Sifat malu memang identik dengan wanita karena merekalah yang dominan memilikinya. Namun sebenarnya sifat ini bukan hanya milik kaum hawa. Laki-laki pun disukai bila memiliki sifat malu. Bahkan sifat mulia ini termasuk salah satu cabang keimanan dan menjadi salah satu faktor kebahagiaan seorang insan. Karena dengan sifat ini, hanya kebaikanlah yang bakal diraupnya, sebagaimana beritanya tercatat dalam lembaran Sunnah Rasulullah SAW :
“Malu itu tidaklah datang kecuali dengan kebaikan.”“Malu itu baik seluruhnya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Adanya sifat malu pada diri seseorang akan mendorongnya kepada kebaikan dan mencegahnya dari kejelekan. Bila malu ini hilang dari diri seseorang, ia akan jatuh dalam perbuatan maksiat dan dosa, ketika sendirian maupun di hadapan kerabat dan tetangga. Karena itu Rasulullah SAW bersabda :
“Termasuk yang diperoleh manusia dari ucapan kenabian yang pertama adalah: jika engkau tidak malu, berbuatlah sekehendakmu.” (Shahih, HR. Al-Bukhari)
Adalah Rasulullah SAW sangat pemalu sehingga shahabat yang mulia Abu Sa’id Al-Khudri z berkata:
“Adalah Rasulullah sangat pemalu dibandingkan dengan gadis perawan yang berada dalam pingitannya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Semoga Allah merahmati Abu Sa’id Al-Khudri z, di mana beliau membuat permisalan untuk kita dengan gadis perawan. Lalu apa gerangan yang akan beliau katakan bila melihat pada hari ini gadis perawan itu telah menanggalkan rasa malunya dan meninggalkan tempat pingitannya? Ia pergi keluar rumahnya dengan hanya ditemani sopir pribadi. Ia pergi ke pasar, berbincang-bincang akrab dengan para pedagang dan penjahit, dan sebagainya. Demikian kenyataan pahit yang ada.
Sebagian kaum muslimin juga membiarkan putri-putri mereka bercampur baur dengan laki-laki di sekolah-sekolah dan di tempat kerja. Karena telah tercabut dari mereka rasa malu dan sedikit ghirah (kecemburuan) yang tertinggal. Bila malu ini telah hilang dari diri seorang insan, ia akan melangkah dari satu kejelekan kepada yang lebih jelek lagi, dari satu kerendahan kepada yang lebih rendah lagi. Karena malu pada hakekatnya adalah menjauhkan diri dari hal-hal yang Allah I haramkan dan menjaga anggota tubuh agar tidak digunakan untuk bermaksiat kepada-Nya. Apakah pantas seseorang disifati malu sementara matanya digunakan untuk melihat perkara yang Allah haramkan? Apakah pantas dikatakan malu, bila lidah masih digunakan untuk ghibah, mengadu domba, dusta, mencerca, dan mengumpat? Apakah pantas digelari malu, bila nikmat berupa pendengaran digunakan untuk menikmati musik dan nyanyian?
Wajib bagi kita untuk terus merasakan pengawasan Allah dan malu kepada-Nya di setiap waktu dan tempat.Kala dikau sendiri dalam kegelapanSedang jiwa mengajakmu tuk berbuat nistaMaka malulah dikau dari pandangan IlahiDan katakan pada jiwamu:Dzat yang menciptakan kegelapan inisenantiasa melihatku
Seorang muslim yang jujur dalam keimanannya akan merasa malu kepada Allah jika melanggar kehormatan orang lain dan mengambil harta yang tidak halal baginya. Sementara orang yang telah dicabik tirai malu dari wajahnya, ia akan berani kepada Allah dan berani melanggar larangan-Nya.
Bila engkau telah mengetahui pentingnya sifat malu, maka berupayalah untuk menumbuhkannya di hati keluarga dan anak-anak. Karena ketika malu ini masih ada, maka akan terasa betapa besar dan betapa jelek perbuatan yang mungkar, sementara kebaikan senantiasa mereka agungkan. Rasulullah SAW pernah melewati seseorang yang tengah mencela saudaranya karena sifat malunya, maka beliau bersabda:
“Biarkan dia, karena malu itu termasuk keimanan.” (HR. Al-Jamaah)
Perlu engkau ketahui bahwa Allah tidaklah malu dari kebenaran. Maka bukan termasuk sifat malu bila engkau diam ketika melihat kebatilan, engkau enggan menolong orang yang terzalimi, dan berat untuk mengingkari kemungkaran. Dan bukan pula termasuk sifat malu bila engkau tidak mau bertanya tentang perkara agama yang samar bagimu, karena Allah SWT berfirman:
“Maka tanyakanlah kepada ahlu dzikr (orang yang memiliki ilmu), jika kalian tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43)
Ummu Sulaim pernah datang kepada Nabi Muhammad SAW. Ia berkata ketika itu:
“Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu dari kebenaran. Apakah wajib bagi wanita untuk mandi bila ia ihtilam (mimpi bersetubuh)?” Rasulullah SAW menjawab:“Ya, jika ia melihat air mani yang keluar.” (Shahih, HR. Al-Bukhari)
Apakah tidak sepantasnya Ummu Sulaim menjadi contoh bagi para wanita dalam bertanya tentang perkara agamanya? Terkadang pemahaman ini menjadi terbalik. Wanita malu untuk bertanya hal-hal yang berkaitan dengan agamanya, akan tetapi ia tidak malu untuk berdua-duaan dengan sopir dan berbincang-bincang dengan pedagang, ataupun memperlihatkan auratnya di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya.
Ketahuilah bahwa tidak sepantasnya kita malu dari suatu perkara yang bisa membawa kepada kebaikan.
Anas bin Malik menceritakan: “Datang seorang wanita menemui Rasulullah SAW guna menawarkan dirinya kepada beliau agar diperistri oleh beliau. Wanita itu berkata: ‘Apakah engkau, wahai Rasulullah, punya keinginan terhadap diriku?’Salah seorang putri Anas, ketika mendengar kisah ini, berkomentar tentang wanita itu, ‘Alangkah sedikit rasa malunya!’Anas berkata, ‘Wanita itu lebih baik darimu, dia menawarkan diri kepada orang yang paling mulia dan paling baik (Rasulullah)’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari secara makna)
Semoga Allah senantiasa menganugerahkan kepada kita sifat malu yang membawa kita untuk selalu berbuat baik dan mencegah dari kejahatan dan kerendahan akhlak.
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.
(Diterjemahkan secara ringkas oleh Ummu Ishaq Al-Atsariyyah dari kitab Al-Mukhtar lil Hadits fi Syahri Ramadhan, hal. 453-457, yang ditulis oleh beberapa penuntut ilmu di Qasim, Saudi Arabia)
0 komentar