Bagi kebanyakan wanita, haid dan nifas identik dengan tidak menjalankan shalat atau puasa. Padahal banyak hal lain yang juga perlu diketahui kaitannya dengan ibadah saat seorang wanita mengalaminya.
Saudariku muslimah…
Permasalahan darah yang keluar dari kemaluan wanita merupakan permasalahan yang penting. Perlu diterangkan karena berkaitan dengan pelaksanaan ibadah kepada Allah Subhanahu wata’ala. Kita lihat kenyataan yang ada, banyak wanita yang buta akan permasalahan yang justru lekat dengan dirinya ini. Karena itu kami coba menerangkan kepada saudariku muslimah seputar masalah ini secara ringkas, semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat, Aamiin…! Dan semoga menjadi simpanan amal kebajikan bagi kami:
Permasalahan darah yang keluar dari kemaluan wanita merupakan permasalahan yang penting. Perlu diterangkan karena berkaitan dengan pelaksanaan ibadah kepada Allah Subhanahu wata’ala. Kita lihat kenyataan yang ada, banyak wanita yang buta akan permasalahan yang justru lekat dengan dirinya ini. Karena itu kami coba menerangkan kepada saudariku muslimah seputar masalah ini secara ringkas, semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat, Aamiin…! Dan semoga menjadi simpanan amal kebajikan bagi kami:
يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ () إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ“Pada hari yang tidak bermanfaat lagi harta dan anak, kecuali hamba yang menemui Allah dengan hati yang selamat…! (Asy-Syu’ara: 88-89)
Kami angkat permasalahan ini dengan menerjemahkan secara ringkas kitab
yang disusun oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-’Utsaimin rahimahumullah berjudul Risalah fid Dima` Ath-Thabi’iyyah
Lin Nisa disertai dengan tambahan dari sumber yang lain.
Saudariku Muslimah…
Wanita dengan kodratnya yang ditentukan dengan keadilan Ilahi mengalami masa-masa di mana ia mendapatkan darah keluar dari organnya yang khusus. Darah tersebut bisa jadi mencegahnya dari melaksanakan ibadah shalat dan puasa, dan bisa pula ia tetap dibolehkan shalat dan puasa karena darah tersebut tidak mengeluarkan dirinya dari hukum wanita yang suci. Adapun darah yang biasa keluar dari kemaluan wanita adalah darah haid, istihadhah dan darah nifas. Untuk mengawalinya, akan disinggung masalah haid.
Wanita dengan kodratnya yang ditentukan dengan keadilan Ilahi mengalami masa-masa di mana ia mendapatkan darah keluar dari organnya yang khusus. Darah tersebut bisa jadi mencegahnya dari melaksanakan ibadah shalat dan puasa, dan bisa pula ia tetap dibolehkan shalat dan puasa karena darah tersebut tidak mengeluarkan dirinya dari hukum wanita yang suci. Adapun darah yang biasa keluar dari kemaluan wanita adalah darah haid, istihadhah dan darah nifas. Untuk mengawalinya, akan disinggung masalah haid.
Haid
Secara bahasa, haid adalah mengalirnya sesuatu. Adapun pengertiannya
yang syar‘i, haid adalah darah yang keluar pada waktu-waktu tertentu
dari organ khusus wanita secara alami tanpa adanya sebab, bukan karena
sakit, luka atau keguguran atau selesai melahirkan. Haid ini keadaannya
berbeda-beda tergantung keadaan masing-masing wanita.
Ulama berselisih pendapat dalam masalah
kapan usia awal seorang wanita mengalami haid. Ad-Darimi berkata setelah
menyebutkan perselisihan yang ada: “Semua pendapat ini menurutku salah!
Karena yang menjadi rujukan dalam semua itu adalah adanya darah. Maka
pada keadaan dan umur berapa saja, bila didapatkan adanya darah yang
keluar dari kemaluan maka itu harus dianggap darah haid, wallahu a’lam.”
Pendapat Ad-Darimi yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah ini dibenarkan oleh Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-’Utsaimin karena hukum haid dikaitkan oleh Allah Subhanahuwata’ala dan Rasul-Nya dengan adanya darah tersebut. Allah Subhanahuwata’ala dan Rasul-Nya tidak memberi batasan umur tertentu, maka wajib mengembalikan hal ini kepada ada tidaknya darah, bukan batasan umur.
Pendapat Ad-Darimi yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah ini dibenarkan oleh Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-’Utsaimin karena hukum haid dikaitkan oleh Allah Subhanahuwata’ala dan Rasul-Nya dengan adanya darah tersebut. Allah Subhanahuwata’ala dan Rasul-Nya tidak memberi batasan umur tertentu, maka wajib mengembalikan hal ini kepada ada tidaknya darah, bukan batasan umur.
Dalam permasalahan lamanya masa haid
juga ada perselisihan pendapat. Ibnul Mundzir berkata: “Sekelompok
ulama berkata: “Tidak ada batasan minimal dan tidak pula batasan
maksimal hari haid.”
Pendapat ini yang dibenarkan Asy-Syaikh Ibnu
‘Utsaimin dengan dalil-dalil sebagai berikut:
Pertama, Allah Subhanahuwata’ala berfirman:
[“Mereka bertanya kepadamu tentang haid.
Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran. Oleh karena itu hendaklah
kalian menjauhi para istri ketika mereka sedang haid dan jangan kalian
mendekati mereka hingga mereka suci dari haid.”] (Al-Baqarah: 222)
Dalam ayat di atas,
Allah Subhanahuwata’ala menjadikan batasan larangan menyetubuhi istri
yang sedang haid adalah sampai selesainya haid (suci), bukan batasan
hari. Jadi hukum haid berlaku selama ada darah yang keluar berapapun
lama waktunya.
Kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha yang haid saat ia tengah melakukan ibadah haji:
[“Lakukanlah semua yang diperbuat oleh
orang yang berhaji. Namun jangan engkau thawaf di Ka’bah hingga engkau
suci.”] (Shahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya juz 4, hal. 30, Syarah
An-Nawawi)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjadikan batasan larangan thawaf sampai suci dari haid dan beliau
tidak menetapkan batasan bilangan hari tertentu, jadi patokannya ada
atau tidaknya darah.
Ketiga, batasan-batasan yang disebutkan
para fuqaha dalam masalah ini tidak ada dalilnya dalam Al-Qur`an dan
juga dalam Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal hal ini sangat perlu diterangkan bila memang ada pembatasan.
Keempat, banyaknya perbedaan dan
perselisihan pendapat dari mereka yang membuat batasan. Ini menunjukkan
bahwa dalam masalah ini tidak ada dalil yang dapat dituju, namun ini
sekedar ijtihad yang bisa benar dan bisa salah.
Dengan demikian, setiap kali wanita melihat
darah keluar dari kemaluan bukan disebabkan luka atau semisalnya maka
darah tersebut darah haid tanpa ada batasan waktu dan umur. Kecuali bila
darah itu keluar terus menerus tidak pernah berhenti atau berhenti
hanya sehari atau dua hari dalam sebulan maka darah itu adalah darah
istihadhah.
Ibnu Taimiyyah rahimahumullah menyatakan:
“Pada asalnya setiap darah yang keluar dari rahim adalah darah haid
sampai adanya bukti yang jelas bahwa darah itu adalah istihadhah.”
Haid pada Wanita Hamil
Apakah wanita hamil mengalami haid? Secara umum apabila wanita hamil ia
akan terhenti dari haidnya. Namun ada di antara wanita hamil yang tetap
keluar darah dari kemaluannya pada masa-masa haidnya, dan ini dihukumi
sebagai darah haid karena tidak ada keterangan dari Al-Qur`an dan
As-Sunnah yang menyebutkan mustahilnya haid bagi wanita hamil. Ini
adalah pendapat Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan yang dipilih oleh Ibnu
Taimiyyah.
Kejadian Haid
Ada beberapa macam kejadian haid.
Pertama, bertambah atau berkurang waktunya. Misalnya seorang wanita kebiasaan haidnya enam hari. Suatu ketika darah yang keluar berlanjut sampai hari ketujuh. Atau kebiasaan haidnya enam hari namun belum berjalan enam hari haidnya berhenti.
Kedua, terlambat atau maju dari jadwal
yang ada. Misal kebiasaan haid seorang wanita jatuh pada akhir bulan,
namun suatu ketika ia melihat darah haidnya keluar pada awal bulan, atau
sebaliknya.
Terhadap dua keadaan di atas terjadi
perselisihan pendapat di kalangan ulama. Namun yang benar, kapan saja
seorang wanita melihat keluarnya darah maka ia haid. Dan kapan ia tidak
melihat darah berarti ia suci, sama saja baik waktu haidnya bertambah
atau berkurang dari kebiasaannya, dan sama saja baik waktunya maju atau
mundur. Ini merupakan pendapatnya Al-Imam Asy-Syafi‘i dan yang dipilih
oleh Ibnu Taimiyyah.
Ketiga, warna kekuningan atau keruh yang
keluar dari kemaluan. Apabila cairan ini keluarnya pada masa haid atau
bersambung dengan masa haid sebelum suci maka dihukumi sebagai darah
haid. Namun bila keluarnya di luar masa haid, cairan tersebut bukan
darah haid. Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan: “Kami
dulunya tidak mempedulikan sedikitpun cairan yang keruh dan cairan
kuning yang keluar setelah suci dari haid.” (HR. Abu Dawud. Diriwayatkan
juga oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya namun tanpa lafadz
“setelah suci”. Akan tetapi beliau memberi judul untuk hadits ini dengan
Bab Cairan kuning dan keruh yang keluar pada selain hari-hari haid.)
Keempat, keringnya darah di mana si
wanita hanya melihat sesuatu yang basah (ruthubah) seperti lendir dan
semisalnya. Kalau ini terjadi pada masa haid atau bersambung dengan
waktu haid sebelum masa suci maka ia terhitung haid. Bila di luar masa
haid maka ia bukan darah haid, sebagaimana keadaan cairan kuning atau
keruh.
Hukum-Hukum Haid
Banyak sekali hukum-hukum yang berkaitan dengan haid namun karena
terbatasnya ruang maka kami mencukupkan dengan apa yang kami sebutkan
berikut ini:
a. Shalat dan Puasa
Wanita haid diharamkan untuk mengerjakan shalat dan puasa, baik yang wajib maupun yang sunnah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan hal ini ketika ada wanita yang mempertanyakan keberadaan kaum wanita yang dikatakan kurang agama dan akalnya, beliau bersabda:
Wanita haid diharamkan untuk mengerjakan shalat dan puasa, baik yang wajib maupun yang sunnah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan hal ini ketika ada wanita yang mempertanyakan keberadaan kaum wanita yang dikatakan kurang agama dan akalnya, beliau bersabda:
[“Bukankah jika wanita itu haid ia tidak
melaksanakan shalat dan tidak puasa? Maka itulah yang dikatakan setengah
agamanya.”] (Shahih, HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 304, 1951 dan
Muslim no. 79)
Adapun puasa wajib (Ramadhan) yang dia
tinggalkan harus dia qadha (ganti) di hari yang lain saat suci,
sedangkan shalat tidak ada kewajiban untuk mengqadhanya, berdasarkan
hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ketika ada yang bertanya
kepadanya: [“Apakah salah seorang dari kami harus mengqadha shalatnya
bila telah suci dari haid?” Aisyah pun bertanya dengan nada mengingkari:
“Apakah engkau wanita Haruriyah? Kami dulunya haid di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidak memerintahkan kami untuk mengganti shalat.”] (HR. Al-Bukhari no. 321)
Dalam riwayat Muslim, ‘Aisyah
mengatakan: [“Kami dulunya ditimpa haid maka kami hanya diperintah
mengqadha puasa dan tidak diperintah untuk mengqadha shalat.”] (Shahih,
HR. Muslim no. 69)
b. Thawaf di Baitullah
Wanita haid diharamkan untuk thawaf di Ka‘bah baik thawaf yang wajib maupun yang sunnah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha yang mengalami haid saat tengah melakukan amalan haji:
Wanita haid diharamkan untuk thawaf di Ka‘bah baik thawaf yang wajib maupun yang sunnah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha yang mengalami haid saat tengah melakukan amalan haji:
[“Lakukanlah semua yang diperbuat oleh
orang yang berhaji. Namun jangan engkau thawaf di Ka’bah hingga engkau
suci.”] (Shahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya juz 4, hal. 30, Syarah
An-Nawawi)
Adapun amalan haji yang lain seperti sa‘i, wuquf di Arafah, dan
sebagainya tidak ada keharaman untuk dikerjakan oleh wanita yang haid.
c. Jima’ (bersetubuh)
Diharamkan bagi suami untuk menggauli
istrinya yang sedang haid pada farji (kemaluannya) dan diharamkan pula
bagi istri untuk memberi kesempatan dan memperkenankan suaminya untuk
melakukan hal tersebut. Karena Allah Subhanahu wata’ala
berfirman, yang artinya:
“…maka jauhilah (tidak boleh jima’) oleh kalian para istri ketika haid dan janganlah kalian mendekati mereka (untuk melakukan jima’) hingga mereka suci.” (Al-Baqarah: 222)
Selain jima’, dibolehkan bagi suami untuk melakukan apa saja terhadap istrinya yang sedang haid karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
[“Berbuatlah apa saja kecuali nikah
(yakni jima’).”] (HR. Abu Dawud no. 2165, dishahihkan oleh Asy-Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani t dalam kitab beliau Shahih Sunan Abi
Dawud no. hadits 1897)
d. Talak
Ketika istri sedang haid, haram bagi suaminya untuk mentalaknya berdasarkan firman Allah Subhanahu wata’ala:
Ketika istri sedang haid, haram bagi suaminya untuk mentalaknya berdasarkan firman Allah Subhanahu wata’ala:
“Wahai Nabi, apabila kalian hendak menceraikan para istri kalian maka ceraikanlah mereka pada saat mereka dapat (menghadapi) iddahnya…” (Ath-Thalaq: 1)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma
menafsirkan: [“Tidak boleh seseorang menceraikan istrinya dalam keadaan
haid dan tidak boleh pula ketika si istri dalam keadaan suci namun telah
disetubuhi dalam masa suci tersebut. Akan tetapi bila ia tetap ingin
menceraikan istrinya maka hendaklah ia membiarkannya (menahannya) sampai
datang masa haid berikutnya lalu disusul masa suci, setelah itu ia bisa
menceraikannya.”] (Tafsirul Qur`anil ‘Azhim, 4/485)
Jadi bila talak hendak dijatuhkan maka
harus pada masa suci si wanita (tidak dalam keadaan haid) dan belum
disetubuhi ketika suci tersebut. Demikian hal ini diriwayatkan dari Ibnu
‘Umar, ‘Atha`, Mujahid, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Qatadah, Maimun bin
Mihran dan Muqatil bin Hayyan. (Lihat Tafsirul Qur`anil ‘Azhim 4/485)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah
menyebutkan: “Ada tiga keadaan yang dikecualikan dalam pengharaman talak
ketika istri sedang haid (yakni boleh mentalaknya walaupun dalam
keadaan haid):
Pertama,
apabila talak dijatuhkan sebelum
ia berduaan dengan si istri atau sebelum ia sempat bersetubuh dengan si
istri setelah atau selama nikahnya. Dalam keadaan demikian tidak ada
‘iddah bagi si wanita dan tidak haram menceraikannya dalam masa haidnya.
Kedua,
Kedua,
apabila haid terjadi di waktu istri sedang hamil, karena lamanya
‘iddah wanita hamil yang dicerai suaminya adalah sampai ia melahirkan
anak yang dikandungnya bukan dihitung dengan masa haidnya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
[“Wanita-wanita yang hamil masa iddahnya adalah sampai mereka melahirkan anak yang dikandungnya.”] (Ath-Thalaq: 4)
Ketiga,
Ketiga,
apabila talak dijatuhkan dengan permintaan istri dengan cara ia
menebus dirinya dengan mengembalikan sesuatu yang pernah diberikan
suaminya atau diistilahkan khulu’.
Hal ini dipahami dari hadits Ibnu ‘Abbas
c dalam Shahih Al-Bukhari (no. 5273, 5374, 5275, 5276). Disebutkan
bahwasanya istri Tsabit bin Qais bin Syamas datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menyatakan keinginannya untuk berpisah dengan suaminya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyuruhnya untuk mengembalikan kebun yang pernah diberikan kepadanya
dan memerintahkan Tsabit untuk menerima pengembalian tersebut dan
menceraikan istrinya. Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak menanyakan kepada wanita tersebut apakah ia dalam keadaan haid atau tidak.
e. Masa ‘iddah wanita yang bercerai dari suaminya
Perhitungan masa ‘iddah wanita yang bercerai dari suaminya dalam keadaan ia tidak hamil adalah dengan tiga kali haid, berdasarkan firman Allah Subhanahu wata’ala:
Perhitungan masa ‘iddah wanita yang bercerai dari suaminya dalam keadaan ia tidak hamil adalah dengan tiga kali haid, berdasarkan firman Allah Subhanahu wata’ala:
“Wanita-wanita yang ditalak suaminya hendaklah menahan diri mereka (menunggu) selama tiga quru…” (Al-Baqarah: 228)
f. Mandi Haid
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy radhiyallahu ‘anha:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy radhiyallahu ‘anha:
“Tinggalkanlah shalat sekadar hari-hari yang engkau biasa haid padanya, dan jika telah selesai haidmu, mandi dan shalatlah.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 325)
Yang wajib ketika mandi ini adalah
minimal meratakan air ke seluruh tubuh hingga pokok rambut. Dan yang
utama adalah melakukan mandi sebagaimana yang disebutkan dalam hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau ditanya oleh
seorang wanita Anshar tentang tata cara mandi haid. Beliau bersabda,
sebagaimana dikabarkan ‘Aisyah: [“Ambillah secarik kain yang diberi misik
(wewangian) lalu bersucilah dengannya.” Wanita itu bertanya: “Bagaimana
cara aku bersuci dengannya?” Nabi menjawab: “Bersucilah dengannya.”
Wanita itu mengulangi lagi pertanyaannya. Nabi menjawab: “Subhanallah,
bersucilah.” ‘Aisyah berkata: Maka aku menarik wanita tersebut ke
dekatku lalu aku katakan kepadanya: “Ikutilah bekas darah dengan kain
tersebut.”] (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 314, 315 dan Muslim no. 60)
Atau lebih lengkapnya dalam riwayat
Muslim (no. 61) bahwasanya Asma‘ bintu Syakl bertanya tentang tata cara
mandi haid maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
[“Salah seorang dari kalian mengambil air dan daun sidr (bidara) lalu ia
bersuci dan membaguskan bersucinya. Kemudian ia tuangkan air ke
kepalanya dan ia gosok dengan kuat hingga air tersebut sampai ke
akar-akar rambutnya, kemudian ia tuangkan air ke atasnya. Kemudian ia
ambil secarik kain yang diberi misik lalu ia bersuci dengannya…”]
(Shahih, HR. Muslim no. 61)
Apabila wanita haid telah suci dari haidnya di tengah waktu shalat
yang ada, wajib baginya untuk segera mandi agar ia dapat menunaikan
shalat tersebut pada waktunya. Apabila ia sedang safar dan tidak
memiliki air, atau ada air namun mengkhawatirkan bahaya yang mungkin
timbul bila menggunakannya, atau ia sakit yang akan berbahaya bila ia
memakai air, maka cukup baginya bertayammum sebagai pengganti mandi
hingga hilang darinya udzur. Wallahu a‘lam bish-shawab.
Demikian pembahasan haid secara ringkas yang dapat kami haturkan untukmu Muslimah…!
0 komentar