Hay friends, Dengerin lagu yuks
Hehehehe ..
Irra Agustiyanti

Female, 42 years

USU Ekonomi Manajemen

irra.feisal@windowslive.com

Inti Duta Surya

Tiban Riau Bertuah

Batam, Indonesia

'Hi...Wish u enjoy at My Blog.....'
Journey of Destiny

Kamis, 23 Januari 2014

Perjalanan Kesebelas : Timbangan Amal

Yaumul Mizan, yaitu Hari dimana manusia ditimbang amalannya oleh Allah سبحانه وتعالى. Imaam Al Qurthuby رحمه الله dalam kitab beliau yang berjudul “At Tadzkiroh fi Ahwaalil Mautaa wa ‘Umuuril Aakhiroh” (Peringatan Tentang Keadaan Orang Mati dan Perkara-Perkara Akhirat), yaitu Kitab yang khusus berbicara tentang Kiamat Sughro (Kiamat Kecil) dan Kiamat Kubro (Kiamat Besar), beliau رحمه الله menukil perkataan para ‘Ulama Ahlus Sunnah bahwa: “Jika Al Hisab (perhitungan amalan-amalan seseorang) sudah selesai, maka berikutnya adalah Waznul A’maal dimana amalan setiap manusia ditimbang. Karena dengan timbangan itu lah kemudian akan ditegakkannya pembalasan Allah سبحانه وتعالى.”


Oleh karena itu Al Mizan didahului oleh Al Hisab. Karena Hari Hisab merupakan pengakuan manusia, bahwa benar ia telah melakukan sesuatu amalan ini dan itu semasa hidupnya di dunia. Semua pengakuan itu ada dalam Muhaasabah.

Selanjutnya kata beliau (Imaam Al Qurthuby رحمه الله) bahwa Yaumul Mizan adalah untuk memperlihatkan balasan amalan seseorang. Seseorang itu berhak mendapatkan balasan seperti apakah akan ditentukan setelah Al Mizan; dimana balasan Allooh سبحانه وتعالى terhadap manusia itu adalah sesuai dengan pengakuan amalannya, sesuai dengan timbangan hasil prestasi amalan yang telah ia lakukan ketika hidup di dunia.

Al Mizan adalah timbangan yang Allah سبحانه وتعالى tegakkan pada hari Kiamat, untuk menimbang amalan manusia. Di dalam Al Mizan itu akan ditemui empat perkara yang harus diyakini dengan benar menurut kaidah-kaidah Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah:


Pertama, ARTI TIMBANGAN

Timbangan yang dimaksud adalah dalam arti yang sesungguhnya dimana timbangan tersebut bukanlah dalam arti kiasan. Timbangan itu memiliki dua penampang yaitu disebelah kanan dan disebelah kiri. Tidak ada yang mengetahui berapa besarnya timbangan itu kecuali Allah سبحانه وتعالى. Yang ada dalam timbangan tersebut hanyalah keadilan. Timbangan itu hasilnya tidak akan curang, maka ia disebut Al Qisthu atau Al ‘Adlu (Adil).

Pada Yaumul Mizan itu tidak akan terdapat kecurangan sebagaimana peradilan yang kita temui dalam kehidupan di dunia ini. Di dunia ini orang pandai dalam memutar-balikkan fakta, membuat perkara-perkara peradilan dapat memenangkan pihak yang kuat dan menindas pihak yang lemah. Kecurangan yang dilakukan oleh manusia di dunia, akan menjadikannya binasa ketika ditegakkan Al Mizan baginya di akhirat nanti, karena keadilan Allah سبحانه وتعالى adalah tidak bisa ditawar sebagaimana sistem peradilan di dunia ini.

Oleh karena itu kita pesimis terhadap perbaikan apapun yang diupayakan oleh manusia yang tidak beriman kepada Allah سبحانه وتعالى. Selama manusia yang bergelut dalam mahkamah peradilan dunia ini tidak merujuk pada ukuran atau pedoman Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dalam memutuskan suatu perkara secara adil dan jujur, maka yang akan terjadi adalah musibah demi musibah senantiasa akan melanda negeri ini.

Perhatikanlah sabda Rasuulullah صلى الله عليه وسلم dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Imaam Al Hakim dalam “Al-Mustadrok” Kitab “Al-Fitan wal Malaahim” no: 8667 dan kata beliau sanadnya Shohiih dan Imaam Adz-Dzahaby menyepakati-nya, juga Imaam Ibnu Majah dalam kitab yang sama no: 4019. Dan Syaikh Nashiruddin Al-Albaany meng-Hasan-kan Sanadnya sebagaimana dalam Silsilah Hadits Shohiih-nya 1/167-169 No.106:


وَلَمْ يَنْقُصُوْا الْمِكْيَالَ وَالْمِيْزَانَ إِلاَّ أُخِذُوْا بِالسَّنِيْنَ وَشِدَّةِ الْمُؤْنَةِ وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ…
Artinya:
“…Tidaklah mereka (suatu kaum) mengurangi takaran dan timbangan, kecuali mereka akan ditimpa dengan:
1. kemarau panjang,
2. beban hidup yang berat
3. dan penguasa yang dzolim….”

Assaniin, yaitu kemarau panjang atau hujan tidak teratur itu, termasuk didalamnya adalah Global Warming.

Syiddatil Mu’nah, yaitu beban hidup yang sangat berat dan mahal. Di zaman sekarang, orang menyebutnya dengan Krismon (Krisis Moneter).

Jaurus Sulthooni ‘alaihim, yaitu penguasa yang semakin dzolim; dimana kezoliman ini sekarang terjadi dalam segala perkara. Para koruptor milyaran rupiah hanya diberikan hukuman beberapa tahun penjara saja, padahal mereka telah menyengsarakan jutaan rakyat di negara ini, disisi lain kaum faqir miskin yang haknya terampas tidak mendapatkan pembelaan dan terus menerus kian terdesak oleh kepentingan segelintir orang.


Selama kecurangan demi kecurangan terjadi di berbagai lini, maka selama itu pula dunia tidak akan pernah beres. Itulah peringatan yang telah disabdakan oleh Rasuulullah صلى الله عليه وسلم. Perbaikan apa pun yang diupayakan manusia, sekalipun dengan memunculkan berbagai jenis Undang-Undang buatan manusia, namun apabila tidak ditegakkan proses peradilan yang sebenar-benarnya sesuai aturan Allooh سبحانه وتعالى, disamping itu kecurangan demi kecurangan dengan berbagai asas kepentingannya dibiarkan menggurita; maka selama itu pula tidak akan pernah terjadi kebaikan. Bahkan yang terjadi adalah sebaliknya, yakni kerusakan yang semakin parah.

Kemudian di akhirat kelak akan menuai yang lebih dahsyat lagi balasannya.

Perhatikanlah firman Allah سبحانه وتعالى dalam QS. Muthoffifiin (83) ayat 1-3 berikut ini:
وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِينَ ﴿١﴾ الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُواْ عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ ﴿٢﴾ وَإِذَا كَالُوهُمْ أَو وَّزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ ﴿٣﴾
Artinya:
(1) Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang,
(2) (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi,
(3) dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.


Ancamannya adalah Neraka Weil. Kalau ancamannya neraka maka itu adalah kerugian yang nyata. Na’uudzu billaahi min dzaalik.
Oleh karena itu dalam Timbangan Hari Kiamat, yang ada semata-mata hanyalah keadilan yang Allah سبحانه وتعالى berikan kepada hamba-Nya.


Dalil tentang adanya Al Mizan (Timbangan) adalah terdapat dalam QS. Anbiyaa’ (21) ayat 47 berikut ini:
وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئاً وَإِن كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا وَكَفَى بِنَا حَاسِبِينَ
Artinya:
“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada Hari Kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala) nya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan.”


Hari Penimbangan (Al Mizan) bukan sekarang di dunia, melainkan kelak di Hari Kiamat. Di dunia tidak ada manusia yang ditimbang amalannya. Maka orang yang tidak beriman (percaya) kepada Hari Kiamat, mereka akan sangat buruk keadaannya. Hal ini dikarenakan mereka merasa bahwa hidup ini hanyalah di dunia saja, sehingga mereka bebas berbuat semena-mena terhadap sesamanya, bebas berlaku curang serta berbuat dzolim terhadap orang lain, bebas berbuat ma’shiyat dan sebagainya. Sementara Al Mizan (Timbangan) itu tegaknya adalah pada Hari Kiamat nanti. Dan ketika Hari Kiamat itu tiba maka keadilan yang sesungguhnya akan ditegakkan oleh Allah سبحانه وتعالى. Tidak ada seorang manusiapun yang Allah سبحانه وتعالى dzolimi, tidak ada seorangpun yang diperlakukan tidak adil.

Khaliifah ‘Umar bin Khaththab رضي الله عنه berkata: “Hisablah dirimu sebelum engkau dihisab, timbanglah diri kamu sebelum engkau ditimbang”.

Maka hendaknya kita kaum Muslimin harus berusaha agar selalu sadar akan adanya Perhitungan dan Timbangan tersebut.

Ada suatu riwayat yang dinukil dari Kitab yang ditulis oleh Imaam Al Qurthuby رحمه الله tersebut diatas, dimana beliau رحمه الله meriwayatkan dari Wahab bin Munabbih رحمه الله tentang tafsir ayat 47 Surat Anbiyaa’ tersebut, bahwa yang akan ditimbang adalah amalan-amalan yang paling akhir. Oleh karena itu, jika Allah سبحانه وتعالى menghendaki dari seorang hamba itu kebajikan, maka orang itu akan ditutup hayatnya (hidupnya, pembukuannya) dari dunia ini dengan kebajikan. Dan jika Allah سبحانه وتعالى menghendaki pada orang itu keburukan, maka ia akan ditutup hayatnya dengan amalan yang jahat.

Oleh karena itu Husnul Khatimah haruslah menjadi target hidup kita. Dan itu hendaknya disadari oleh kaum Muslimin. Kita harus selalu meminta kepada Allah سبحانه وتعالى dengan segala daya dan upaya. Dan upayanya itu yang paling penting adalah harus selalu menyadari dengan mengendalikan diri, bahwa jangan sampai ada waktu dari hidup kita ini diisi dengan kelengahan, kelalaian dan kesia-siaan. Janganlah kita menganggap bahwa kita sekarang ini tidak berada dalam pengawasan Allah سبحانه وتعالى.

Setiap kita harus menyadari, apakah satu jam yang akan datang, ataukah sehari yang akan datang adakah kita ini masih diberi kehidupan oleh Allah سبحانه وتعالى ataukah tidak. Oleh karena itu usahakan agar hidup kita selalu berada di atas kebajikan. Mudah-mudahan ketika sedang dalam kebajikan itulah kita dimatikan oleh Allah سبحانه وتعالى. Rasuulullah صلى الله عليه وسلم selalu mencontohkan keadaan seperti itu. Sehingga Rasulullah صلى الله عليه وسلم selalu melakukan shaum Senin-Kamis, dengan maksud agar ketika malaikat melapor kepada Allah سبحانه وتعالى, maka beliau صلى الله عليه وسلم dilaporkan dalam keadaan taat kepada Allah سبحانه وتعالى. Kita, kaum Muslimin hendaknya mencontoh sikap yang demikian.

Perhatikan pula firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Al A’raf (7) ayat 8 dan 9 berikut ini:
وَالْوَزْنُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ فَمَن ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴿٨﴾ وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُوْلَـئِكَ الَّذِينَ خَسِرُواْ أَنفُسَهُم بِمَا كَانُواْ بِآيَاتِنَا يِظْلِمُونَ ﴿٩﴾
Artinya :
(8) Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan), maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.
(9) Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan MEREKA SELALU MENGINGKARI AYAT-AYAT KAMI.


Bukankah segala sesuatunya telah diberikan oleh Allah سبحانه وتعالى kepada mereka? Mulai dari umur, kesehatan, kekayaan harta, dan sebagainya; tetapi mengapakah tidak mereka gunakan untuk semakin baik dan taat kepada Allah سبحانه وتعالى? Bahkan karunia Allah سبحانه وتعالى itu justru digunakan untuk menjatuhkan dirinya kedalam kema’shiyatan.

Oleh karena itu kejatuhan, kerugian, kebinasaan manusia pada hakekatnya disebabkan oleh perbuatan dirinya sendiri. Karena Allah سبحانه وتعالى telah menurunkan Rasuul-Rasuul yang menyeru manusia untuk taat kepada Rabb-nya, Allah سبحانه وتعالى telah menurunkan Kitab-Kitab serta As Sunnah. Semua sudah Allah سبحانه وتعالى berikan. Kalau semua itu tidak mau mereka terima dan ikuti jalannya, maka itu adalah salah mereka sendiri. Sehingga dalam akhir ayat tersebut disebutkan bahwa: Mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami.

Padahal semestinya ayat-ayat Allah سبحانه وتعالى itu diyakini dan diamalkan, diberlakukan bahkan dibela agar menjadi dzahir (nyata) dalam kehidupan manusia di dunia ini. Tetapi patut menjadi keprihatinan kita semua, terutama kaum Muslimin, bahwa pada zaman sekarang ayat-ayat Allah سبحانه وتعالى tersebut paling-paling hanya dijadikan bacaan rutinitas belaka dan hanyalah dibuat sebagai perlombaan atau sekedar dijadikan bahan pertandingan (di-musaabaqah-kan). Dan semakin sedikit orang yang berusaha untuk memperjuangkan agar ayat-ayat Al Qur’an dzahir (nyata) dalam kehidupan sehari-hari. Kalaupun ada orang yang berusaha untuk mengamalkan dan men-dzohir-kan ayat-ayat Allah سبحانه وتعالى tersebut, justru ia dituduh dengan tuduhan “Fundamentalis”, “Golongan Radikal”, dan sebagainya.

Sebagai contohnya adalah dalam perkara Hak Waris, menurut ukuran keadilan orang yang awam terhadap perkara dien, maka menurutnya bagian waris anak laki-laki dan anak perempuan haruslah sama. Itulah keadilan menurut ukuran manusia. Padahal keadilan dalam perkara Hak Waris menurut Allah سبحانه وتعالى sebagaimana dalam firman-Nya dalam QS. An Nisaa’ (4) ayat 11 adalah bahwa:

لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ
Artinya:
“Bagian anak laki-laki itu adalah dua bagiannya anak perempuan”.


Karena perempuan itu sebenarnya adalah menjadi tanggungjawab laki-laki. Laki-laki lah yang harus mencari nafkah dan wanita menjadi penerima nafkah.

Namun di zaman sekarang peraturan Allah سبحانه وتعالى itu diputarbalikkan, sehingga perempuan berlomba-lomba mencari nafkah sebagaimana laki-laki. Pada akhirnya dua-duanya mempunyai kemampuan untuk mencari nafkah, lalu kaum perempuan pun mengatakan dengan lantang: “Kita kan sama-sama bekerja, mengapa hak warisnya dibedakan?”

Padahal dalam awal (dasar) syari’atnya adalah semestinya perempuan itu berada di rumah, bukan keluar rumah untuk mencari nafkah. Ketika kaidah yang berasal dari Allah سبحانه وتعالى itu digeser dan diputarbalikkan, maka berbagai perkara lainnya pun menjadi turut bergeser. Dan itu semua menyalahi ayat dan syari’at Allah سبحانه وتعالى.

Dan masih banyak lagi, misalnya perkara Hukum Poligami. Manusia dengan beraninya membuat aturan dan Undang-Undang sendiri, dengan menyatakan bahwa, “Bagi laki-laki yang hendak berpoligami maka hendaknya ia meminta izin pada istri pertamanya”; padahal aturan yang demikian itu tidaklah ada dalam syari’at Allah سبحانه وتعالى. Dengan demikian Hukum Poligami diberi tambahan peraturan demi peraturan buatan manusia, sehingga Hukum Allah سبحانه وتعالى itu menjadi sulit keberadaannya di muka bumi. Dan disisi lain perzinaan diperbolehkan, bahkan diberi dukungan dengan memberinya status “Pekerja Seks Komersil”, seakan-akan Zina adalah bukan sesuatu yang dimurkai oleh Allah سبحانه وتعالى.

Ketika dekadensi moral dan pergaulan bebas merebak dimana-mana, barulah mereka berkeluh kesah, “Mengapa bangsa kami mengalami kerusakan sepert ini? Mengapa anak-anak keturunan kami menjadi rusak moralnya?”

Wahai kaum yang berakal, MENGAPA KALIAN MENINGGALKAN HUKUM ALLAH سبحانه وتعالى? Mengapa yang Halal menurut Allah سبحانه وتعالى dipersulit dan yang Haram disebarluaskan?

Belum lagi dalam perkara Hukum Qishash, Hukum Had, dan sebagainya. Maka manusia adalah yadzlimuun, mendzolimi ayat-ayat Allah سبحانه وتعالى.

Allah سبحانه وتعالى berfirman dalam QS. Al Maa’idah (5) ayat 45 :
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أنزَلَ اللَّهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya:
“Barangsiapa yang tidak berhukum kepada hukum-hukum Allah سبحانه وتعالى, maka mereka adalah orang-orang yang dzalim”.


Orang yang terhadap ayat Allah سبحانه وتعالى tidak menerapkannya, maka mereka itu adalah orang yang dzalim.

Demikianlah, Timbangan pada Hari Kiamat adalah timbangan yang benar, tidak memihak kepada siapapun, tidak ada lagi suap-menyuap dalam peradilan tersebut. Timbangan itu ditegakkan oleh Allah سبحانه وتعالى dengan seadil-adilnya dan tidak ada yang disembunyikan.

Barangsiapa punya kebajikan atau kejahatan seberapapun kecilnya, maka Allah سبحانه وتعالى akan perlihatkan. Itulah yang harus kita yakini sebagai orang yang beriman kepada ayat-ayat Allah سبحانه وتعالى dan Sunnah Rasuulullah صلى الله عليه وسلم.

Al Haafidz Ibnu Hajar Al Asqolaany رحمه الله (beliau adalah ‘Ulama ber-madzhab Syafi’iy) dalam Kitab beliau رحمه الله berjudul “Fat-hul Baari”, beliau رحمه الله mengatakan: “Yang benar menurut pemahaman Ahlus Sunnnah bahwa amalan-amalan yang baik itu dalam bentuk fisiknya akan dimunculkan oleh Allah سبحانه وتعالى dalam gambar (bentukan) yang baik. Sedangkan amalan-amalan orang yang berbuat keburukan, akan muncul dalam gambar (bentukan) yang buruk. Kemudian setelah itu amalan-amalan tersebut akan ditimbang”.

Demikian dikatakan beliau رحمه الله, ketika menjelaskan tentang pembahasan perkara ini dalam Kitab Shohiih Imaam Al Bukhoory.

Dalam perkara lain juga dinukil tentang apa yang diyakini oleh Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah, oleh seorang ‘Ulama bernama Abu Ishaaq Az Zajjaaj رحمه الله, dimana beliau رحمه الله mengutarakan kepada kita tentang riwayat mengenai pendirian Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah tentang Al Mizan (Timbangan): “Ahlus Sunnah telah bersepakat untuk mengimani keberadaan Al Mizan dan amalan seorang hamba itu ditimbang pada Hari Kiamat dan timbangannya itu mempunyai lisan (lidah), dan dua penampang (kanan dan kiri) yang akan condong akibat amalannya. Apabila amalannya berat akan condong, apabila amalannya ringan juga akan condong. Amalan-lah yang menyebabkan lidah Al Mizan itu bergerak”.

Tentang Al Mizan, Abu Ishaaq Az Zajjaaj رحمه الله selanjutnya berkata: “Orang-orang Mu’tazilah (– sekarang disebut rasionalis—pent.) menyelisihi pemahaman Ahlus Sunnah seperti tersebut diatas. Padahal Allooh سبحانه وتعالى menegakkan Al Mizan untuk menimbang amalan agar manusia melihat amalan-amalan mereka secara konkrit (nyata), melihat dan menyaksikan apa yang sudah mereka perbuat ketika mereka hidup di dunia”.

Para ‘Ulama yang lain, dalam Kitab yang berjudul “As Sunnah”, menjelaskan perkataan dari salah seorang Shohabat yakni Salmaan Al Faarisy رضي الله عنه yang mengatakan bahwa: “Timbangan itu akan ditegakkan dan ia mempunyai dua penampang. Bila diletakkan di salah satu antara kedua penampang itu, maka niscaya langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya akan tercakup oleh timbangan itu”.

Artinya, Al Mizan itu sedemikian besarnya, seandainya langit dan bumi dan isinya dimasukkan dalam timbangan itu, maka semuanya akan tercakup dan muat dalam timbangan tersebut.

Imaam Al Hasan Al Basry رحمه الله mengatakan bahwa: “Al Mizan itu mempunyai lisan dan mempunyai dua penampang”.

Itulah pemahaman yang diyakini oleh para ‘Ulama Ahlus Sunnah tentang apa yang dimaksudkan dengan Al Mizan.

Pendapat lain yang berbeda dengan pandangan Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah adalah pendapat kaum Mu’tazilah. Kaum Mu’tazilah mengatakan bahwa Al Mizan (Timbangan) yang sesungguhnya itu tidak ada, yang ada adalah Keadilannya. Pokoknya menurut mereka (kaum Mu’tazilah) kelak akan ditegakkan Keadilan. Adapun keterangan para ‘Ulama Ahlus Sunnah seperti dijelaskan diatas tentang Al Mizan, semuanya itu diingkari oleh orang-orang Mu’tazilah.

Ibnu Fuuroh رحمه الله mengatakan: “Mengapa orang Mu’tazilah meng-ingkari adanya Al Mizan (Timbangan), hal itu dikarenakan kata mereka nilai dari hal-hal yang non fisik tidak mungkin bisa ditimbang kecuali dengan jazadnya”.

Misalnya kita memiliki nyawa, maka ketika ditimbang berat tubuh kita, apakah itu beratnya roh ataukah beratnya jazad? Maka mereka (kaum Mu’tazilah) meng-analogi-kan bahwa sesungguhnya nyawa disebut dengan a’rodh-nya (nilainya). Jazadnya-lah yang bisa ditimbang. Lalu yang ditimbang itu roh-nya ataukah jazad-nya? Menurut kaum Mu’tazilah, tidak mungkin roh bisa ditimbang kecuali jika roh itu bergabung dengan jazadnya. Oleh karena itu mereka mengingkari Al Mizan (Timbangan), dan yang ada adalah Keadilannya. Adapun timbangan terhadap yang non-fisik mereka mengingkarinya. Keyakinan mereka ini adalah keluar dari pemahaman Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah.


Dalam suatu Hadits,
Sahabat Abdullah bin ‘Abbaas رضي الله عنه berkata, bahwa Rasuulullah صلى الله عليه وسلم bersabda : “Dengan Kekuasaan Allah سبحانه وتعالى bahwa catatan nilai-nilai amalan manusia akan diubah menjadi fisik, sesuai dengan kehendak Allah سبحانه وتعالى”.


Maka bila disimpulkan dari berbagai penjelasan para ‘Ulama diatas, maka yang ditimbang itu adalah amalan. Amalan itu, seperti yang diyakini oleh Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah, dengan kekuasaan Allooh سبحانه وتعالى akan dibentuk sesuai dengan kehendak Allah سبحانه وتعالى, sehingga ia bisa ditimbang. Walaupun menurut akal manusia hal yang seperti ini tidak bisa diterima (tidak masuk akal). Namun Akhirat itu berbeda dengan Dunia, dan kehendak Allah سبحانه وتعالى itu tidaklah bisa didiskusikan oleh akal ataupun dibantah.

Oleh karena itu kita meyakini bahwa amalan kita akan ditimbang, seperti apa dan bagaimana caranya, maka serahkan saja hal itu kepada Allah سبحانه وتعالى, karena yang demikian itu tidaklah bisa dijangkau dengan akal kita (manusia) serta alamnya pun juga sudah berbeda, yakni alam Akhirat.

Kedua, BESARNYA AL MIZAN

Di dalam Hadits Riwayat Imaam Al Hakim no: 8739 dan kata beliau Hadits ini Shahiih sesuai dengan Sanad Muslim akan tetapi Imaam Al Bukhary dan Imaam Muslim tidak mengeluarkannya, dan Imaam Adz Dzahaby didalam Kitab “At Talkhiish” mengatakan bahwa Hadits ini sesuai dengan Syarat Shohiih Muslim, dan di-Shohiih-kan pula oleh Syaikh Nashiruddin Al Albaany رحمه الله dalam Silsilah Hadits Shohiihah no: 941, dari Shohabat Salman Al Faarisy رضي الله عنه bahwa Rasuulullah صلى الله عليه وسلم bersabda :



يوضع الميزان يوم القيامة فلو وزن فيه السماوات و الأرض لوسعت فتقول الملائكة : يا رب لمن يزن هذا ؟ فيقول الله تعالى : لمن شئت من خلقي فتقول الملائكة : سبحانك ما عبدناك حق عبادتك و يوضع الصراط مثل حد الموس فتقول الملائكة : من تجيز على هذا ؟ فيقول : من شئت من خلقي فيقول : سبحانك ما عبدناك حق عبادتك
Artinya:
“Timbangan akan ditegakkan pada Hari Kiamat, seandainya pada hari itu langit dan bumi ditimbang maka akan mencakupnya.”

Lalu malaikat bertanya: “Ya Allah untuk menimbang siapakah ini?”
Allah سبحانه وتعالى menjawab: “Bagi makhluk-Ku yang Aku kehendaki.”
Kemudian malaikat berkata: “Maha Suci Engkau ya Allah. Kami belum menunaikan hak ibadah kepada Engkau dengan sesungguhnya, ya Allah.”
Kemudian diletakkan Ash-Shirath (jembatan) seperti pisau yang tajam, dan kemudian malaikat berkata: “Siapa yang bisa meniti jembatan yang setajam ini?”.
Allah سبحانه وتعالى menjawab: “Yang Aku kehendaki dari ciptaan-Ku.”
Kemudian malaikat berkata: “Maha Suci Engkau, ya Allah, kami belum bisa menunaikan hak ibadah terhadap-Mu dengan sesungguhnya”.


Maka bila kita lihat dalam Hadits Shahiih tersebut, bahwa Malaikat saja mengaku bahwa mereka itu belumlah cukup untuk menunaikan hak ibadah kepada Allah سبحانه وتعالى, padahal Malaikat adalah makhluk yang diciptakan untuk senantiasa berada dalam ketaatan terhadap Allahسبحانه وتعالى. Maka apabila ada manusia yang masih segan beribadah kepada Allooh سبحانه وتعالى, dengan mengatakan bahwa dirinya sudah beribadah, berarti ia mengaku lebih baik dibandingkan ketaatan malaikat kepada Allah سبحانه وتعالى.

Al Mizan dalam Hadits diatas dijelaskan bahwa ternyata ia bisa menampung besarnya langit dan bumi, beserta isinya.

Ketiga, BANYAKNYA TIMBANGAN

Menurut Al Haafidz Ibnu Hajar Al Asqolaany رحمه الله, yang benar adalah bahwa Al Mizan (Timbangan) itu adalah satu, tidak bisa kita gambarkan dengan banyak timbangan, betapapun banyaknya amalan yang akan ditimbang. Karena keadaan di Hari Kiamat itu tidaklah bisa dipikirkan oleh akal manusia ataupun digambarkan dengan gambaran-gambaran duniawi.

Sebagaimana dinukil juga dari pendapat Imaam Al Hasan Al Basri رحمه الله, dimana beliau رحمه الله berkata: “Setiap manusia mempunyai timbangan. Yang berat adalah penetapan bahwa kelak di Hari Kiamat itu ada timbangan. Dan itu bukan menunjukkan tentang satuannya, karena firman Allah سبحانه وتعالى (dalam QS. Al Qari’ah (101) ayat 6) adalah:


فَأَمَّا مَن ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ
“Fa amma man tsaqulat mawaazinuhu (Adapun orang yang berat timbangan (kebaikan-nya)”.


Oleh karena itu tidaklah mungkin bahwa untuk perkataan hati ada timbangannya, untuk perbuatan fisik ada timbangannya, dan untuk masing-masing amalan itu ada timbangannya sehingga timbangannya bukan hanya satu, melainkan menjadi beberapa timbangan. Tetapi yang dimaksudkan itu adalah menimbang apa yang menjadi amalan-amalan yang berbeda. Sedangkan timbangannya itu sendiri adalah satu.

‘Ulama Ahlus Sunnah yang lain mengatakan sebagai berikut: “Adapun Allah سبحانه وتعالى menggunakan kata jamak dengan kata “mawaaziin”, jamak-kata dari “miizan” adalah karena amalan yang akan ditimbang oleh Allooh سبحانه وتعالى itu banyak sekali. Ada amalan yang berkenaan dengan Allah سبحانه وتعالى, ada amalan yang berkenaan dengan manusia, ada amalan berkenaan dengan anak-isterinya; maka amalan itu banyak yang ditimbang, sehingga disebut dengan “mawaazin”. Padahal timbangannya itu sendiri hanyalah satu.”

Imaam As Safaarini رحمه الله menyatakan bahwa pendapat inilah pendapat yang bisa diterima.


Keempat, APA SAJA YANG AKAN DITIMBANG

Ada tiga pendapat, yang akan ditimbang adalah:
  1. Amalan,
  2. Orangnya dan
  3. Catatan amalnya.

Amalan adalah yang tidak berbentuk fisik, sedangkan Catatan Amal berbentuk fisik dan Orang juga berbentuk fisik. Pendapat ini muncul dan ada di kalangan para Shohabat.

Tetapi menurut para ‘Ulama Ahlus Sunnah antara lain Haafidz Hakamy رحمه الله, dalam Kitab beliau yang bernama “Ma’aarijil Qobuul”, beliau رحمه الله mengatakan bahwa:
“Yang bisa kita tampakkan dari nash-nash, walloohu a’lam (Allooh Yang Maha Tahu) adalah bahwa orang yang melakukan amalan, amalannya, serta catatan amalannya, maka semua itu ditimbang oleh Allooh سبحانه وتعالى, karena hadits-hadits telah menjelaskan tentang hal ini. Tidak ada pertentangan diantara semuanya. Dan agar kita yakin, maka terdapat dalil dari apa yang diriwayatkan oleh Imaam Ahmad, dimana kata beliau رحمه الله bahwa: “Dari ‘Abdullooh bin ‘Amr bin Al Ash رضي الله عنه, yaitu tentang kisah Shohib Al Bithoqoh, dimana tiap orang memiliki kartu, dan kartu itu akan ditimbang. Bahwa timbangan itu akan diletakkan pada Hari Kiamat. Ada seseorang dimana orang tersebut diletakkan pada suatu penampang timbangan kemudian diletakkanlah pada apa yang menjadi hitungan orang itu, kemudian timbangan menjadi miring, sehingga orang itu pun akan dicampakkan ke dalam api neraka. Namun kemudian pada timbangan orang itu dibawakan juga bithoqoh (kartu), dimana apa yang termaktub dalam bithoqoh itu adalah: Asyhaadu an laa ilaaha ilallooh wa asyhaadu anna Muhammad ‘abduhu warosuuluh, sehingga penampang Timbangan bagi orang tersebut pun menjadi lebih berat kearah bithoqoh itu.”

Disinilah terlihat bahwa orang yang sudah akan dimasukkan ke dalam neraka, kemudian tidak jadi dimasukkan ke dalam neraka karena disebelahnya terdapat kartu bertuliskan Asyhaadu an laa ilaaha ilallah wa asyhaadu anna Muhammad ‘abduhu warasuuluh, sehingga timbangan pun menjadi miring kearah sebaliknya, yakni kearah kebaikannya. Hal ini dikarenakan beratnya timbangan kartu amalan Asyhaadu an laa ilaaha ilallah wa asyhaadu anna Muhammad ‘abduhu warasuuluh tersebut.

Kemudian kata beliau (Haafidz Hakamy رحمه الله) selanjutnya: “Hadits ini menunjukkan bahwa seorang hamba itu diletakkanlah kebajikannya, dan catatan amalannya pada satu penampang timbangan. Demikian pula keburukannya diletakkan di penampang sebelahnya. Dan ini merupakan penggabungan dari Hadits-Hadits yang bisa kita temukan tentang Al Mizan.”

Maka menurut beliau رحمه الله berdasarkan dalil tersebut diatas, bahwa yang ditimbang adalah amalannya, orangnya dan catatan amalannya.

YANG BERTANGGUNG JAWAB TERHADAP TIMBANGAN ITU SIAPA ?

Menurut apa yang diriwayatkan oleh Imaam Al Laalika’i رحمه الله dalam Kitab “As Sunnah”, dinukil dari perkataan salah seorang Sahabat bernama Hudzaifah Ibnul Yaman رضي الله عنه, kata beliau, “Yang bertanggungjawab terhadap Al Mizan (Timbangan) itu adalah Malaikat Jibril.”

BUKTI AL MIZAN DALAM HADITS-HADITS


Banyak sekali Hadits-Hadits tentang Al Mizan, diantaranya adalah:

Hadits Riwayat Al Imaam At Turmudzy no: 3165 dan Syaikh Nashiruddin Al Albaany رحمه الله berkata Hadits ini Sanadnya Shohiih, dari ‘Aa’isyah رضي الله عنها:
أن رجلا قعد بين يدي النبي صلى الله عليه و سلم فقال يا رسول الله إن لي مملوكين يكذبونني ويخونونني ويعصونني وأشتمهم وأضربهم فكيف أنا منهم ؟ قال يحسب ما خانوك وعصوك وكذبوك وعقابك إياهم فإن كان عقابك إياهم بقدر ذنوبهم كان كفافا لا لك ولا عليك وإن كان عقابك إياهم دون ذنوبهم كان فضلا لك وإن كان عقابا إياهم فوق ذنوبهم اقتص لهم منك الفضل قال فتنحى الرجل فجعل يبكي ويهتف فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم أما تقرأ كتاب { ونضع الموازين القسط ليوم القيامة فلا تظلم نفس شيئا وإن كان مثقال } الآية فقال الرجل والله يا رسول الله ما أجد لي ولهؤلاء شيئا خيرا من مفارقتهم أشهدكم أنهم أحرارا كلهم
Artinya:
“Bahwa ada seorang laki-laki duduk di depan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, ia berkata, “Ya Rosuulullooh, sesungguhnya aku memiliki 2 orang budak dimana mereka berdusta padaku, berkhianat padaku, membangkang padaku. Maka, aku caci mereka, aku pukul mereka. Bagaimana aku berkenaan dengan mereka?”


Rasuulullah صلى الله عليه وسلم pun bersabda :
“Allah سبحانه وتعالى akan menghisab tentang apa yang telah mereka berkhianat kepadamu, berma’shiyat kepadamu, berdusta kepadamu dan hukumanmu terhadap mereka. Bila seandainya hukumanmu sebanding dengan dosa mereka, berarti kamu selamat dan tidak mendapat pahala apa-apa dan tidak mendapatkan dosa apa-apa. Tetapi bila kamu menghukum mereka kurang sedikit dari dosa mereka, maka kamu berhak atas keutamaan. Dan jika hukumanmu pada mereka diatas hak mereka, maka mereka akan meng-qishosmu dari kelebihan apa yang kamu miliki.”


Maka orang itu pun berdehem, dan menangis.

Maka Rasuulullah صلى الله عليه وسلم kembali bersabda, “Apakah kamu tidak membaca firman Allah سبحانه وتعالى (QS. Al Anbiyaa’ (21) ayat 47):
وَنَضَعُ الْمَوَازِينَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئاً وَإِن كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا وَكَفَى بِنَا حَاسِبِينَ
“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala) nya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan.”

Maka orang itu berkata: “Demi Allah ya Rasuul, kalau demikian aku tidak punya kebaikan apapun, maka ya Rasuul hendaknya engkau saksikan bahwa mulai hari ini para budak (anak-buah)-ku itu adalah merdeka”.

Pelajaran yang dapat kita petik dari Hadits tersebut bahwa pada zaman dahulu, begitu seseorang mendengar bahwa akan terjadi adanya Al Hisab dan Al Mizan, maka mereka sedemikian ketakutan sehingga mereka rela mengurangi berbagai perkara yang sekiranya akan membuat ia bertambah banyak dihisab oleh Allah سبحانه وتعالى.

Pelajaran lain yang bisa diambil adalah bahwa : Setelah kita meyakini Al Mizan itu ada dan pasti akan kita alami pada Hari Kiamat, maka orang-orang shoolih pada zaman dahulu sangat takut menghadapi Al Mizan sehingga mereka mempersiapkan diri untuk memperingan berbagai perkara sebelum terjadi Al Hisab dan Al Mizan bagi dirinya. Nah, bagaimanakah dengan kita? Apakah Hadits yang kita dengar ini berlalu demikian saja seakan-akan angin yang berlalu, dan tidak berbekas pada sikap dan perilaku kehidupan kita sehari-hari? Hendaknya kita kaum Muslimin takut, sebagaimana takutnya orang-orang shaleh di zaman terdahulu.

Kemudian dalam Hadits Riwayat Al Imam Ibnu Maajah no: 4300 dan Imaam Ahmad no: 6994, menurut Syaikh Syu’aib Al Arnaa’uth رحمه الله Sanad Hadits ini kuat dan para perowinya terpercaya, termasuk perawi-perawi Kitab-Kitab Hadits Shohiih dan Hadits ini juga di-shohiihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albaany رحمه الله, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash رضي الله عنه bahwa Rasuulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
يصاح برجل من أمتي يوءم القيامة على رؤس الخلائق . فينشر له تسعة وتسعون سجلا . كل سجل مد البصر . ثم يقول الله عز و جل هل تنكر من هذا شيئا ؟ فيقول لا . يا رب فيقول أظلمتك كتبتي الحافظثون ؟ ثم يقول ألك عن ذلك حسنة ؟ فيهاب الرجل فيقول لا . فيقول بلى . إن لك عندنا حسنات . وإنه لاظلم عليك اليوم . فتخرج له بطاقة فيها أشهد أن لاإله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله . قال فيقول يا رب ماهذه البطاقة مع هذه السجلات فيقول إنك لا تظلم . فتوضع السجلات في كفة والبطاقة في كفة . فطاشت السجلات وثقلت البطاقة

Artinya:
“Seseorang dari ummatku diseru pada Hari Kiamat dihadapan khalayak manusia. Kemudian ditebarlah padanya 99 buku catatan. Setiap buku catatan sejauh mata memandang. Kemudian Allooh سبحانه وتعالى bertanya, “Apakah kamu memungkiri sesuatu apa yang ada didalamnya?”

Orang itu menjawab, “Tidak, ya Allah.”

Kemudian Allah سبحانه وتعالى bertanya lagi, “Apakah Malaikat para pencatat-Ku menganiayamu? Apakah kamu punya kebaikan?”

Lalu orang ini terperanjat dan mengatakan, “Tidak, ya Allah.”

Kemudian Allah سبحانه وتعالى berkata, “Justru kamu dalam catatan Kami mempunyai kebaikan-kebaikan dan tidak ada aniaya hari ini untukmu apapun dan tidak ada penganiayaan kepadamu hari ini.”

Kemudian dikeluarkanlah untuknya satu kartu dimana didalamnya terdapat“Asyhaadu an laa ilaaha ilallah wa asyhaadu anna Muhammad ‘abduhu warasuuluh”(Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allooh dan bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya).

Kemudian orang itu berkata, “Ya Allah, kartu apa ini? Catatan apa ini?”

Maka Allah سبحانه وتعالىberfirman: “Sesungguhnya kamu tidak dianiaya.”

Kemudian catatan amal orang tersebut diletakkan di penampang sebelah timbangan dan bithaqah (kartu) diletakkan di penampang sebelah yang lain, maka timbangan pun menjadi lebih berat di arah bithaqah.”

Hadits ini adalah Hadits Al Bithaqah (Hadits Kartu). Hanya saja yang perlu kita camkan bahwa bithaqah (kartu) itu didapat dengan cara TAUHIID, tidak bisa hanya sekedar dengan mengaku diri sebagai seorang Muslim saja. Hal itu bukanlah seperti di dunia ini dimana merasa sudah cukup dengan mencantumkan kata “Muslim” pada KTP (Kartu Tanda Penduduk) saja. Karena yang demikian itu tidak lah ada gunanya kalau ia tidak sholat, tidak beriman kepada Allooh سبحانه وتعالى, apalagi kalau ia menentang Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuul-Nya صلى الله عليه وسلم serta Syari’at-Nya.

Namun yang dimaksudkan dari Hadits diatas bahwa yang menjadikan berat kartu (bithaqah) tersebut adalah IMAAN, dimana yang termaktub dalam bithoqoh itu adalah SYAHADATUT TAUHIID dan SYAHADATUR RISAALAH, yang tidak cukup hanya dengan pengucapan sebatas di lisan saja, namun SYAHADAT tersebut hendaknya tertanam pada HATI, LISAN dan PERBUATAN-nya.


Terdapat pula Hadits Riwayat Al Imaam Al Bukhoory no: 2749 dan Imaam Muslim no: 2785, dari Abu Hurairoh رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
إِنَّه لَيَأْتِي الرَّجُلُ الْعَظِيمُ السَّمِينُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ يَزِنُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ وَقَالَ اقْرَؤُوا {فَلاَ نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا}

Artinya:
“Sesungguhnya akan didatangkan orang yang besar dan gemuk pada Hari Kiamat, akan tetapi disisi Allah tidak ada seberat sayap lalat.”


Lalu Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم membacakan (QS. Al Kahfi (18) ayat 105):
أُولَئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْناً
“Mereka itu orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Robb mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia. Maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.”

Maksudnya, mereka orang-orang kafir itu tidak ada artinya sama sekali disisi Allah سبحانه وتعالى. Orang-orang kafir itu walaupun ketika hidup di dunia mereka bersenang-senang, mungkin saja mereka memiliki harta kekayaan yang melimpah ruah, dan sebagainya, namun bahkan di dalam kuburannya pun sudah menjadi bahan pesta-poranya ulat tanah dan di Hari Akhir tidaklah memiliki timbangan, dalam pengertian bahwa mereka tidak ada artinya sama sekali disisi Allah سبحانه وتعالى.

Sementara itu seorang Muslim yang mungkin saja ia pernah berma’shiyat ketika hidup di dunia, namun sekalipun orang itu mungkin saja banyak dosanya, akan tetapi kalau ia bertauhid kepada Allah سبحانه وتعالى, maka atas kehendak Allah سبحانه وتعالى orang itu bisa saja menjadi selamat. Disinilah pentingnya kita bertauhid kepada Allah سبحانه وتعالى.

Ada beberapa berita dari Rasuulullah صلى الله عليه وسلم, yang hendaknya kita jadikan sebagai kiat bagi diri kita. Hal ini berkaitan dengan amalan yang tampaknya ringan namun dapat membuat timbangan kita di Hari Kiamat menjadi berat, yakni:

1. Adalah Haditsnya shahiih diriwayatkan oleh Imaam Muslim no: 223, dari Abu Maalik Al Asy’ary رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:

الطُّهُورُ شَطْرُ الإِيمَانِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلأُ الْمِيزَانَ. وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلآنِ – أَوْ تَمْلأُ – مَا بَيْنَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ وَالصَّلاَةُ نُورٌ وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو فَبَائِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوبِقُهَا
Artinya:
“Kesucian itu bagian dari Iman dan kata “Alhamdulillah” memenuhi Timbangan dan “Subhaanallooh wal hamdulillah” memenuhi antara langit dan bumi, sholat adalah cahaya, shodaqoh adalah bukti, sabar adalah sinar, dan Al Qur’an adalah pembela bagi kita ataukah penghujat bagi kita. Setiap manusia akan pergi, akan menjual dirinya, apakah membebaskan nya (dari adzab Allooh سبحانه وتعالى) ataukah akan menjerumuskannya.”


2. Juga dalam Hadits Riwayat Imaam Al Bukhoory no: 6406 dan Imaam Muslim no: 7021, dari Abu Huroiroh رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda :



عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ثَقِيلَتَانِ فِي الْمِيزَانِ حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ
Artinya:
“Ada dua kalimat yang mudah dan ringan diucapkan, tetapi berat dalam timbangan dan disukai Allooh سبحانه وتعالى, yaitu ucapan ‘Subhaanallooh wabihamdihi subhaanalloohil ‘adziim’.”


TANYA JAWAB

Pertanyaan:
Orang yang pernah berbuat dosa di dunia misalnya membunuh atau berzina, kalau ia sudah menjalani hukum Qishosh atau dirajam di dunia, apakah di akhirat perbuatan dosa itu masih juga ditimbang?
Apakah semua manusia ditimbang kelak di Akhirat termasuk orang kafir dan juga para Nabi dan Rosuul?

Jawaban:
Dalam Islam hukuman itu ada dua: Hukuman duniawi dan hukuman ukhrowi. Apakah orang tersebut akan terlepas dari hukuman Allah سبحانه وتعالى ketika di hari Kiamat, walloohu a’lam. Di Hari Kiamat kita serahkan perkara itu semata-mata kepada kepututsan Allah سبحانه وتعالى.
Tidak ada dalil bahwa para Nabi tidak ditimbang. Tetapi semua manusia akan ditimbang, tentu nilai amalan masing-masing manusia berbeda-beda. Tetapi proses penimbangannya akan dialami oleh semua manusia tanpa kecuali, karena dalam QS. Aali ‘Imran (3) ayat 182 disebutkan bahwa:


وَأَنَّ اللَّهَ لَيْسَ بِظَلاَّمٍ لِّلْعَبِيدِ
Artinya:
“Sesungguhnya Allooh سبحانه وتعالى tidak mendzolimi hamba-hamba-Nya”.


Juga sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al Kahfi (18) ayat 49 bahwa:


وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِراً وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَداً
Artinya:
“Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: “Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Rabb-mu tidak menganiaya seorang juapun“.

Pertanyaan:
Apakah yang dimaksud adil?

Jawaban:
Yang dimaksud adil secara bahasa adalah tidak punya kecenderungan terhadap salah satu dari dua belah pihak. Secara Syar’i, adil adalah keberpihakan. Adil artinya berpihak, yaitu berpihak kepada yang Haq berasal dari Allooh سبحانه وتعالى dan dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Jika sesuatu itu SESUAI dengan SYARI’AT ALLAH سبحانه وتعالى DAN RASUULULLAH صلى الله عليه وسلم, maka menegakkannya bermakna ADIL. Tetapi jika tidak menegakkan apa yang Allooh سبحانه وتعالى dan Rasuulullah صلى الله عليه وسلم tetapkan, maka meskipun hal itu sudah seadil-adilnya menurut manusia pun ia tetap merupakan kedzoliman. Maka TIDAK AKAN ADA KEADILAN diatas permukaan bumi ini apabila firman Allooh سبحانه وتعالى dan sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, serta SYARI’AT ISLAM itu TIDAK DITEGAKKAN. Berarti Adil itu adanya hanyalah pada Syari’at Allah سبحانه وتعالى.

Pertanyaan:
Yang akan dihitung atau ditimbang kelak di Hari Kiamat itu hanya orang Islam saja, ataukah juga termasuk orang kafir (musyrik)? Karena di Surat Al Furqoon (25) ayat 23 disebutkan bahwa orang-orang kafir tidak akan dinilai amalannya. Mohon penjelasan tentang hal ini.
Dijelaskan diatas bahwa orang yang timbangan amalannya lebih berat, maka ia akan masuk surga. Sebaliknya, orang yang timbangan amalannya lebih ringan, maka ia akan masuk neraka. Bagaimana dengan orang yang timbangan amalannya seimbang antara amalan baik dan amalan buruknya?

Jawaban:
1. Terhadap orang kafir maka mereka sama sekali tidak punya amalan yang bisa dinilai oleh Allah سبحانه وتعالى. Allah سبحانه وتعالى berfirman dalam QS. Al Furqan (25) ayat 23:

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاء مَّنثُوراً
Artinya:
“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.”

Maka sebagaimana telah disebutkan dalam Hadits diatas, orang yang badannya besar dan tinggi sekalipun, tetapi ketika ditimbang maka tidaklah lebih berat dari sayap seekor lalat disisi Allah سبحانه وتعالى.

2. Secara akal, mungkin saja ada orang yang seimbang antara amalan baik dan amalan buruknya. Secara akal memang demikian. Tetapi secara riwayat dan penjelasan para ‘Ulama Ahlus Sunnah bahwa tidak akan ada kemungkinan yang sama (seimbang).

Hal ini adalah sebagaimana firman Allah سبحانه وتعالى dalam QS. Al Qari’ah (101) ayat 6 berikut ini:


فَأَمَّا مَن ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ
Artinya:
“Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)-nya”,

Kemudian dalam QS. Al Qari’ah (101) ayat 8 adalah:


وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ
Artinya:
“Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)-nya”

Jadi hanya ada dua alternatif: Yang berat timbangan amalannya dan yang ringan timbangan amalannya.
Alhamdulillah, kiranya cukup sekian dulu bahasan kita kali ini, mudah-mudahan bermanfaat. 
Print Friendly and PDF

Ditulis Oleh : Irrafeisal ~ Journey Of Destiny|We learn together to increase knowledge| we share knowledge and strengthen the friendship

Artikel Perjalanan Kesebelas : Timbangan Amal ini diposting oleh Irrafeisal pada hari Kamis, 23 Januari 2014. Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca artikel ini. Kritik dan saran dapat Anda sampaikan melalui kotak komentar. Semoga Artikel Perjalanan Kesebelas : Timbangan Amal ini bermanfaat. Dan Apabila friend Irrafeisal ingin artikel ini ada di postingan Anda, silahkan di copy paste aja, agar bisa menyebarkan lebih luas lagi ilmu yang bermanfaat...

Get free daily email updates!

Follow us!



Share to Facebook Share this post on twitter Bookmark Delicious Digg This Stumbleupon Reddit Yahoo Bookmark Furl-Diigo Google Bookmark Technorati Newsvine Tips Triks Blogger, Tutorial SEO, Info

0   komentar

Cancel Reply








Google PageRank Checker
DMCA.com

Daisy

Daisypath - Personal pictureDaisypath Anniversary tickers

backlink

Website Backlink Service


Auto Backlink Gratis : Top Link Indo

Auto Backlink Gratis : Top Link Indo



Beats Dofollow

Banner Qinthani : Top Link Indo
>