Hay friends, Dengerin lagu yuks
Hehehehe ..
Irra Agustiyanti

Female, 42 years

USU Ekonomi Manajemen

irra.feisal@windowslive.com

Inti Duta Surya

Tiban Riau Bertuah

Batam, Indonesia

'Hi...Wish u enjoy at My Blog.....'
Journey of Destiny

Senin, 27 Mei 2013

Sunan Kalijaga, Sebagai Arsitek Budaya Islam-Jawa

Dalam sejarah Islam di Jawa, namanya melegenda. Ia dikenal sebagai seorang wali yang serba bisa. Ia juga sangat cerdik dan ramah budaya. Di tangannya, Islam begitu lentur sehingga mudah diterima. Ia juga berhasil meluruhkan tapal batas sosial-ekonomi-budaya dalam masyarakat. Ia akrab dengan rakyat jelata meski keturunan ningrat. Ingar-bingar dunia tak membuatnya terpikat. Ia juga dikenal jago stratetegi. Di Demak, ia menjadi panglima perang yang disegani. Banyak perang ia menangi. Sehingga banyak yang hormat dan simpati padanya.
Latar Belakang
Ia bernama Raden Syahid, kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Kalijaga. Ayahnya seorang pejabat Tuban bernama Tumenggung Wilatikta. Dibesarkan dalam keluarga kaya tak membuatnya besar kepala. Malah, ia begitu prihatin dengan kondisi di sekitarnya. Banyak kaum miskin teraniaya. Mereka diminta membayar pajak yang tak terkira. Kata ayahandanya, itu dilakukan demi kepentingan kerajaan yang terancam kudeta. Kenyataannya, mereka ditindas oleh para penguasa yang dusta. Hal itu begitu terngiang pada dirinya. Sehingga, ia pun sering keluar istana untuk bersedekah kepada mereka.
Lama-kelamaan, tingkah polahnya ketahuan. Ia pun dihukum 200 (dua ratus) kali cambuk tangan. Tak hanya itu, ia juga disekap oleh ayahnya beberapa hari. Situasi tak kunjung membaik. Rakyat pun kian tercekik. Akhirnya, ia pergi tanpa pamit. Namun, tekadnya untuk membantu rakyat jelata tak berhenti. Dengan bertopeng, ia mencuri. Tapi, ia tertangkap lagi. Itu membuatnya terusir dari Kadipaten. Lalu, ia tinggal di hutan Jatiwangi. Di situ, ia menjadi perampok tunggal yang disegani. Muncullah julukan “Brandal Lokajaya”.
Beguru Pada Sunan-Sunan

Kali-Jaga
Suatu hari, ia melihat rombongan orang tak dikenal. Ketika sampai di tengah hutan, ia pun memberhentikan mereka untuk dibegal. Tak dinyana, pimpinan rombongan itu tetap tenang. Malah, Lokajaya terkesima ketika melihat buah kolang kaling yang ditunjuk oleh pimpinan rombongan itu berubah menjadi emas permata. Ia pun segera mengambilnya. Namun, ketika sampai di tangannya, emas itu kembali seperti biasa. Hal itu membuatnya tertegun. Akhirnya, ia memutuskan untuk berguru pada pimpinan rombongan itu yang tak lain adalah Sunan Bonang.
Bertahun-tahun, di bawah asuhan Sunan Bonang, ia memperdalam agama. Tak puas, ia pun berguru kepada Raden Rahmat (Sunan Ampel) di daerah Ampel Denta. Ia banyak belajar ilmu hakikat, syariah, kanuragan, filsafat, kesenian dan sebagainya. Ia juga sempat berguru kepada Syekh Syarif Hidayatullah di Cirebon. Konon, menurut Babad Tanah Jawi, atas petunjuk Sunan Cirebon, ia disuruh “bertapa” di pinggiran sungai desa bernama Kalijaga (kali=sungai, jaga=menjaga). Di sinilah sebutan “Kalijaga” berawal.
Pendapat lain mengatakan bahwa kalijaga berasal dari kata kalih (dua) dan jaga (menjaga). Maksudnya menjaga dua syahadat, syahadat Allah dan Rasul. Ada juga yang mengatakan bahwa kalijaga berasal dari bahasa arab ‘qadli dzaqa’. Istilah itu merujuk statusnya sebagai seorang “penghulu suci” kesultanan. Namun, karena silap lidah, kata Arab ini berubah menjadi kalijaga, yang tetap digunakan sampai sekarang.
Berdakwah Menyebarkan Ajaran Islam
Selesai berguru kepada Sunan Gunung Jati, ia kembali ke Demak untuk membantu perjuangan para wali. Ia pun diutus untuk mengenalkan Islam kepada masyarakat yang masih rawan tata krama, tata susila serta masih memeluk agama Hindu-Budha. Tak pelak, Sunan Kalijaga pun bekerja keras. Siang malam, ia masuk keluar hutan untuk mendakwahkan Islam. Ia terus berkelana, dari satu daerah ke dearah lain. Sehingga, ia terkenal dengan sebutan muballigh keliling (reizendle mubaligh).
Dalam berdakwah, Sunan Kalijaga dikenal sangat toleran terhadap budaya lokal. Tidak serta merta ia memberangus berbagai praktek budaya yang sudah banal. Ia tahu betul bagaimana berdakwah kepada masyarakat yang hidup dengan kepercayaan kental. Tidak bisa menggunakan cara yang keras dan kasar. Ia terus mencari cara agar mampu membuat masyarakat simpati. Dipakailah cara akulkturasi, menyisipkan ajaran Islam ke dalam budaya mereka. Terbukti, tak lama kemudian, masyarakat terpikat. Islam pun berkembang pesat.
Dalam berdakwah, Sunan Kalijaga sangat halus dan kompromis. Sebab itu, ia tak banyak menemukan kesulitan memasuki daerah-daerah “abangan”. Ia mudah berbaur dengan masyarakat kelas bawah untuk mengenalkan Islam. Dengan cara itu, sedikit demi sedikit, nilai-nilai luhur Islam ditransformasikan. Masyarakat juga nyaman untuk menyimak.Tak aneh kalau kemudian kaum bangsawan dan cendekiawan amat simpati kepadanya. Cara Sunan Kalijaga menyiarkan agama Islam sesuai dengan aliran zaman. Ia berpandangan jauh serta berperasaan dalam.
Kyai Sekati
Sunan Kalijaga banyak memanfaatkan medium kesenian dalam berdakwah. Medium ini dipakai karena masyarakat saat itu gemar akan pagelaran kesenian. Agar mudah dikenal, ia memesan kepada ahli gamelan untuk membuatkan seperangkat gamelan. Gamelan itu kemudian diberi nama “Kyai Sekati”. Dipakai untuk menarik antusiasme warga dalam pertunjukan seni. Gamelan itu ditaruh di depan halaman Masjid Demak.

Gamelan Kyai Sekati
Menurut kebiasaan, setiap tahun, sesudah konferensi besar para wali, di serambi Masjid Demak diadakan perayaan Maulid Nabi. Perayaan itu diramaikan dengan rebana menurut irama seni Arab. Kyai Sekati dipersiapkan dengan hiasan beraneka bunga-bungaan yang indah. Begitu juga gapura Masjid Demak. Atas kreasi itu, banyak rakyat yang tertarik untuk datang. Sebagai tanda dimulainya peringatan Maulid Nabi, Kyai Sekati pun dipukul betalu-talu tanpa henti.
Di muka gapura masjid, para wali bergantian tampil memberikan wejangan-wejangan dengan gaya bahasa yang membumi. Para pengunjung banyak yang tertarik. Mereka pun mulai masuk masjid, mendekati gamelan yang sedang ditabuh. Namun, sebelum masuk, mereka diharuskan mengambil air wudlu di kolam masjid melalui pintu gapura. Juga harus mengucap kalimat syahadat. Hal itu bermakna, barang siapa telah mengucapkan dua kalimat syahadat kemudian masuk masjid melalui gapura (dari bahasa Arab, ghapura=ampunan) maka segala dosanya telah diampuni oleh Tuhan.
Dandanggula dan Lir Ilir
Tak hanya itu, Sunan Kalijaga juga banyak menggubah cerita wayang. Ia mencipta cerita Layang Jimat Kalimasada dan lakon wayang Petruk Jadi Raja. Cerita itu digubah untuk menyebarkan nilai Islam melalui wayang yang menjadi tontonan rakyat saat itu. Ia juga berhasil menyusun tembangan atau lagu Jawa yang biasa dikumandangkan pada saat pementasan wayang atau di waktu senggang. Di antara tembang karangannya adalah Dandanggula, Dandanggula Semarangan dan Lir Ilir yang sampai kini masih akrab di kalangan sebagian besar orang Jawa.
Sunan Kalijaga juga mahir dalam seni lukis, seni pakaian dan seni ukir. Dalam seni lukis, ia memprakarsai corak batik bermotif burung. Sebagai gambar ilustrasi, burung dikenal sangat indah. Namun, tak hanya indah, motif ini begitu bermakna. Dalam bahasa Kawi, burung disebut kukila. Kata itu dalam bahasa Arab bisa berasal dari rangkaian kata: quu dan qiila atau quuqiila, yang artinya “peliharalah ucapan (mulut)-mu. Hal ini dimaksudkan agar manusia selalu baik tutur katanya.
Dalam seni pakaian, Sunan Kalijaga membuat model baju kaum pria yang diberi nama baju “takwo”. Nama itu berasal dari kata Arab taqwa yang artinya ta’at pada segala perintah Allah serta menjauhi larangan-larangan-Nya. Baju itu kemudian disempurnakan oleh Sultan Agung dengan destar nyamping dan keris serta rangkaian lainnya. Sumbangsih Sunan Kalijaga dalam seni ukir juga sangat besar. Dialah yang menciptakan motif daun-daunan.
Arsitek yang Handal
Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai arsitek yang handal. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin, serta masjid agung, diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga. Ia jugalah yang mendesain Masjid Demak dengan empat soko sebagai penunjangnya. Salah satu soko itu adalah ciptaan Sunan Kalijaga. Hebatnya, soko tersebut terbuat dari tatal (pecahan kayu kecil-kecil), yang disusun rapi dan diikat dengan tali yang sangat kuat. Sampai sekarang, soko tatal itu masih kuat menyangga badan masjid.

Empat Soko Masjid Demak
Sebagaimana Sunan Bonang, metode dakwah Sunan Kalijaga beraliran “sufistik berbasis salaf”, bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Atau juga Islam sinkretik. Sebab, dalam setiap langkah yang ditempuh, selalu didasari dengan pertimbangan keagamaan yang matang. Bukan hanya mengakurkan atau mencampuradukkan Islam dengan kebudayaan setempat tanpa pemikiran.
Terbukti, pilihan dakwah Sunan Kalijaga memang sangat tepat. Dengan itu, ia menjadi sangat dekat dengan rakyat. Dakwah Islam yang dilakukan pun tepat sasaran. Sehingga, sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam. Di antaranya, Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede – Jogja).
Pernikahan
Sunan Kalijaga lahir sekitar tahun 1450. Ia menikah dengan Dewi Sarah binti Maulana Ishak. Pernikahan itu melahirkan tiga anak: Raden Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rukayah dan Dewi Sofiah. Karena usianya yang panjang (lebih dari 100 tahun), Sunan Kalijaga mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram di bawah pimpinan Panembahan Senopati. Selama waktu itu pula, Sunan Kalijaga mencurahkan diri untuk mengembangkan Islam di seluruh tanah Jawa.
Jasa Sunan Kalijaga dalam mendakwahkan Islam sangatlah besar. Di samping rajin turun ke bawah untuk menyebarkan Islam, ia juga berhasil menumbangkan kekuasaan Raja Girindra Wardana yang menghambat dakwah Islam. Atas prestasinya itu, ia dianugerahi oleh Raden Fatah, Sultan Demak saat itu, sebuah tanah perdikan (daerah otonom). Daerah itu bernama Kadilangu. Di tempat itu, Sunan Kalijaga kembali mengajarkan Islam kepada masyarakat. Ia menjadi konsultan keagamaan yang merakyat. Di tempat itu jualah, ia dimakamkan.
Makam Sunan Kalijaga terletak kira-kira 1 km dari alun-alun Masjid Demak. Perjalanan ke sana bisa ditempuh dengan sepeda motor ke arah tenggara (timur-selatan). Atau naik ojeg dengan membayar sebesar Rp. 10.000. Makam itu banyak dikunjungi peziarah. Tiap malam Jum’at, pengunjung sangat padat.

Makam Sunan Kalijaga yang ramai oleh peziarah
Untuk mencapainya, peziarah harus rela berdesakan. Antusiasme warga untuk menyambangi makam Sunan Kalijaga sangatlah wajar. Di tangannya, sinar Islam kuat terpancar. Ia mampu mengemas Islam kultural yang akrab bagi masyarakat sekitar. Pemahaman keagamaannya matang. Kepiawaiannya memainkan artefak kultural tak diragukan. Ia adalah wali serba bisa. Ia menguasai banyak gaya. Untuk itu, ia layak bergelar arsitek budaya Islam-Jawa. (M. Khoirul Muqtafa)
Print Friendly and PDF

Ditulis Oleh : Irrafeisal ~ Journey Of Destiny|We learn together to increase knowledge| we share knowledge and strengthen the friendship

Artikel Sunan Kalijaga, Sebagai Arsitek Budaya Islam-Jawa ini diposting oleh Irrafeisal pada hari Senin, 27 Mei 2013. Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca artikel ini. Kritik dan saran dapat Anda sampaikan melalui kotak komentar. Semoga Artikel Sunan Kalijaga, Sebagai Arsitek Budaya Islam-Jawa ini bermanfaat. Dan Apabila friend Irrafeisal ingin artikel ini ada di postingan Anda, silahkan di copy paste aja, agar bisa menyebarkan lebih luas lagi ilmu yang bermanfaat...

Get free daily email updates!

Follow us!



Share to Facebook Share this post on twitter Bookmark Delicious Digg This Stumbleupon Reddit Yahoo Bookmark Furl-Diigo Google Bookmark Technorati Newsvine Tips Triks Blogger, Tutorial SEO, Info

0   komentar

Cancel Reply








Google PageRank Checker
DMCA.com

Daisy

Daisypath - Personal pictureDaisypath Anniversary tickers

backlink

Website Backlink Service


Auto Backlink Gratis : Top Link Indo

Auto Backlink Gratis : Top Link Indo



Beats Dofollow

Banner Qinthani : Top Link Indo
>