ya Allah, berilah kami barakah
dalam Syam kami, ya Allah, berilah kami barakah dalam Yaman kami. Para
sahabat berkata; ‘Ya Rasulullah, juga dalam Najd kami! ‘ dan seingatku,
pada kali ketiga, beliau bersabda; Disanalah muncul keguncangan dan
fitnah, dan disanalah tanduk setan muncul (HR Bukhari 6565)
Informasi tentang Najd dapat kita ketahui dari hadits
Dari Sa’id bin Abu Sa’id bahwa dia pernah mendengar Abu Hurairah
berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengirim
pasukan berkuda ke negeri Najd, lantas mereka dapat menawan dan membawa
seorang laki-laki dari Bani Hanifah yang bernama Tsumamah bin Utsal
seorang tokoh penduduk Yamamah (HR Muslim 3310)
Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam pernah mengirim suatu pasukan menuju daerah Najd, sedangkan
Ibnu Umar termasuk dalam prajurit tersebut. Lalu pasukan tersebut
mendapatkan ghanimah yang banyak sehingga masing-masing dari mereka
mendapatkan dua belas unta dan masih ditambah dengan satu unta lagi
untuk setiap prajurit, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak
merubah ketetapan tersebut (HR Muslim 3291)
Dari Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif Al Anshari bahwa Abdullah bin Abbas pernah mengabarkan kepadanya bahwa Khalid bin Walid yang di juluki dengan pedang Allah telah mengabarkan kepadanya; bahwa dia bersama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menemui Maimunah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam -dia adalah bibinya Khalid dan juga bibinya Ibnu Abbas- lantas dia mendapati daging biawak yang telah di bakar, kiriman dari saudara perempuanya yaitu Hufaidah binti Al Harits dari Najd, lantas daging Biawak tersebut disuguhkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sangat jarang beliau disuguhi makanan hingga beliau diberitahu nama makanan yang disuguhkan, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hendak mengambil daging biawak tersebut, seorang wanita dari beberapa wanita yang ikut hadir berkata, Beritahukanlah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai daging yang kalian suguhkan! Kami lalu mengatakan, Itu adalah daging biawak, wahai Rasulullah! Seketika itu juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat tangannya, Khalid bin Walid pun berkata, Wahai Rasulullah, apakah daging biawak itu haram? Beliau menjawab: Tidak, namun di negeri kaumku tidak pernah aku jumpai daging tersebut, maka aku enggan (memakannya). Khalid berkata, Lantas aku mendekatkan daging tersebut dan memakannya, sementara Rasulullah melihatku dan tidak melarangnya. (HR Muslim 3603)
Hufaidah binti Al Harits dari Najd saudara perempuan dari Khalid bin
Walid yang di juluki dengan pedang Allah yang ayahnya memiliki tanah
kebun membentang dari Makkah hingga Taif.
Kaum yang akan menimbulkan fitnah adalah dicirikan seperti Dzul Khuwaishirah at Tamimi al Najdi.
Telah bercerita kepada kami Abu Al Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari Az Zuhriy berkata, telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah bin ‘Abdur Rahman bahwa Abu Sa’id Al Khudriy radliallahu ‘anhu berkata; Ketika kami sedang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang membagi-bagikan pembagian(harta), datang Dzul Khuwaishirah, seorang laki-laki dari Bani Tamim, lalu berkata; Wahai Rasulullah, tolong engkau berlaku adil. Maka beliau berkata: Celaka kamu!. Siapa yang bisa berbuat adil kalau aku saja tidak bisa berbuat adil. Sungguh kamu telah mengalami keburukan dan kerugian jika aku tidak berbuat adil. Kemudian ‘Umar berkata; Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk memenggal batang lehernya!. Beliau berkata: Biarkanlah dia. Karena dia nanti akan memiliki teman-teman yang salah seorang dari kalian memandang remeh shalatnya dibanding shalat mereka, puasanya dibanding puasa mereka. Mereka membaca Al Qur’an namun tidak sampai ke tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama seperti melesatnya anak panah dari target (hewan buruan). (Karena sangat cepatnya anak panah yang dilesakkan), maka ketika ditelitilah ujung panahnya maka tidak ditemukan suatu bekas apapun, lalu ditelitilah batang panahnya namun tidak ditemukan suatu apapun lalu, ditelitilah bulu anak panahnya namun tidak ditemukan suatu apapun, rupanya anak panah itu sedemikian dini menembus kotoran dan darah. Ciri-ciri mereka adalah laki-laki berkulit hitam yang salah satu dari dua lengan atasnya bagaikan payudara wanita atau bagaikan potongan daging yang bergerak-gerak. Mereka akan muncul pada zaman timbulnya firqah/golongan. Abu Sa’id berkata, Aku bersaksi bahwa aku mendengar hadits ini dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan aku bersaksi bahwa ‘Ali bin Abu Thalib telah memerangi mereka dan aku bersamanya saat itu lalu dia memerintahkan untuk mencari seseorang yang bersembunyi lalu orang itu didapatkan dan dihadirkan hingga aku dapat melihatnya persis seperti yang dijelaskan ciri-cirinya oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. (HR Bukhari 3341)
Telah menceritakan kepada kami Hannad bin As Sari telah menceritakan kepada kami Abul Ahwash dari Sa’id bin Masruq dari Abdurrahman bin Abu Nu’m dari Abu Sa’id Al Khudri ia berkata; Ketika Ali bin Abi Thalib berada di Yaman, dia pernah mengirimkan emas yang masih kotor kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu emas itu dibagi-bagikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada empat kelompok. Yaitu kepada Aqra` bin Habis Al Hanzhali, Uyainah bin Badar Al Fazari, Alqamah bin Ulatsah Al Amiri, termasuk Bani Kilab dan Zaid Al Khair Ath Thay dan salah satu Bani Nabhan. Abu Sa’id berkata; Orang-orang Quraisy marah dengan adanya pembagian itu. kata mereka, Kenapa pemimpin-pemimpin Najd yang diberi pembagian oleh Rasulullah, dan kita tidak dibaginya? maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjawab: Sesungguhnya aku lakukan yang demikian itu, untuk membujuk hati mereka. Sementara itu, datanglah laki-laki berjenggot tebal, pelipis menonjol, mata cekung, dahi menjorok dan kepalanya digundul. Ia berkata, Wahai Muhammad! Takutlah Anda kepada Allah! Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Siapa pulakah lagi yang akan mentaati Allah, jika aku sendiri telah mendurhakai-Nya? Allah memberikan ketenangan bagiku atas semua penduduk bumi, maka apakah kamu tidak mau memberikan ketenangan bagiku? Abu Sa’id berkata; Setelah orang itu berlaku, maka seorang sahabat (Khalid bin Al Walid) meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk membunuh orang itu. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda: Dari kelompok orang ini, akan muncul nanti orang-orang yang pandai membaca Al Qur`an tetapi tidak sampai melewati kerongkongan mereka, bahkan mereka membunuh orang-orang Islam, dan membiarkan para penyembah berhala; mereka keluar dari Islam seperti panah yang meluncur dari busurnya. Seandainya aku masih mendapati mereka, akan kumusnahkan mereka seperti musnahnya kaum ‘Ad. (HR Muslim 1762)
Kesimpulannya ciri kaum yang menimbulkan fitnah adalah seperti yang
dikatakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang artinya,
“akan muncul suatu kaum dari umatku yang pandai membaca Al Qur`an.
Dimana, bacaan kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bacaan
mereka. Demikian pula shalat kalian daripada shalat mereka. Juga puasa
mereka dibandingkan dengan puasa kalian. Mereka membaca Al Qur`an dan
mereka menyangka bahwa Al Qur`an itu adalah (hujjah) bagi mereka, namun
ternyata Al Qur`an itu adalah (bencana) atas mereka. Shalat mereka tidak
sampai melewati batas tenggorokan. Mereka keluar dari Islam sebagaimana
anak panah meluncur dari busurnya. (HR Muslim 1773)
Berhati-hatilah dalam memilih dan mengikuti hasil pemahaman (ijtihad)
seorang ulama. Apalagi jika hasil pemahaman (ijtihad) ulama tersebut
sering dikritik atau dibantah oleh banyak ulama lainnya.
Apalagi mengikuti pendapat seorang ulama yang sudah dinyatakan oleh
ulama yang sholeh keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
sebagai ulama yang dapat menyesatkan kaum muslim. Jangan menimbulkan penyesalan di akhirat kelak karena salah mengikuti ulama.
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari
orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika)
segala hubungan antara mereka terputus sama sekali.” (QS al Baqarah [2]: 166)
“Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: “Seandainya kami
dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka,
sebagaimana mereka berlepas diri dari kami.” Demikianlah Allah
memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi
mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka.” (QS Al Baqarah [2]: 167)
0 komentar