Beliau adalah ‘Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq bin Abu Quhafah bin ‘Amir bin ‘Amr bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay. Ibunda beliau bernama Ummu Rumman binti ‘Umair bin ‘Amir bin Dahman bin Harist bin Ghanam bin Malik bin Kinanah.
Aisyah ra terlahir empat atau lima tahun setelah diutusnya Rasulullah SAW Dari ‘Aisyah ra, bahwasanya dia pernah bertanya: [“Wahai Rasulullah, sesungguhnya semua maduku mempunyai kun-yah (julukan), maka sudikah engkau memberikan juga kun-yah untukku?”] Beliau Rasulullah SAW menjawab: [“Julukilah dirimu dengan putera (angkat)mu ‘Abdullah bin az-Zubair.”] Sejak saat itu, ‘Aisyah ra diberi kun-yah Ummu ‘Abdillah hingga meninggal dunia.
B. Malaikat Jibril Membawa Gambar ‘Aisyah untuk Rasulullah SAW serta Peminangan dan Pernikahan Beliau dengannya
Dari ‘Aisyah ra, ia berkata: [“Rasulullah SAW bercerita kepadaku: ‘Aku melihatmu dalam mimpi sebelum menikah denganmu sebanyak dua kali, (dalam lafazh lain: tiga kali). Malaikat datang kepadaku, ia membawakan jasadmu dalam sehelai kain sutera, seraya berkata: ‘Inilah isterimu!’ Akupun membuka (kain tadi untuk melihat) wajah wanita itu, dan ternyata dia adalah kamu.’” Kemudian, aku bertanya: “Kalau memang ini ketentuan dari Alloh, pasti akan terlaksana.”]
Dari ‘Aisyah ra, ia berkata: [“Malaikat Jibril datang membawaku kepada Rasulullah SAW dalam sehelai kain sutera, seraya berkata: ‘Ini adalah isterimu di dunia dan di akhirat.’”]
Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari ‘Aisyah رضي الله عنها, ia berkata: [“Rasulullah SAW menikahiku saat aku berumur enam tahun. Setelah itu, kami mendatangi kota Madinah dan tinggal di rumah Bani al-Harits bin Khazraj. Akupun jatuh sakit karena kelelahan, bahkan rambutku rontok hingga berjatuhan di kedua pundakku. Ibuku, Ummu Rumma, bersama beberapa temanku datang menjengukku, tepat saat diriku berada di ayunan anak-anak. Tiba-tiba ibuku berteriak memanggilku hingga aku bergegas menghampirinya.Aku tidak tahu apa yang ibuku inginkan dariku, sampai-sampai aku diberdirikan di pintu rumah dengan napas terengah-engah, hingga akhirnya jiwaku sedikit tenang. Setelah itu, aku mengambil sedikit air lalu mengusap wajah dan kepalaku. Lantas, ibuku memasukkanku ke dalam sebuah rumah yang di dalamnya terdapat beberapa wanita Anshar. Mereka mengatakan: ‘Semoga engkau tetap berada dalam kebaikan dan keberkahan.’ Ibuku menyerahkanku dan merekapun merias diriku. Tidak ada yang membuatku takut ketika itu, kecuali Rasulullah (yang akan kutemuai) pada waktu dhuha. Selanjutnya, ibuku menyerahkanku kepada beliau dan aku saat itu baru berumur sembilan tahun.”]
C. Sekelumit tentang Keutamaan ‘Aisyah ra
Ummul Mukminin ‘Aisyah memperoleh kedudukan dan cinta Rasulullah SAW yang tidak didapatkan oleh seorang wanitapun pada zamannya. Cinta Rasulullah SAW kepada ‘Aisyah ra sangat luar biasa. Bahkan, para sahabat selalu menunggu saat yang tepat untuk memberikan hadiah kepada Rasulullah SAW, yaitu pada hari giliran ‘Aisyah ra guna mencari keridhaan beliau, karena mereka mengetahui dalamnya cinta Nabi terhadap ‘Aisyah ra.
Hari giliran ‘Aisyah ra adalah dua hari, sedangkan isteri Rasulullah SAW lainnya hanya mendapat giliran satu hari.
Cinta dan khawatirnya Rasulullah SAW terhadap ‘Aisyah ra, beliau pernah menyuruhnya untuk minta diruqyah dari penyakit ‘ain.
Tidak cukup sampai di situ, Rasulullah SAW juga menganjurkan orang lain agar mencintainya, terkadang beliau tidak marah kalau ‘Aisyah ra membela dirinya, terkadang juga ada sebagian madunya yang mempermasalahkan suatu hal kepada Rasulullah SAW namun beliau malah menjadi tidak senang karena ‘Aisyah ra disakiti; bahkan Nabi memujinya bahwa tidak pernah wahyu turun ketika beliau berada dalam selimut salah seorang isterinya, kecuali bersama ‘Aisyah ra.
Karena amat cintanya, Rasulullah SAW pernah mencium ‘Aisyah ra saat sedang puasa. Beliau pun membujuknya apabila ‘Aisyah ra sedang kesal. Beliau dapat pula menunjukkan tanda-tanda ‘Aisyah ra ketika sedang senang dan ketika sedang marah.
Diantara kelembutan Nabi SAW kepada ‘Aisyah ra terlihat pada waktu beliau pernah lomba lari dengannya. Selain itu, beliau sering mengajaknya secara khusus untuk menyertainya dalam perjalanan. Perkara yang juga menunjukkan kedudukan mulia ‘Aisyah ra dalam diri Rasulullah SAW adalah beliau memulai bertanya kepada isterinya ini tatkala turun ayat takhyiir (tentang pilihan dunia dan akhirat bagi Ummahatul Mukminin) dan memang tepat jawabannya dalam hal itu.
Cukuplah sebagai bukti ketinggian derajat ‘Aisyah ra dengan warisan teragung kenabian yang disampaikannya kepada umat Islam. Alhasil, periwayatannya terhadap hadits Rasulullah SAW tersebut memenuhi sebagian besar kitab-kitab sunnah jika tidak boleh dikatakan semuanya. Di samping itu, orang-orang yang belajar (menimba ilmu) dari beliau adalah para pembesar sahabat dan tabi’in. para ulama sejak dahulu sampai sekarang berlomba-lomba menulis ilmu dari beliau. Sebagian mereka menulisnya secara tersendiri, baik dalam bidang fiqih, periwayatan hadits, tafsir al-Qur’an, untuaian sya’ir, maupun hari-hari bersejarah bangsa Arab.
Lebih dari itu, ‘Aisyah ra mempunyai keistimewaan yang tidak dimiliki ummul mukminin lainnya hingga mencapai empat puluh criteria. Cukuplah sebagai sebuah kebanggaan bagi ‘Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW lebih memilih dirinya untuk tinggal di rumahnya pada waktu sakit (menjelang wafat), serta bersatunya air liurnya dengan air liur beliau. ‘Aisyahlah yang langsung melayani Rasulullah SAW ketika itu, bahkan Nabi SAW wafat saat bersandar di dada ‘Aisyah ra. Semoga Alloh meridhoi Ummul Mukminin ‘Aisyah beserta seluruh Ummul Mukminin lainnya.
D. Wafatnya ‘Aisyah
‘Aisyah ra meninggal pada malam selasa, tanggal 17 Ramadhan setelah shalat witir, pada tahun 58 Hijriyah. Yang demikian itu menurut pendapat mayoritas ulama. Ada juga yang berpendapat bahwa beliau wafat pada tahun 57 H, dalam usia 63 tahun dan sekian bulan. Para sahabat Anshar berdatangan pada saat itu, bahkan tidak pernah ditemukan satu hari pun yang lebih banyak orang-orang berkumpul padanya daripada hari itu, sampai-sampai penduduk sekitar Madinah turut berdatangan.
‘Aisyah ra dikuburkan di Pekuburan Baqi’. Shalat jenazahnya diimami oleh Abu Hurairah dan Marwan bin Hakam yang saat itu adalah Gubernur Madinah. Semoga Alloh meridhoi Ummul Mukminin ‘Aisyah ra beserta seluruh Ummul Mukminin lainnya.
Bantahan Terhadap Beberapa Syubhat (Tuduhan) yang Dialamatkan Kepada Ummul Mukminin ‘Aisyah
A. Pernikahan Rasulullah SAW dengan ‘Aisyah ra
Sejak dahulu, musuh-musuh Islam tidak pernah menyia-nyiakan satu kesempatan pun untuk berbuat jahat. Tidaklah pula mereka membiarkan satu celah pun terbuka untuk mencela Rasulullah SAW melainkan akan segera memanfaatkannya.
Di antara tuduhan mereka adalah mengenai pernikahan Rasulullah SAW dengan seorang perawan kecil (‘Aisyah), yang sebenarnya hanya pantas menjadi salah satu puterinya.
Anehnya, tuduhan tersebut baru dilontarkan oleh musuh-musuh Islam pada zaman sekarang, padahal tuduhan semacam ini tidak ditemukan pada zaman nenek moyang mereka dari kalangan bangsa Yahudi, orang-orang munafik, dan kaum lainnya. Hal demikian dikarenakan mereka hidup pada zaman yang menganggap kejadian ini bukanlah suatu keanehan dan bukan pula sebuah aib menurut pandangan dan kondisi masyarakat saat itu. Jika tidak demikian, apakah mungkin orang-orang kafir dan orang-orang yang suka mencela Rasulullah pada zaman itu membiarkan kesempatan emas ini?
Tidak adanya tuduhan tersebut karena mereka telah mengetahui bahwa ‘Aisyah ra bukanlah gadis kecil pertama yang dinikahkan pada usia dini dengan seorang laki-laki yang lebih tua daripadanya, dan bukan pula yang terakhir. Di samping itu, mengapa hal ini mesti dipungkiri, bukankah sebelumnya ‘Aisyah ra sudah dipinang oleh Jubair bin Muth’im bin ‘Adi? Lihat pula ‘Umar bin al-Khaththab, beliau di akhir usianya dengan Ummu Kultsum binti ‘Ali bin Abi Tholib, padahal ‘Umar lebih tua disbanding umur bapaknya (‘Ali). ‘Umar juga pernah menawarkan puterinya, Hafshah, setelah menjanda kepada Abu Bakar dan ‘Utsman, padahal keduanya saat itu seumur dengan ‘Umar
Meskipun demikian, syubhat ini ternyata melekat dalam pikiran sebagian umat Islam, baik secara sengaja ataupun tidak, sehingga sebagian orang menganggap bahwa menikah pada umur sebagaimana Rasulullah membangun rumah tangga dengan ‘Aisyah ra merupakan sesuatu yang mustahil. Namun, al-hamdulillah, para ulama Muslim telah membantah pendapat musuh-musuh Islam itu dengan berbagai dalil naqli (nash) dan ‘aqli (akal).
Mereka juga menetapkan hakikat pernikahan ‘Aisyah ra pada usia dini dan menerangkan bahwa hal ini sudah menjadi kebiasaan mesyarakat pada waktu itu. Di sisi lain, hal tersebut termasuk syari’at dari Rasulullah, berupa anjuran agar seseorang menikah pada usia dini, karena yang demikian itu lebih bisa menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Tambahan pula, bahwasanya kesanggupan seorang wanita untuk memasuki bahtera rumah tangga tidak bergantung pada usianya, muda atau tua. Sungguh, tidaklah Rasulullah memasuki tahapan hidup berumah tangga, melainkan karena memang ‘Aisyah ra sudah siap untuk itu.
B. Tuduhan Berzina
Tatkala bendera Islam telah berkibar tinggi dan kejayaan Islam sudah tampak, serta kekuatan kekufuran hancur, muncullah fenomena di tengah-tengah barisan umat Islam musuh-musuh bebuyutan yang licik, yang menampakkan Islam di luarnya hanya demi menjaga darah dan harta, namun mereka menyembunyikan kekufuran dan gejolak kedengkian, serta tipu daya terhadap Islam dan kaum Muslimin. Mereka adalah orang-orang munafik yang dipimpin oleh ‘Abdullah bin Ubay bin Salul. Ia beranggapan bahwasanya Rasulullah SAW telah merebut kekuasaan dan kedudukannya, tidak lain karena kaumnya sebenarnya sudah siap untuk memberikan kekuasaan dan kerajaan di Madinah padanya (Ubay), sebelum sampainya ajaran Islam dan masuknya kaum Muslimin di kota tersebut.
Kaum munafik pun membulatkan tekad untuk merongrong kaum Muslimin, dengan menjalankan aksinya, baik sendiri-sendiri maupun bergabung bersama kelompok lainnya. Bahkan, kebusukan dan kejahatan mereka sampai pada titik ikut serta keluar dan berperang bersama (membantu) Rasulullah SAW terutama pada peperangan yang diperkirakan akan mendatangkan kemenangan dan mendapatkan harta rampasan perang, sehingga mereka bisa pulang dengan membawa harta kesenangan dunia yang fana.
Kaum ini juga meyakinkan kaum Muslimin bahwasanya mereka berada di satu barisan bersama umat Islam, padahal pada saat yang sama, mereka mencari-cari kesempatan untuk menyebarkan racun keraguan dalam hati dan menanam bibit perpecahan di antara kaum Muslimin. Meskipun semua itu harus ditempuh dengan jalan menghina dan melecehkan Rasulullah SAW pasti mereka akan tetap melakukannya tanpa ragu-ragu.
Akhirnya, kaum munafik mendapatkan kesempatan itu tatkala mereka keluar bersama Rasulullah SAW untuk memerangi Bani Mushthaliq. Kaum ini pun memperoleh peluang emas untuk mengabulkan keinginan nafsu keji mereka.
Peristiwa ini kemudian dikenal dengan “tuduhan dusta” (haaditsul ifki), sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab tafsir, hadits, sejarah peperangan, dan sirah. Peristiwa ini sangat masyhur disebabkan turunnya beberapa ayat terkait dengan masalah tersebut.
Secara ringkas, kronologis kejadian di atas adalah sebagaimana berikut. Suatu ketika, rombongan Rasulullah SAW meninggalkan Ummul Mukminin ‘Aisyah ra (tanpa sengaja) karena beliau sedang sibuk mencari kalungnya yang hilang saat sedang buang hajat. Setelah itu, ‘Aisyah ra kembali dan menunggu di tempat sebelumnya rombongannya berada, hingga datanglah Shafwan bin Mu’athil sebab dia memang berada di barisan belakang rombongan. Ia pun melihat dan mengenali wajah ‘Aisyah ra karena pernah melihat beliau sebelum turunnya ayat hijab. Shafwan lalu menundukkan unta untuk ‘Aisyah ra dan menuntun keduanya dengan cepat agar dapat menyusul rombongan. Di sisi lain, rombongan Rasulullah SAW panik karena kehilangan ‘Aisyah ra hingga pagi berikutnya.
Tatkala kaum Muslimin sudah agak tenang, tiba-tiba muncullah Shafwan menuntun unta yang ditunggangi Ummul Mukminin ‘Aisyah. Menyaksikan hal tersebut, orang-orang munafik pun menyebarkan desas-desus sehingga orang-orang yang hatinya berpenyakit turut menyebarkannya. Fitnah ini semakin memanas hingga sanggup menjerat (menyesatkan) sebagian umat Islam.
Keadaan semakin parah karena wahyu tidak kunjung turun, padahal dengannya akan binasa orang yang binasa melalui bukti jelas dan akan hidup (juga) orang yang hidup dengan bukti yang nyata. Benar , orang-orang munafik berhasil menjalankan aksinya saat itu, senjata mereka benar-benar beracun, dan mereka yakin bahwa tuduhan itu akan berujung pada kebinasaan ‘Aisyah.
Akan tetapi, Allah berkehendak lain dan menyelamatkan umat Islam, terbukti dengan diturunkannya wahyu dari-Nya, Yang Maha mengetahui semua rahasia. Alhasil, terbebaslah ‘Aisyah ra ash-Shiddiqah binti Abu Bakar ash-Siddiq melalui ayat yang diturunkan dari atas langit ketujuh, yang akan terus dibaca oleh umat Islam di masjid-masjid mereka, sampai Allah mewarisi bumi dengan segala isinya.
Demikian gambaran singkat peristiwa tuduhan keji itu. Para ulama dan cendekiawan Islam berlomba-lomba membantah tuduhan musuh-musuh Islam ini dengan dalil naqli dan ‘aqli. Semua kitab sejarah, baik yang ditulis sekarang atau sebelumnya, penuh dengan bantahan terhadap tuduhan tersebut. Penulisnyapun berharap mendapatkan pahala dari sisi Allah karena telah membela kehormatan Rasulullah SAW dan isteri-isteri beliau, Ummahatul Mukminin yang suci.
Namun, bukan di sini tempatnya untuk memaparkan bantahan para ulama tersebut. Adapun dalil pertama dan terkuat bagi setiap Muslim yang beriman kepada Allah dan hari Akhir adalah turunnya wahyu yang membebaskan ‘Aisyah ash-Shiddiqah ra. Cukuplah bagi kaum Muslimin dengan turunnya ayat ini, sebagai bantahan terhadap tuduhan dusta itu.
Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat bahwa orang yang mencela ‘Aisyah ra dengan sesuatu yang Allah telah membebaskannya dari perbuatan tersebut atau menuduh ‘Aisyah ra dengan tuduhan orang-orang munafik dahulu, sebagaimana dilakukan orang-orang Syi’ah Rafidhah pada zaman sekarang, adalah kafir. Ia telah mendustakan apa yang disebutkan Allah dalam Kitab-Nya, yang secara tegas mengabarkan pembebasan dan kesucian ‘Aisyah ra dari semua tuduhan tersebut. Bahkan, para ulama mengatakan bahwa orang semacam ini wajib dibunuh.
Saya akan menurunkan beberapa dalil atas hal ini:
Ucapan yang dikutip dari para ulama ini sangatlah sedikit jika dibandingkan dengan pernyataan yang ada dalam kitab-kitab fiqih, aqidah, dan tafsir. Semuanya membantah orang yang mencela ‘Aisyah ra dari kalangan Rafidhah dan para pengikut mereka. Para ulama juga telah menetapkan bahwa orang yang melakukannya telah kafir karena mendustakan apa yang Allah kabarkan dalam kitab-Nya yang mulia, yaitu tentang terbebaskan dan tersucikannya ‘Aisyah.
Tersucikannya ‘Aisyah ra dari tuduhan tersebut akan dipahami oleh setiap orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Itulah yang dipahami oleh sahabat yang mulia, Abu Ayyub al-Anshari, tatkala isterinya, Ummu Ayyub, bertanya kepadanya: [“Wahai Abu Ayyub, tidakkah engkau mendengar apa yang sedang diperbincangkan orang-orang tentang ‘Aisyah?”] Beliau menjawab: [“Ya. Hal itu hanya dusta belaka. Apakah kamu juga melakukannya, hai Ummu Ayyub?”] Ia menjawab: [“Tidak, demi Allah. Aku tidak melakukannya.”] Abu Ayyub berkata: [‘Demi Allah, ‘Aisyah lebih baik daripada kamu.’”]
Semoga Allah meridhai ‘Aisyah dan Ummul Mukminin lainnya serta mengumpulkan kita ke dalam golongan mereka di bawah bendera Rasulullah SAW. Segala puji hanya bagi Allah, Rabb sekalian alam.
(Disadur dari Terjemahan Buku Silsilah Ummahatul Mu’minin Wad Da’wah Ila Allah, Dr. Khalid bin Muhammad, Penerbit Pustaka Imam Syafii Jakarta)
Cinta dan khawatirnya Rasulullah SAW terhadap ‘Aisyah ra, beliau pernah menyuruhnya untuk minta diruqyah dari penyakit ‘ain.
Tidak cukup sampai di situ, Rasulullah SAW juga menganjurkan orang lain agar mencintainya, terkadang beliau tidak marah kalau ‘Aisyah ra membela dirinya, terkadang juga ada sebagian madunya yang mempermasalahkan suatu hal kepada Rasulullah SAW namun beliau malah menjadi tidak senang karena ‘Aisyah ra disakiti; bahkan Nabi memujinya bahwa tidak pernah wahyu turun ketika beliau berada dalam selimut salah seorang isterinya, kecuali bersama ‘Aisyah ra.
Karena amat cintanya, Rasulullah SAW pernah mencium ‘Aisyah ra saat sedang puasa. Beliau pun membujuknya apabila ‘Aisyah ra sedang kesal. Beliau dapat pula menunjukkan tanda-tanda ‘Aisyah ra ketika sedang senang dan ketika sedang marah.
Diantara kelembutan Nabi SAW kepada ‘Aisyah ra terlihat pada waktu beliau pernah lomba lari dengannya. Selain itu, beliau sering mengajaknya secara khusus untuk menyertainya dalam perjalanan. Perkara yang juga menunjukkan kedudukan mulia ‘Aisyah ra dalam diri Rasulullah SAW adalah beliau memulai bertanya kepada isterinya ini tatkala turun ayat takhyiir (tentang pilihan dunia dan akhirat bagi Ummahatul Mukminin) dan memang tepat jawabannya dalam hal itu.
Cukuplah sebagai bukti ketinggian derajat ‘Aisyah ra dengan warisan teragung kenabian yang disampaikannya kepada umat Islam. Alhasil, periwayatannya terhadap hadits Rasulullah SAW tersebut memenuhi sebagian besar kitab-kitab sunnah jika tidak boleh dikatakan semuanya. Di samping itu, orang-orang yang belajar (menimba ilmu) dari beliau adalah para pembesar sahabat dan tabi’in. para ulama sejak dahulu sampai sekarang berlomba-lomba menulis ilmu dari beliau. Sebagian mereka menulisnya secara tersendiri, baik dalam bidang fiqih, periwayatan hadits, tafsir al-Qur’an, untuaian sya’ir, maupun hari-hari bersejarah bangsa Arab.
Lebih dari itu, ‘Aisyah ra mempunyai keistimewaan yang tidak dimiliki ummul mukminin lainnya hingga mencapai empat puluh criteria. Cukuplah sebagai sebuah kebanggaan bagi ‘Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW lebih memilih dirinya untuk tinggal di rumahnya pada waktu sakit (menjelang wafat), serta bersatunya air liurnya dengan air liur beliau. ‘Aisyahlah yang langsung melayani Rasulullah SAW ketika itu, bahkan Nabi SAW wafat saat bersandar di dada ‘Aisyah ra. Semoga Alloh meridhoi Ummul Mukminin ‘Aisyah beserta seluruh Ummul Mukminin lainnya.
D. Wafatnya ‘Aisyah
‘Aisyah ra meninggal pada malam selasa, tanggal 17 Ramadhan setelah shalat witir, pada tahun 58 Hijriyah. Yang demikian itu menurut pendapat mayoritas ulama. Ada juga yang berpendapat bahwa beliau wafat pada tahun 57 H, dalam usia 63 tahun dan sekian bulan. Para sahabat Anshar berdatangan pada saat itu, bahkan tidak pernah ditemukan satu hari pun yang lebih banyak orang-orang berkumpul padanya daripada hari itu, sampai-sampai penduduk sekitar Madinah turut berdatangan.
‘Aisyah ra dikuburkan di Pekuburan Baqi’. Shalat jenazahnya diimami oleh Abu Hurairah dan Marwan bin Hakam yang saat itu adalah Gubernur Madinah. Semoga Alloh meridhoi Ummul Mukminin ‘Aisyah ra beserta seluruh Ummul Mukminin lainnya.
Bantahan Terhadap Beberapa Syubhat (Tuduhan) yang Dialamatkan Kepada Ummul Mukminin ‘Aisyah
A. Pernikahan Rasulullah SAW dengan ‘Aisyah ra
Sejak dahulu, musuh-musuh Islam tidak pernah menyia-nyiakan satu kesempatan pun untuk berbuat jahat. Tidaklah pula mereka membiarkan satu celah pun terbuka untuk mencela Rasulullah SAW melainkan akan segera memanfaatkannya.
Di antara tuduhan mereka adalah mengenai pernikahan Rasulullah SAW dengan seorang perawan kecil (‘Aisyah), yang sebenarnya hanya pantas menjadi salah satu puterinya.
Anehnya, tuduhan tersebut baru dilontarkan oleh musuh-musuh Islam pada zaman sekarang, padahal tuduhan semacam ini tidak ditemukan pada zaman nenek moyang mereka dari kalangan bangsa Yahudi, orang-orang munafik, dan kaum lainnya. Hal demikian dikarenakan mereka hidup pada zaman yang menganggap kejadian ini bukanlah suatu keanehan dan bukan pula sebuah aib menurut pandangan dan kondisi masyarakat saat itu. Jika tidak demikian, apakah mungkin orang-orang kafir dan orang-orang yang suka mencela Rasulullah pada zaman itu membiarkan kesempatan emas ini?
Tidak adanya tuduhan tersebut karena mereka telah mengetahui bahwa ‘Aisyah ra bukanlah gadis kecil pertama yang dinikahkan pada usia dini dengan seorang laki-laki yang lebih tua daripadanya, dan bukan pula yang terakhir. Di samping itu, mengapa hal ini mesti dipungkiri, bukankah sebelumnya ‘Aisyah ra sudah dipinang oleh Jubair bin Muth’im bin ‘Adi? Lihat pula ‘Umar bin al-Khaththab, beliau di akhir usianya dengan Ummu Kultsum binti ‘Ali bin Abi Tholib, padahal ‘Umar lebih tua disbanding umur bapaknya (‘Ali). ‘Umar juga pernah menawarkan puterinya, Hafshah, setelah menjanda kepada Abu Bakar dan ‘Utsman, padahal keduanya saat itu seumur dengan ‘Umar
Meskipun demikian, syubhat ini ternyata melekat dalam pikiran sebagian umat Islam, baik secara sengaja ataupun tidak, sehingga sebagian orang menganggap bahwa menikah pada umur sebagaimana Rasulullah membangun rumah tangga dengan ‘Aisyah ra merupakan sesuatu yang mustahil. Namun, al-hamdulillah, para ulama Muslim telah membantah pendapat musuh-musuh Islam itu dengan berbagai dalil naqli (nash) dan ‘aqli (akal).
Mereka juga menetapkan hakikat pernikahan ‘Aisyah ra pada usia dini dan menerangkan bahwa hal ini sudah menjadi kebiasaan mesyarakat pada waktu itu. Di sisi lain, hal tersebut termasuk syari’at dari Rasulullah, berupa anjuran agar seseorang menikah pada usia dini, karena yang demikian itu lebih bisa menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Tambahan pula, bahwasanya kesanggupan seorang wanita untuk memasuki bahtera rumah tangga tidak bergantung pada usianya, muda atau tua. Sungguh, tidaklah Rasulullah memasuki tahapan hidup berumah tangga, melainkan karena memang ‘Aisyah ra sudah siap untuk itu.
B. Tuduhan Berzina
Tatkala bendera Islam telah berkibar tinggi dan kejayaan Islam sudah tampak, serta kekuatan kekufuran hancur, muncullah fenomena di tengah-tengah barisan umat Islam musuh-musuh bebuyutan yang licik, yang menampakkan Islam di luarnya hanya demi menjaga darah dan harta, namun mereka menyembunyikan kekufuran dan gejolak kedengkian, serta tipu daya terhadap Islam dan kaum Muslimin. Mereka adalah orang-orang munafik yang dipimpin oleh ‘Abdullah bin Ubay bin Salul. Ia beranggapan bahwasanya Rasulullah SAW telah merebut kekuasaan dan kedudukannya, tidak lain karena kaumnya sebenarnya sudah siap untuk memberikan kekuasaan dan kerajaan di Madinah padanya (Ubay), sebelum sampainya ajaran Islam dan masuknya kaum Muslimin di kota tersebut.
Kaum munafik pun membulatkan tekad untuk merongrong kaum Muslimin, dengan menjalankan aksinya, baik sendiri-sendiri maupun bergabung bersama kelompok lainnya. Bahkan, kebusukan dan kejahatan mereka sampai pada titik ikut serta keluar dan berperang bersama (membantu) Rasulullah SAW terutama pada peperangan yang diperkirakan akan mendatangkan kemenangan dan mendapatkan harta rampasan perang, sehingga mereka bisa pulang dengan membawa harta kesenangan dunia yang fana.
Kaum ini juga meyakinkan kaum Muslimin bahwasanya mereka berada di satu barisan bersama umat Islam, padahal pada saat yang sama, mereka mencari-cari kesempatan untuk menyebarkan racun keraguan dalam hati dan menanam bibit perpecahan di antara kaum Muslimin. Meskipun semua itu harus ditempuh dengan jalan menghina dan melecehkan Rasulullah SAW pasti mereka akan tetap melakukannya tanpa ragu-ragu.
Akhirnya, kaum munafik mendapatkan kesempatan itu tatkala mereka keluar bersama Rasulullah SAW untuk memerangi Bani Mushthaliq. Kaum ini pun memperoleh peluang emas untuk mengabulkan keinginan nafsu keji mereka.
Peristiwa ini kemudian dikenal dengan “tuduhan dusta” (haaditsul ifki), sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab tafsir, hadits, sejarah peperangan, dan sirah. Peristiwa ini sangat masyhur disebabkan turunnya beberapa ayat terkait dengan masalah tersebut.
Secara ringkas, kronologis kejadian di atas adalah sebagaimana berikut. Suatu ketika, rombongan Rasulullah SAW meninggalkan Ummul Mukminin ‘Aisyah ra (tanpa sengaja) karena beliau sedang sibuk mencari kalungnya yang hilang saat sedang buang hajat. Setelah itu, ‘Aisyah ra kembali dan menunggu di tempat sebelumnya rombongannya berada, hingga datanglah Shafwan bin Mu’athil sebab dia memang berada di barisan belakang rombongan. Ia pun melihat dan mengenali wajah ‘Aisyah ra karena pernah melihat beliau sebelum turunnya ayat hijab. Shafwan lalu menundukkan unta untuk ‘Aisyah ra dan menuntun keduanya dengan cepat agar dapat menyusul rombongan. Di sisi lain, rombongan Rasulullah SAW panik karena kehilangan ‘Aisyah ra hingga pagi berikutnya.
Tatkala kaum Muslimin sudah agak tenang, tiba-tiba muncullah Shafwan menuntun unta yang ditunggangi Ummul Mukminin ‘Aisyah. Menyaksikan hal tersebut, orang-orang munafik pun menyebarkan desas-desus sehingga orang-orang yang hatinya berpenyakit turut menyebarkannya. Fitnah ini semakin memanas hingga sanggup menjerat (menyesatkan) sebagian umat Islam.
Keadaan semakin parah karena wahyu tidak kunjung turun, padahal dengannya akan binasa orang yang binasa melalui bukti jelas dan akan hidup (juga) orang yang hidup dengan bukti yang nyata. Benar , orang-orang munafik berhasil menjalankan aksinya saat itu, senjata mereka benar-benar beracun, dan mereka yakin bahwa tuduhan itu akan berujung pada kebinasaan ‘Aisyah.
Akan tetapi, Allah berkehendak lain dan menyelamatkan umat Islam, terbukti dengan diturunkannya wahyu dari-Nya, Yang Maha mengetahui semua rahasia. Alhasil, terbebaslah ‘Aisyah ra ash-Shiddiqah binti Abu Bakar ash-Siddiq melalui ayat yang diturunkan dari atas langit ketujuh, yang akan terus dibaca oleh umat Islam di masjid-masjid mereka, sampai Allah mewarisi bumi dengan segala isinya.
Demikian gambaran singkat peristiwa tuduhan keji itu. Para ulama dan cendekiawan Islam berlomba-lomba membantah tuduhan musuh-musuh Islam ini dengan dalil naqli dan ‘aqli. Semua kitab sejarah, baik yang ditulis sekarang atau sebelumnya, penuh dengan bantahan terhadap tuduhan tersebut. Penulisnyapun berharap mendapatkan pahala dari sisi Allah karena telah membela kehormatan Rasulullah SAW dan isteri-isteri beliau, Ummahatul Mukminin yang suci.
Namun, bukan di sini tempatnya untuk memaparkan bantahan para ulama tersebut. Adapun dalil pertama dan terkuat bagi setiap Muslim yang beriman kepada Allah dan hari Akhir adalah turunnya wahyu yang membebaskan ‘Aisyah ash-Shiddiqah ra. Cukuplah bagi kaum Muslimin dengan turunnya ayat ini, sebagai bantahan terhadap tuduhan dusta itu.
Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat bahwa orang yang mencela ‘Aisyah ra dengan sesuatu yang Allah telah membebaskannya dari perbuatan tersebut atau menuduh ‘Aisyah ra dengan tuduhan orang-orang munafik dahulu, sebagaimana dilakukan orang-orang Syi’ah Rafidhah pada zaman sekarang, adalah kafir. Ia telah mendustakan apa yang disebutkan Allah dalam Kitab-Nya, yang secara tegas mengabarkan pembebasan dan kesucian ‘Aisyah ra dari semua tuduhan tersebut. Bahkan, para ulama mengatakan bahwa orang semacam ini wajib dibunuh.
Saya akan menurunkan beberapa dalil atas hal ini:
- Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata saat menafsirkan firman Allah yang artinya:“Sungguh, orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan baik, yang lengah dan beriman (dengan tuduhan berzina), mereka dilaknat di dunia dan akhirat, dan mereka akan mendapat azab yang besar.” (QS. An-Nuur: 23) “Seluruh ulama sepakat bahwa orang yang mencela dan menuduh ‘Aisyah ra dengan tuduhan yang disebutkan dalam ayat ini, telah kafir dan menentang al-Qur’an.”
- Imam Ibnul Qayyim menyebutkan kesepakatan umat Islam atas kafirnya orang yang menuduh ‘Aisyah ra berbuat zina: “’Aisyah ra adalah orang yang paling dicintai Rasulullah. Telah turun pula pembebasannya dari langit. Umat Islam pun telah sepakat atas kekufuran orang yang menuduh beliau berbuat zina.”
- Imam az-Zarkasyi berkata: “Siapa saja yang menuduh ‘Aisyah ra berbuat zina adalah kafir, karena al-Qur’an dengan sangat jelas, telah membebaskannya.”
- Imam Malik berpendapat bahwa orang yang menuduh ‘Aisyah ra berzina harus dibunuh karena dia telah menyalahi al-Qur’an. Sebab, siapa yang menyalahi al-Qur’an pantas dibunuh karena berani mendustakannya.
- Imam al-Qurthubi berkata saat menafsirkan firman Allah yang artinya: “Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali mengulangi seperti itu selama-lamanya …” (QS. An-Nuur: 17): “Maksudnya ialah menuduh ‘Aisyah ra. Perbuatan yang demikian bisa menyakiti Rasulullah dari segi kehormatan diri dan keluarganya, bahkan orang yang melakukannya akan menjadi kafir.Hisyam bin ‘Amr berkata: “Aku mendengar Imam Malik berpendapat bahwa siapa saja yang mencela Abu Bakar dan ‘Umar harus diberi pelajaran, sedangkan siapa saja yang mencela ‘Aisyah ra harus dibunuh, karena Allah berfirman yang artinya:“Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali mengulangi seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang beriman.” (QS. An-Nuur: 17) Jadi, siapa yang mencela ‘Aisyah ra berarti sama saja telah menentang al-Qur’an, sedangkan orang yang menentang al-Qur’an harus dibunuh.”
- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Mengenai orang yang mencela para isteri Rasulullah, al-Qadhi Abu Ya’la berpendapat: ‘Siapa saya yang mencela ‘Aisyah ra dengan sesuatu yang Allah telah membebaskannya darinya, telah kafir, tanpa ada perselisihan pendapat di kalangan ulama. Lebih dari seorang ulama yang menegaskan adanya ijma’ ulama dalam hal ini. Lebih dari seorang imam pula yang secara jelas menetapkan hukum ini.”
- Ibnu Abi Musa berkata: “Barang siapa yang mencela ‘Aisyah ra dengan sesuatu yang beliau telah dibebaskan Allah darinya, maka dia telah keluar dari agama. Maka tidak sah pernikahannya dengan wanita Muslimah.”
Ucapan yang dikutip dari para ulama ini sangatlah sedikit jika dibandingkan dengan pernyataan yang ada dalam kitab-kitab fiqih, aqidah, dan tafsir. Semuanya membantah orang yang mencela ‘Aisyah ra dari kalangan Rafidhah dan para pengikut mereka. Para ulama juga telah menetapkan bahwa orang yang melakukannya telah kafir karena mendustakan apa yang Allah kabarkan dalam kitab-Nya yang mulia, yaitu tentang terbebaskan dan tersucikannya ‘Aisyah.
Tersucikannya ‘Aisyah ra dari tuduhan tersebut akan dipahami oleh setiap orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Itulah yang dipahami oleh sahabat yang mulia, Abu Ayyub al-Anshari, tatkala isterinya, Ummu Ayyub, bertanya kepadanya: [“Wahai Abu Ayyub, tidakkah engkau mendengar apa yang sedang diperbincangkan orang-orang tentang ‘Aisyah?”] Beliau menjawab: [“Ya. Hal itu hanya dusta belaka. Apakah kamu juga melakukannya, hai Ummu Ayyub?”] Ia menjawab: [“Tidak, demi Allah. Aku tidak melakukannya.”] Abu Ayyub berkata: [‘Demi Allah, ‘Aisyah lebih baik daripada kamu.’”]
Semoga Allah meridhai ‘Aisyah dan Ummul Mukminin lainnya serta mengumpulkan kita ke dalam golongan mereka di bawah bendera Rasulullah SAW. Segala puji hanya bagi Allah, Rabb sekalian alam.
(Disadur dari Terjemahan Buku Silsilah Ummahatul Mu’minin Wad Da’wah Ila Allah, Dr. Khalid bin Muhammad, Penerbit Pustaka Imam Syafii Jakarta)
0 komentar