Berbuat Adil Terhadap Anak

Memiliki anak lebih dari satu merupakan salah satu nikmat yang Allah berikan kepada kita. Rumah serasa makin lengkap dengan derai tawa dan canda mereka. Namun banyak hal yang terluput dari kita dalam menyikapi karunia ini. Sudahkah kita memberikan hak-hak mereka? Dan sudahkah kita bersikap adil kepada semua anak kita?

Tak ada yang meragukan bila dikatakan, anak adalah tumpuan cinta dan kasih sayang ayah dan ibunya. Allah menjadikan anak-anak sebagai salah satu bagian dunia yang membuat hati kedua orang tua tertambat padanya:

“Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan pada apa yang diinginkan, berupa wanita-wanita, anak-anak ….” (Ali ‘Imran: 14)

Tak diragukan pula kecintaan itu dari seorang yang paling mulia, Rasulullah. Setiap yang melihat akan dapat membaca pancaran kasih sayang beliau pada putrinya, Fathimah. Dikisahkan oleh istri beliau, ‘Aisyah :

“Aku tak pernah melihat seseorang yang lebih mirip dengan Rasulullah dalam bicara maupun duduk daripada Fathimah”. ‘Aisyah pun berkata, “Biasanya bila Nabi melihat Fathimah datang, beliau mengucapkan selamat datang padanya, lalu berdiri menyambutnya dan menciumnya, kemudian beliau menggamit tangannya dan membimbingnya hingga beliau dudukkan Fathimah di tempat duduk beliau. Begitu pun bila Nabi datang menemuinya, Fathimah mengucapkan selamat datang pada beliau, kemudian berdiri menyambutnya, menggamit tangan beliau, lalu mencium beliau.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 725)

Begitu pula rasa cinta dan kasih sayang beliau terhadap Ibrahim, putra beliau dari Mariyah Al-Qibthiyah. Tatkala Ibrahim meninggal karena sakit, beliau merasa sedih hingga mengalir air mata beliau, sembari mengatakan:

“Air mata bercucuran, hati pun terasa sedih, namun kami tidak mengatakan selain yang diridhai Rabb kami. Wahai Ibrahim, kami dengan perpisahan denganmu merasa sedih.” (HR. Al-Bukhari no. 1303 dan Muslim no. 2315)

Inilah air mata yang berlinang yang muncul dari rasa kasih sayang yang Allah letakkan dalam hati hamba-Nya yang mulia. Rasa cinta terhadap anak memang begitu melekat dalam hati. Ini diakui pula oleh seorang yang paling mulia setelah Nabi-Nya, Abu Bakr Ash-Shiddiq. Dikisahkan oleh putri beliau ‘Aisyah :

Suatu hari, Abu Bakr mengatakan, “Tidak ada seorang pun di atas bumi ini yang lebih kucintai daripada ‘Umar.” Ketika kembali, Abu Bakr bertanya, “Bagaimana sumpahku tadi, wahai putriku?” Aku pun mengatakan kembali apa yang dikatakannya. Lalu Abu Bakr berkata, “Dia begitu bernilai bagiku. Namun anak lebih melekat di dalam kalbu.” (Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 61: hasanul isnad)

Terkadang rasa cinta terhadap anak-anak berlainan kadarnya. Ada kalanya seorang anak lebih dicintai daripada anak yang lainnya. Bahkan Nabiyullah Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim memiliki perasaan cinta yang lebih kepada putranya, Yusuf dan saudaranya, Bunyamin. Allah mengisahkan hal ini dalam Kitab-Nya yang mulia:

“Sungguh telah ada tanda-tanda kekuasaan Allah pada kisah Yusuf dan saudara-saudaranya bagi orang-orang yang bertanya. Ketika mereka (saudara-saudara Yusuf) berkata: Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya lebih dicintai oleh ayah kita daripada kita sendiri, sementara kita adalah golongan yang kuat. Sesungguhnya ayah kita dalam kekeliruan yang nyata.” (Yusuf: 7-8)

Hal ini bukanlah hal yang terlarang. Seorang anak yang shalih pantas untuk dicintai dan dimuliakan. Seorang anak yang taat, senantiasa menegakkan shalat, menunaikan puasa, berbakti kepada ayah ibunya tentu lebih baik dan lebih utama daripada seorang anak yang dungu, sembrono, suka bermaksiat serta durhaka.

Akan tetapi, hendaknya orang tua tidak berlebihan dalam menampakkan rasa cinta dan segala perwujudannya, kecuali untuk tujuan tertentu, seperti misalnya mengatakan pada anak-anaknya, “Fulan lebih baik daripada kalian karena dia selalu menegakkan shalat dan menunaikan puasa.” Dengan ucapan dan pujian terhadap saudara mereka ini, orang tua bermaksud menganjurkan anak-anak yang lain untuk shalat dan puasa. Seperti juga orang tua yang menyemangati anak-anaknya dengan ucapan, “Saudaramu itu lebih baik dalam hal ini,” atau “Saudaramu itu seorang yang mulia, karena dia tidak pernah menukil-nukil ucapan orang, tidak pernah membuka kejelekan kaum muslimin, dan tidak banyak bicara.” Dia maksudkan pujian ini untuk menekankan anak-anaknya untuk melakukan kebaikan-kebaikan yang dilakukan oleh saudara mereka.
Di samping itu, tidak sepantasnya pula rasa cinta yang berlebih ini menggiring pada kedzaliman, perbuatan dosa, mengurangi hak, ataupun merendahkan anak-anak yang lain. (Fiqh Tarbiyatil Abna`, hal. 108-109) Biarpun besarnya rasa cinta berbeda, semestinya orang tua menghindari hal-hal yang dapat memicu permusuhan di antara anak-anak mereka dan bahkan menimbulkan kedurhakaan mereka terhadap orang tua.

Meski seorang anak yang shalih dan berbakti memiliki tempat tersendiri dalam hati orang tua, tetaplah hendaknya orang tua tidak mengistimewakannya dalam perlakuan ataupun pemberian. Hal ini akan dapat menimbulkan ‘ujub dalam hati si anak yang taat tadi terhadap amalannya, serta meletupkan kedengkian dalam hati saudara-saudaranya yang lain. Akibat yang lebih jauh, justru akan membawa anak-anak yang lain menjadi semakin durhaka kepada orang tuanya. Wal ‘iyadzu billah!

Oleh karena itulah Rasulullah memberikan tuntunan dalam permasalahan ini. Beliau memerintahkan orang tua untuk berbuat adil terhadap anak-anaknya. Di antaranya berkenaan dengan masalah pemberian.
Ada sebuah kisah yang dituturkan oleh An-Nu’man bin Basyir :

Ayahku pernah memberikan sebagian hartanya padaku. Berkatalah ibuku, ‘Amrah bintu Rawahah, “Aku tidak ridha hingga engkau meminta persaksian Rasulullah atas pemberianmu itu.” Maka pergilah ayahku menghadap Nabi untuk meminta persaksian beliau atas pemberiannya padaku. Rasulullah pun bertanya, “Apakah engkau lakukan hal ini pada semua anakmu?” Dia menjawab, “Tidak!” Beliau berkata, “Bertakwalah kalian kepada Allah dan berbuat adillah terhadap anak-anak kalian!” Ayahku pun kembali dan mengambil kembali pemberiannya itu. (HR. Al-Bukhari no. 2587 dan Muslim no.1623)

Kisah ini memberikan faedah agar orang tua menyamakan pemberian di antara anak-anak mereka. Setiap anak menerima pemberian yang sama dengan yang lainnya, tidak melebihkan pemberian yang satu atas yang lain, dan menyamakan pemberian antara anak laki-laki dan anak perempuan. (Syarh Shahih Muslim 11/66)

Sebaliknya, kecintaan itu pun semestinya tak membutakan mata kedua orang tua dari kesalahan anaknya. Bila anak yang begitu dicintai melakukan sebuah kesalahan, hendaknya orang tua tidak menutup mata dan telinga, hingga terluputlah pendidikan kebaikan kepada anak-anak mereka.
Inilah Rasulullah dan putrinya, Fathimah, begitu besar kecintaan beliau kepada putrinya, hingga beliau berkata:

“Sesungguhnya Fathimah adalah darah dagingku, menyakitkanku apa yang menyakitkan dirinya.” (HR. Muslim no. 2449)

Betapa pun besarnya cinta dan kasih sayang Rasulullah n pada putrinya, beliau tetap menyatakan keadilan, sebagaimana yang disampaikan oleh ‘Aisyah :

“Demi Allah, seandainya Fathimah putri Muhammad mencuri, sungguh aku akan memotong tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6788 dan Muslim no. 1688)

Inilah gambaran-gambaran dari Rasulullah yang melukiskan keharusan mengiringi kasih sayang kepada anak-anak dengan perbuatan adil di antara mereka, meski rasa cinta dan kasih sayang itu begitu mendalam di sanubari. Sungguh, selayaknya setiap orang tua mengingat kembali peringatan Allah :

“Sesungguhnya harta dan anak-anakmu adalah cobaan bagimu, dan di sisi Allah ada pahala yang besar.” (At-Taghabun: 15)

Demikianlah, harta dan anak-anak adalah cobaan Allah terhadap makhluk-makhluk-Nya, agar Allah mengetahui siapa di antara mereka yang taat kepada-Nya dan siapa yang durhaka, sementara di sisi-Nya tersimpan pahala yang besar pada hari kiamat. (Tafsir Ibnu Katsir 8/111)

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

Ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran